Jakarta (ANTARA) - Status di wall (dinding) Facebook rekan wartawan Noorca Massardi menyentak Senin (17/5) pagi ini. Bikin saya meneteskan kembali airmata buat sahabat yang mendahului. Noorca mengababarkan Teguh Esha meninggal dunia berberapa menit lalu.
Teguh Esha sahabat yang baik hati. Kawan ngobrol dan diskusi yang mengasyikkan. Dia biasa tiba-tiba muncul di rumah atau di kantor. Dia banyak gagasan. Setiap kali ke kantor selalu mengajak kolaborasi untuk mewujudkan ide kreatifnya.
Puluhan tahun lalu kami sering bertemu, berdiskusi banyak hal. Namun, lima tahun terakhir kami putus kontak dengan Sang Ali Topan ini. Dengan
Kadjat Adrai, adiknya — juga wartawan dan sastrawan— kami masih sering berkomunikasi. Terbaru, dua minggu lalu, dia minta nomer kontak Reza Rahadian.
Nama lengkap Teguh Esha adalah Teguh Slamet Hidayat Adrai. Ia lahir di Banyuwangi, Jawa Timur, 8 Mei 1947. Pernah menjadi mahasiswa Fakultas Ilmu-ilmu Sosial, Departemen Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Ketua IMADA (Ikatan Mahasiswa Jakarta) tahun 1973—1975, Wakil Sekretaris Jendral SOMAL (Sekretariat bersama organisasi- organisasi mahasiswa lokal di Indonesia) tahun 1975—1976, Pemimpin Redaksi Majalah Hiburan Khusus Le Laki.
Nama Teguh melesat bak meteor ketika novelnya “ Ali Topan Anak Jalanan” sukses merebut hati masyarakat, khususnya kaum muda di tahun 70 an.
Lewat novel itu, Teguh memperlihatkan sikapnya yang bebas, dengan gaya bahasanya yang kuat dan orisinil menceritakan kehidupan anak muda Ibukota. Pembangunan watak -watak tokohnya menunjukkan pengetahuannya tentang kehidupan serta aspirasi golongan muda metropolitan yang otentik. Sejak saat itu Teguh Esha dikenal sebagai salah seorang penulis yang menonjol pada tahun 70-an.
Kado lahiran
Perkenalan saya dengan Teguh empat puluh tahun lalu. Di Press Club/ Kantor PWI Pusat, jalan Veteran, Jakarta Pusar. Hari itu berlangsung diskusi yang menampilkan dia salah satu pembicara. Saya ingat persis tanggalnya , 27 Mei 1980, karena putera saya yang pertama Rezanades Mohammad lahir di RS Budi Kemuliaan hari itu.
Dari RS itu siangnya saya kemudian bergeser ke Press Club menghadiri diskusi. Teguh mengucapkan selamat. Dia menyelipkan amplop sebagai kado atas kelahiran putera saya.
Bukan hanya kadonya yang berkesan — 50 ribu rupiah, yang nilainya masa itu sepertiga biaya persalinan kelas 1 di RS Budi Kemuliaan—-tetapi cara Teguh menunjukkan persahabatan, saya nilai luar biasa. Maka itu akan saya kenang selalu sampai kapan pun. Waktu Teguh berkunjung ke rumah atau pun ke kantor, saya ingatkam kisah itu. Dia cuma senyum tersipu khas Teguh. Sampai hari ini saya belum pernah merasa sudah membalas kebaiksnnya.
Sikap solider Teguh yang tinggi kepada kawan, berkait dengan latar belakangnya yang cukup pahit di masa lalu.
Ayahnya, Achmad Adrai, seorang tukang listrik, meninggal waktu Teguh Esha masih berusia empat tahun. "Sejak itulah Ibu merangkap jadi bapak," cerita Teguh, anak ketujuh dari delapan bersaudara itu suatu kali.
