Jakarta (ANTARA) - ‘Telah berpulang ke rumah BAPA di Surga dalam damai. Suami, Papa dan Opa kami tercinta
Bapak SETIADI TRYMAN dalam usia 84 tahun pada hari Sabtu, 15 Mei 2021 pukul 19.00 WIB.”
Berita duka itu dikirim Rita, Carmel, Lola, Carla beserta Cucu & Cici atas nama keluarga besar mendiang.
Info itu segera menyebar di berbagai group WA. Saya membacanyanya di grup WA Pengurus PWI Pusat, Minggu (16/5) siang.
Almarhum memang wartawan. Wartawan sangat senior, pernah bergabung ke Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Tokoh pers film Indonesia.
Saya mengenal ( tepatnya berguru) pada Setiadi saat ia menjadi redaktur Harian Sinar Harapan, surat kabar terpandang dan terbesar di Indonesia.
Setelah media itu dibreidel pemerintah dan kemudian terbit lagi dengan nama baru, Harian Suara Pembaruan, Mas Setiadi Tryman diangkat menjadi Pemimpin Redaksi pertamanya.
Saya merasa sangat kehilangan atas kepergian Setiadi Tryman. Sedih kehilanganseorang sahabat dan mentor sekaligus. Saya yakin perasaan kehilangan itu juga dirasaksn kalangan pers dan perfilman Indonesia pada umumnya.
Kami bersahabat lama. Sikapnya yang egaliter sangat mengesankan dalam posisinya sebagai pemimpin redaksi media besar.
Orangnya sangat rendah hati, dan memilih banyak tersenyum dengan humor-humor berkelas dan selalu menggelitik.
Di dunia film Setiadi sudah mencapai tingkat ketokohan yang dihormati masyarakat film. Sudah berkali kali menjadi juri FFI pada saat saya baru mulai menjadi wartawan. Namun sejak perkenalan pertama dengannya, praktis sejak itu kami menjalin persahabatan.
Mas Setiadi lah yang menjadi penopang utama di masa saya menjabat Ketua Humas FFI ( Festival Film Indonesia) dan FSI (Festival Sinetron), tiga priode — 15 tahun— di masa Harmoko menjadi Menteri Penerangan.
Setiadi Tryman seangkatan dan teman gaul di masa muda dengan Harmoko yang kelak menjadi Menteri Penerangan tiga priode di masa pemerintahan Presiden Soeharto.
Sebelum itu Setiadi sudah mengikuti dinamika kehidupan seniman dan budayawan dengan berkecimpung dalam komunitas Seniman Senen yang terkenal di Jakarta. Di situ bergaul dengan aktor terkenal Soekarno M Noer dan Haji Misbach Jusa Biran, antara lain.
Saat menjadi Pemred Harian Suara Pembaruan, saya sering diundang untuk menulis ulasan film dan bahkan menulis artikel itu langsung di atas meja dalam ruangan kantornya.
Kawan senior lain yang juga teman kolaborasi kami di masa itu adalah Paul Lumban Tobing, redaktur film Sinar Harapan. Paul juga termasuk tokoh wartawan film yang terpandang di masanya.
Markas kami masa kolaborasi itu di kantor Dewan Film Nasional, Menteng Raya. Di sini berkantor juga sahabat lama Setiadi. Namanya Zulharmans Said dan Chaidir Rahman yang merupakan kawan perjuanggan sejak tahun 1950 an. Keduanya sudah almarhum. Zulharmans Said adalah Ketua Umum PWI Pusat yang sekaligus menjabat Direktur Utama PT Perfin ( perusahasn pengedar film Indonesia). Wartawan senior Chaidir Rahman juga berkiprah di PT Perfin.
Pernah dalam kurun yang panjang, setiap sore, sepulang kantor, kami berkumpul di Dewan Film Nasional sampai tengah malam. Lokasi Dewan Film, sangat strategis, di tengah kota, Jalan Menteng Raya.
Suatu kali saya ingat, suatu sore datang seorang teman wartawan film namanya Gagar Mayang Dia datang untuk curhat.
Ceritanya, puterinya mendadak dibatalkan oleh gurunya untuk ikut Paskibraka. Pokok soalnya, menurut cerita Gagar Mayang, sejak gagal itu, anaknya menjadi pemurung, tidak punya nafsu makan.
