Kaltara Susun Usulan Pendanaan ke Negara Pendonor GCF

id ,

Tanjung Selor (Antara News Kaltara) - Setelah Gubernur Kalimantan Utara (Kaltara) Dr H Irianto Lambrie resmi tergabung dalam Governor's Climate and Forests (GCF) Task Force setahun lalu, secara berjenjang sejumlah rencana aksi pun harus dilakukan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kaltara melalui instansi teknis terkait.




GCF Task Force, adalah bentuk kolaborasi subnasional dari 35 negara bagian dan provinsi di dunia, antara lain Brazil, Kolombia, Indonesia, Pantai Gading, Meksiko, Nigeria, Peru, Spanyol, dan Amerika. Sejak 2016, Provinsi Kaltara telah menjadi anggota GCF, selain Aceh, Kalimantan Timur (Kaltim), Kalimantan Tengah (Kalteng), Kalimantan Barat (Kalbar), Papua, dan Papua Barat.




Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Kaltara Edi Suharto menyebutkan, negara yang tergabung sebagai anggota GCF, sedianya bisa mengusulkan pendanaan (funding) dari negara pendonor, seperti salah satunya Norwegia. Pendanaan itu dalam rangka pelestarian lingkungan dan mengatasi pemanasan global dan mereduksi gejala perubahan iklim. "Adapun kegiatan yang dapat didanai melalui GCF, seperti mengembangkan lahan kritis, meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa di sekitar hutan dalam upaya pemberdayaan masyarakat desa di sekitar hutan dan keuntungan lainnya," kata Edi usai Upacara Gabungan di Halaman Kantor Gubernur Kaltara, Senin (24/7).




Agar Indonesia, khususnya Kaltara dapat memperoleh pendanaan tersebut, usulan kegiatan berikut rencana anggaran biayanya harus disampaikan kepada pihak berwenang di GCF. "Semisal, untuk melakukan kegiatan dalam rangka mereduksi gejala dan dampak perubahan iklim, harus dijelaskan berapa persen target yang ingin dicapai sehingga mampu mengurangi dampak perubahan iklim itu. Disesuaikan pula dengan luasan hutan yang dimiliki dan hal-hal teknis lainnya. Ini akan diusulkan ke negara donor untuk dipertimbangkan," papar Edi.




Kaltara melalui DLH tengah menyusun usulan pendanaan tersebut. Rujukan perhitungannya adalah dokumen National Forest Emission Level (FREL) for Deforestation and Forest Degradation. Nilai FREL akan menjadi dasar penilaian keberhasilan Indonesia dalam menurunkan emisi gas rumah kaca dari kehutanan. Namun, perhitungan untuk FREL belum memasukkan emisi dari kebakaran hutan. Dikarenakan, perhitungannya hingga kini masih sulit.




Data FREL 2015 mengungkap bahwa sejak 1990 hingga 2013, Indonesia telah mengemisikan karbon senilai 0.593 giga ton karbon dioksida ekuivalen (GtCO2e). Angka itu merujuk total emisi dari deforestasi, degradasi hutan, serta dekomposisi di area gambut yang berhutan.




Pada 2020, dalam dokumen FREL, Indonesia diproyeksikan mengemisikan 0.593 GtCO2e dari sektor deforestasi dan degradasi hutan. Selain itu, rata-rata deforestasi Indonesia tahun 1990 hingga 2012 adalah 918.678 hektare sementara rata-rata degradasi hutannya adalah 507.486 hektare. Agar emisi berkurang, deforestasi dan degradasi hutan tak boleh melebihi angka rata-rata tersebut. Meski begitu, bukan berarti deforestasi dan degradasi hutan di bawah 'batas nilai merah' itu diperbolehkan begitu saja. FREL dan BUR merupakan dokumen yang mesti dimiliki Indonesia selain Intended Nationally Determined Contrbution (INDC), memuat komitmen Indonesia dalam memenuhi gas rumah kaca. FREL dan INDC dibutuhkan untuk 'menjual' program penurunan emisi Indonesia sehingga bisa didanai.