Tahun 1959 Wilujeng A. Adrai, ibunya, dengan alasan "demi pendidikan anak-anak," mengajak Teguh dan saudara-saudaranya pindah dari Bangil, Jawa Timur, ke Jakarta. Pada usia belasan tahun di Jakarta itu, Teguh merasakan "masa tantangan hidup". Dia dan kakak atau adiknya harus menjajakan pakaian anak-anak yang dijahit ibunya ke Pasar Tanah Abang, atau menjual kantung kertas ke beberapa toko di situ. Dalam kehidupan yang sulit dan keras, ibunya menetapkan tujuan, yaitu "paling tidak anak-anak harus lulus SMA," cerita Teguh. Upaya itu berhasil. "Sampai mati pun saya akan mengenang kegigihan ibu. Beliau wanita mulia, sangat memperhatikan pendidikan, moral, dan agama," kata Teguh bersemangat. Karena itu ia mengakui kebanyakan novelnya membicarakan soal agama dan moral. "Karena pengaruh Ibu," tambahnya. Novel Teguh antara lain Ali Topan (1977), Ali Topan Detektif Partikelir (1978), Dewi Beser (1979), Dari Januari sampai Desember (1980), Izinkan Kami Bercinta (1981), Anak Gedongan (1981), Dan Penembak Bintang (1981).
Tahun 2000 ia menerbitkan “ Ali Topan Wartawan Jalanan” . Beberapa novelnya sudah difilmkan.
Salah satu ciri novelnya adalah penggunaan bahasa prokem, bahasa slang yang konon berasal dari orang-orang tahanan, yang kemudian menjadi bahasa slang anak muda Jakarta.
Teguh mulai menulis novel tahun 1969. Kakaknya, Djoko Prayitno, redaktur majalah Sonata, ikut andil dalam perjalanan karier Teguh sebagai penulis. "Dia yang menganjurkan saya untuk selalu menulis, apa saja," katanya mengenangkan. Dengan alasan ingin berdiri sendiri, tidak terikat dengan suatu badan penerbit milik orang lain, Teguh pada tahun 1981 mendirikan Ali Topan Press. Beberapa orang pegawainya adalah bekas orang bui yang dikenal Teguh dan telah memberinya andil dalam penulisan bahasa prokem. Menulis bagi Teguh adalah karena, "saya perlu uang". Tahun 1979 ia menikahi Ratnaningiah Indrawati Brotodihardjo, cucu Suratin, pendiri PSSI, yang memberinya tujuh anak.
Teguh sering bercerita yang membuatnya dia bersimpati kepada saya. “ Ada kesamaan dalam keluarga kita Bung Ilham. Kami juga tiga bersaudara terjun di dunia pers,“ katanya.
Empat tahun lalu ia menghadapi masalah kesehatan, sempat dirawat di RS karena jatuh saat di kamar mandi. Setelah kejadian itu Teguh datang silaturahmi ke kantor, menawarkan gagasan kolaborasi. Namun, sayang rencana itu belum terwujud hingga Senin pagi Noorca mengabarkan kepergiannya.
Teguh Esha telah tiada. Innalillahi Wainnailaihi Rojiun.
(*H. Ilham Bintang,
- wartawan senior dan pengusaha Indonesia juga dikenal sebagai "raja infotainment" serta "pelopor jurnalistik infotainment" di Indonesia.
- Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat.
- Pendiri Cek & Ricek)
Baca juga: Catatan Ilham Bintang - Obituari: Mengenang Setiadi Tryman, tokoh pers film dan anggota PWI
Baca juga: Mengharukan Shalat Id Tenda At Tabayyun, pertama kali dalam sejarah 30 tahun
Teguh Esha sahabat yang baik hati. Kawan ngobrol dan diskusi yang mengasyikkan. Dia biasa tiba-tiba muncul di rumah atau di kantor. Dia banyak gagasan. Setiap kali ke kantor selalu mengajak kolaborasi untuk mewujudkan ide kreatifnya.
