Tarakan (Antara News Kaltara) – Gubernur Kalimantan Utara (Kaltara) Dr H Irianto Lambrie mengimbau, kepada masyarakat untuk tidak cepat percaya atau menelan mentah-mentah setiap informasi yang diterima. Utamanya yang tersiar melalui media sosial (medsos). Salah satunya dengan mengonfirmasi dulu kebenaran berita itu, atau dalam Agama Islam disebut Tabayun.
“Masyarakat perlu memahami cara mencegah dan menginformasikan potensi radikalisme. Lewat literasi media sendiri, masyarakat sedianya semakin mampu membedakan informasi mana yang benar, mana yang salah,†kata Irianto.
Masyarakat, kata gubernur harus ikut memerangi informasi yang tidak benar dengan tujuan menghasut atau hoax. Caranya, selain tidak langsung mempercayai setiap informasi yang diterima, masyarakat termasuk kalangan media diminta tabayun atau mengonfirmasi ulang setiap informasi yang ada agar lebih akurat dan tepat. “Berita hoax itu dibuat oleh orang yang tak bertanggung jawab, dengan tujuan membuat kegaduhan di masyarakat. Dan, kini semakin tak terkendali. Masyarakat harus berhati-hati dan tidak mudah percaya,†urai gubernur menanggapi kegiatan literasi media yang diadakan oleh Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Provinsi Kaltara di Hotel Monaco, Tarakan mulai kemarin.
Letak geografis yang berbatasan dengan sejumlah negara, seperti Malaysia, Filipina dan lainnya, kata gubernur, membuat Kaltara berpotensi menjadi salah satu tempat persinggahan pelaku terorisme di Indonesia. Jalan masuknya melalui jalur laut dari Kepulauan Mindanao, Filipina lalu masuk ke wilayah Sabah, Malaysia dan setelahnya menyusup ke Indonesia lewat Kaltara. Dari situ, pelaku terorisme menuju ke Poso, Sulawesi Tengah.
Berawal dari itulah, upaya pencegahan terorisme di Kaltara penting dilakukan dalam berbagai cara, sehingga pengaruh faham radikal terorisme tak merasuk dan merusak warga Kaltara.
Salah satu upaya yang dilakukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), melalui kepanjangan tangannya di daerah, FKPT Provinsi Kaltara, dengan menggandeng kalangan media lewat kegiatan literasi media. Kegiatan ini untuk merespons maraknya peredaran berita bohong atau hoax yang disebut-sebut, sebagai salah satu media penyebarluasan paham radikalisme.
Literasi media sendiri adalah kemampuan untuk memahami, menganalisis, dan mendekonstruksi pencitraan media. Kemampuan untuk melakukan hal ini ditujukan agar pemirsa sebagai konsumen media (termasuk anak-anak) menjadi sadar (melek) tentang cara media dikonstruksi (dibuat) dan diakses.
Kegiatan yang dilaksanakan selama dua hari (15/3) dan (16/3) itu, diikuti perwakilan sejumlah media, serta organisasi profesi wartawan yang ada di Kalimantan Utara. “Tujuan kegiatan ini, di antaranya mengupdate cara pengemasan berita oleh jurnalis agar tidak memprovokasi masyarakat. Lalu, sedapat mungkin mengingatkan kepada jurnalis agar menyampaikan berita terkini terkait bahaya teroris tanpa menimbulkan ekses negatif hingga tercapai deradikalisme,†kata Ketua FKPT Provinsi Kaltara, H Usman Faqih, Kamis (16/3).
Diungkapkan, menurut informasi yang diterima FKPT Kaltara, ada sejumlah teroris yang menggunakan Kaltara sebagai jalur persinggahan. “Ini semua dimulai pada 1996. Dan, kita tidak pernah sadari itu, contoh ada anak Sungai Nyamuk (Sebatik Timur, Nunukan) yang terduga teroris dan ditangkap di Jawa, dan lainnya,†kata H Usman.
FKPT Kaltara sendiri, menurut H Usman, kini tengah memonitoring indikasi masuknya teroris di Kabupaten Tana Tidung (KTT). Termasuk juga adanya pergerakan menjurus radikalisme di salah satu kampus di Kaltara yang diprakarsai salah satu dosennya. “Nah, lewat literasi media ini, masyarakat sedianya melek media. Tahu informasi terkini mengenai terorisme. Bayangkan, dari 43 ribu media online di Indonesia, kurang dari 200 yang konten beritanya dapat dipertanggungjawabkan. Selain itu, dari 2.800 media cetak dan elektronik, hanya 150 yang penuhi kriteria media sebagaimana yang diinformasi Dewan Pers,†urainya.
Rangkaian kegiatan Literasi media, meliputi visit media hingga dialog dengan narasumber dari Ketua Dewan Pers Adi Yosep Prasetyo, Majelis Etik Aliansi Jurnalisme Indonesia (AJI) Willy Pramudya, serta Direktur Deradikalisasi BNPT Prof. Irfan Idris.