Dia khawatir pada perkembangan putrinya, Gagar minta teman -teman mendukungnya menuntut guru sekolah anaknya. Saya setuju. Teman-teman mendukung.
Terakhir ia minta pandangan ke Setiadi Tryman. Namun, Setiadi tidak setuju. Dia mengajukan pandangan lain. “ Coba cek dulu ibunya anak kamu Gagar. Anaknya dikasih makan apa, lauknya apa? Data ini penting diketahui “ tanya Setiadi.
Gagar langsung menukas: apa hubungannya Mas? “ Ya, banyak. Seumpama anak itu dikasih makan dengan lauk ikan asin, masuk akal kalau dia tidak nafsu makan. Dan, itu berarti tak ada hubungsn dengan larangsn gurunya. Jangan anakmu, gurunya pun saya khawatir tidak nafsu makan juga kalau lauknya ikan asin,” papar Setiadi serius.
Semua terdiam menyimak pandangan itu. Yang gusar hanya Gagar Mayang seorang. Rencana gugatan kepada guru itu memang tidak berlanjut.
Setiadi sepengetahuan saya memang tabu untuk menggunakan cara konfrontasi dalam menyelesaikan masalah. Dia meyakini dialog atau saling mendengar adalah kuncinya.
Teman yang curhat diminta cari tahu secara jelas duduk perkara suatu masalah dengan pendekatan humoristis supaya soal berat pun jadi ringan. Contoh tadi itu.
Betapapun tak puas, toh kekesalan Gagar bisa diredam dengan humor. Bicara soal diplomasi humor Setiadi memang ahlinya.
/Surat-Surat Nyasar
Karya Setiadi Tryman dalam karir sebagai wartawan
maupun orang film banyak yang bisa dikenang. Ia menulis banyak sekenario film dan rubrik " Surat-Surat Nyasar” di Sinar Harapan melagenda. Di rubrik yang digawanginya itu srmua masalah yang dibahas, serumit apapun, dipecahkan dengan selera humor tinggi.
Tak heran jika Surat-Surat Nyasar memiliki pembaca fanatik dalam jumlah besar. Di tangan Setiadi humor menjadi serius. Atau hal serius bisa encer dibuatnya dalam kemasan humor.
Gayanya kritis tapi tidak menyakiti, nyeleneh, tapi mengundang senyum.
Atas permintaannya setelah pensiun, Surat-Surat Nyasar itu dilanjutkan pemuatannya di Tabloid Cek& Ricek. Sempat terbit beberapa tahun sampai Setiadi sendiri menghentikan karena tidak punya waktu banyak lagi untuk mengisinya secara rutin.
Surat-Surat Nyasar di Sinar Harapan maupun di Tabloid C&R menggunakan logo karikatur wajah Setiadi Tryman.
Beberapa kali Setiadi sempat menyambangi saya di kantor C&R. Ngobrol - ngobrol sambil bersenda gurau.
Belakangsn lama kami tidak berkomunikasi lagi. Berita duka kepergiannya yang beredar di WAG membuat saya sedih, saya membuka kembali kenangan-kenangan manis selama persahabatan kami tempo hari.
Setiadi Tryman lahir di Demak, Jawa Tengah. Setamat SMA, ia melanjutkan kursus manajemen, seni drama HBS di Solo (1955), ATNI di Solo (1957) dan Workshop film Directing (KFT). Sebelum terjun ke dunia film ia menjadi wartawan. Dari Berita Indonesia (1960), Sinar Harapan (1962-1986), kemudian memimpin surat kabar Suara Pembaruan. Anggota Dewan Film Nasional ini juga anggota PWI yang terjun pertama kali di dunia film sejak tahun 1964 sebagai penulis skenario.
Kini Setiadi Tryman, sahabat yang sekaligus mentor itu telah pergi mendahului kita .Selamat jalan sahabat senior dan mentor kami. Semoga Tuhan memberimu tempat lapang, nyaman, dan indah di sisiNya.
(*H. Ilham Bintang,
- wartawan senior dan pengusaha Indonesia juga dikenal sebagai "raja infotainment" serta "pelopor jurnalistik infotainment" di Indonesia.
- Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat.
- Pendiri Cek & Ricek)
Bapak SETIADI TRYMAN dalam usia 84 tahun pada hari Sabtu, 15 Mei 2021 pukul 19.00 WIB.”
Berita duka itu dikirim Rita, Carmel, Lola, Carla beserta Cucu & Cici atas nama keluarga besar mendiang.
Info itu segera menyebar di berbagai group WA. Saya membacanyanya di grup WA Pengurus PWI Pusat, Minggu (16/5) siang.
Almarhum memang wartawan. Wartawan sangat senior, pernah bergabung ke Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Tokoh pers film Indonesia.
Saya mengenal ( tepatnya berguru) pada Setiadi saat ia menjadi redaktur Harian Sinar Harapan, surat kabar terpandang dan terbesar di Indonesia.
Setelah media itu dibreidel pemerintah dan kemudian terbit lagi dengan nama baru, Harian Suara Pembaruan, Mas Setiadi Tryman diangkat menjadi Pemimpin Redaksi pertamanya.
Saya merasa sangat kehilangan atas kepergian Setiadi Tryman. Sedih kehilanganseorang sahabat dan mentor sekaligus. Saya yakin perasaan kehilangan itu juga dirasaksn kalangan pers dan perfilman Indonesia pada umumnya.
Kami bersahabat lama. Sikapnya yang egaliter sangat mengesankan dalam posisinya sebagai pemimpin redaksi media besar.
Orangnya sangat rendah hati, dan memilih banyak tersenyum dengan humor-humor berkelas dan selalu menggelitik.
Di dunia film Setiadi sudah mencapai tingkat ketokohan yang dihormati masyarakat film. Sudah berkali kali menjadi juri FFI pada saat saya baru mulai menjadi wartawan. Namun sejak perkenalan pertama dengannya, praktis sejak itu kami menjalin persahabatan.
Mas Setiadi lah yang menjadi penopang utama di masa saya menjabat Ketua Humas FFI ( Festival Film Indonesia) dan FSI (Festival Sinetron), tiga priode — 15 tahun— di masa Harmoko menjadi Menteri Penerangan.
Setiadi Tryman seangkatan dan teman gaul di masa muda dengan Harmoko yang kelak menjadi Menteri Penerangan tiga priode di masa pemerintahan Presiden Soeharto.
Sebelum itu Setiadi sudah mengikuti dinamika kehidupan seniman dan budayawan dengan berkecimpung dalam komunitas Seniman Senen yang terkenal di Jakarta. Di situ bergaul dengan aktor terkenal Soekarno M Noer dan Haji Misbach Jusa Biran, antara lain.
Saat menjadi Pemred Harian Suara Pembaruan, saya sering diundang untuk menulis ulasan film dan bahkan menulis artikel itu langsung di atas meja dalam ruangan kantornya.
Kawan senior lain yang juga teman kolaborasi kami di masa itu adalah Paul Lumban Tobing, redaktur film Sinar Harapan. Paul juga termasuk tokoh wartawan film yang terpandang di masanya.
Markas kami masa kolaborasi itu di kantor Dewan Film Nasional, Menteng Raya. Di sini berkantor juga sahabat lama Setiadi. Namanya Zulharmans Said dan Chaidir Rahman yang merupakan kawan perjuanggan sejak tahun 1950 an. Keduanya sudah almarhum. Zulharmans Said adalah Ketua Umum PWI Pusat yang sekaligus menjabat Direktur Utama PT Perfin ( perusahasn pengedar film Indonesia). Wartawan senior Chaidir Rahman juga berkiprah di PT Perfin.
Pernah dalam kurun yang panjang, setiap sore, sepulang kantor, kami berkumpul di Dewan Film Nasional sampai tengah malam. Lokasi Dewan Film, sangat strategis, di tengah kota, Jalan Menteng Raya.
Suatu kali saya ingat, suatu sore datang seorang teman wartawan film namanya Gagar Mayang Dia datang untuk curhat.
Ceritanya, puterinya mendadak dibatalkan oleh gurunya untuk ikut Paskibraka. Pokok soalnya, menurut cerita Gagar Mayang, sejak gagal itu, anaknya menjadi pemurung, tidak punya nafsu makan.
Dia khawatir pada perkembangan putrinya, Gagar minta teman -teman mendukungnya menuntut guru sekolah anaknya. Saya setuju. Teman-teman mendukung.
Terakhir ia minta pandangan ke Setiadi Tryman. Namun, Setiadi tidak setuju. Dia mengajukan pandangan lain. “ Coba cek dulu ibunya anak kamu Gagar. Anaknya dikasih makan apa, lauknya apa? Data ini penting diketahui “ tanya Setiadi.
Gagar langsung menukas: apa hubungannya Mas? “ Ya, banyak. Seumpama anak itu dikasih makan dengan lauk ikan asin, masuk akal kalau dia tidak nafsu makan. Dan, itu berarti tak ada hubungsn dengan larangsn gurunya. Jangan anakmu, gurunya pun saya khawatir tidak nafsu makan juga kalau lauknya ikan asin,” papar Setiadi serius.
Semua terdiam menyimak pandangan itu. Yang gusar hanya Gagar Mayang seorang. Rencana gugatan kepada guru itu memang tidak berlanjut.
Setiadi sepengetahuan saya memang tabu untuk menggunakan cara konfrontasi dalam menyelesaikan masalah. Dia meyakini dialog atau saling mendengar adalah kuncinya.
Teman yang curhat diminta cari tahu secara jelas duduk perkara suatu masalah dengan pendekatan humoristis supaya soal berat pun jadi ringan. Contoh tadi itu.
Betapapun tak puas, toh kekesalan Gagar bisa diredam dengan humor. Bicara soal diplomasi humor Setiadi memang ahlinya.
/Surat-Surat Nyasar
Karya Setiadi Tryman dalam karir sebagai wartawan
maupun orang film banyak yang bisa dikenang. Ia menulis banyak sekenario film dan rubrik " Surat-Surat Nyasar” di Sinar Harapan melagenda. Di rubrik yang digawanginya itu srmua masalah yang dibahas, serumit apapun, dipecahkan dengan selera humor tinggi.
Tak heran jika Surat-Surat Nyasar memiliki pembaca fanatik dalam jumlah besar. Di tangan Setiadi humor menjadi serius. Atau hal serius bisa encer dibuatnya dalam kemasan humor.
Gayanya kritis tapi tidak menyakiti, nyeleneh, tapi mengundang senyum.
Atas permintaannya setelah pensiun, Surat-Surat Nyasar itu dilanjutkan pemuatannya di Tabloid Cek& Ricek. Sempat terbit beberapa tahun sampai Setiadi sendiri menghentikan karena tidak punya waktu banyak lagi untuk mengisinya secara rutin.
Surat-Surat Nyasar di Sinar Harapan maupun di Tabloid C&R menggunakan logo karikatur wajah Setiadi Tryman.
Beberapa kali Setiadi sempat menyambangi saya di kantor C&R. Ngobrol - ngobrol sambil bersenda gurau.
Belakangsn lama kami tidak berkomunikasi lagi. Berita duka kepergiannya yang beredar di WAG membuat saya sedih, saya membuka kembali kenangan-kenangan manis selama persahabatan kami tempo hari.
Setiadi Tryman lahir di Demak, Jawa Tengah. Setamat SMA, ia melanjutkan kursus manajemen, seni drama HBS di Solo (1955), ATNI di Solo (1957) dan Workshop film Directing (KFT). Sebelum terjun ke dunia film ia menjadi wartawan. Dari Berita Indonesia (1960), Sinar Harapan (1962-1986), kemudian memimpin surat kabar Suara Pembaruan. Anggota Dewan Film Nasional ini juga anggota PWI yang terjun pertama kali di dunia film sejak tahun 1964 sebagai penulis skenario.
Kini Setiadi Tryman, sahabat yang sekaligus mentor itu telah pergi mendahului kita .Selamat jalan sahabat senior dan mentor kami. Semoga Tuhan memberimu tempat lapang, nyaman, dan indah di sisiNya.
(*H. Ilham Bintang,
- wartawan senior dan pengusaha Indonesia juga dikenal sebagai "raja infotainment" serta "pelopor jurnalistik infotainment" di Indonesia.
- Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat.
- Pendiri Cek & Ricek)