Puluhan tahun lalu kami sering bertemu, berdiskusi banyak hal. Namun, lima tahun terakhir kami putus kontak dengan Sang Ali Topan ini. Dengan
Kadjat Adrai, adiknya — juga wartawan dan sastrawan— kami masih sering berkomunikasi. Terbaru, dua minggu lalu, dia minta nomer kontak Reza Rahadian.
Nama lengkap Teguh Esha adalah Teguh Slamet Hidayat Adrai. Ia lahir di Banyuwangi, Jawa Timur, 8 Mei 1947. Pernah menjadi mahasiswa Fakultas Ilmu-ilmu Sosial, Departemen Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Ketua IMADA (Ikatan Mahasiswa Jakarta) tahun 1973—1975, Wakil Sekretaris Jendral SOMAL (Sekretariat bersama organisasi- organisasi mahasiswa lokal di Indonesia) tahun 1975—1976, Pemimpin Redaksi Majalah Hiburan Khusus Le Laki.
Nama Teguh melesat bak meteor ketika novelnya “ Ali Topan Anak Jalanan” sukses merebut hati masyarakat, khususnya kaum muda di tahun 70 an.
Lewat novel itu, Teguh memperlihatkan sikapnya yang bebas, dengan gaya bahasanya yang kuat dan orisinil menceritakan kehidupan anak muda Ibukota. Pembangunan watak -watak tokohnya menunjukkan pengetahuannya tentang kehidupan serta aspirasi golongan muda metropolitan yang otentik. Sejak saat itu Teguh Esha dikenal sebagai salah seorang penulis yang menonjol pada tahun 70-an.
Kado lahiran
Perkenalan saya dengan Teguh empat puluh tahun lalu. Di Press Club/ Kantor PWI Pusat, jalan Veteran, Jakarta Pusar. Hari itu berlangsung diskusi yang menampilkan dia salah satu pembicara. Saya ingat persis tanggalnya , 27 Mei 1980, karena putera saya yang pertama Rezanades Mohammad lahir di RS Budi Kemuliaan hari itu.
Dari RS itu siangnya saya kemudian bergeser ke Press Club menghadiri diskusi. Teguh mengucapkan selamat. Dia menyelipkan amplop sebagai kado atas kelahiran putera saya.
Bukan hanya kadonya yang berkesan — 50 ribu rupiah, yang nilainya masa itu sepertiga biaya persalinan kelas 1 di RS Budi Kemuliaan—-tetapi cara Teguh menunjukkan persahabatan, saya nilai luar biasa. Maka itu akan saya kenang selalu sampai kapan pun. Waktu Teguh berkunjung ke rumah atau pun ke kantor, saya ingatkam kisah itu. Dia cuma senyum tersipu khas Teguh. Sampai hari ini saya belum pernah merasa sudah membalas kebaiksnnya.
Sikap solider Teguh yang tinggi kepada kawan, berkait dengan latar belakangnya yang cukup pahit di masa lalu.
Ayahnya, Achmad Adrai, seorang tukang listrik, meninggal waktu Teguh Esha masih berusia empat tahun. "Sejak itulah Ibu merangkap jadi bapak," cerita Teguh, anak ketujuh dari delapan bersaudara itu suatu kali.
Tahun 1959 Wilujeng A. Adrai, ibunya, dengan alasan "demi pendidikan anak-anak," mengajak Teguh dan saudara-saudaranya pindah dari Bangil, Jawa Timur, ke Jakarta. Pada usia belasan tahun di Jakarta itu, Teguh merasakan "masa tantangan hidup". Dia dan kakak atau adiknya harus menjajakan pakaian anak-anak yang dijahit ibunya ke Pasar Tanah Abang, atau menjual kantung kertas ke beberapa toko di situ. Dalam kehidupan yang sulit dan keras, ibunya menetapkan tujuan, yaitu "paling tidak anak-anak harus lulus SMA," cerita Teguh. Upaya itu berhasil. "Sampai mati pun saya akan mengenang kegigihan ibu. Beliau wanita mulia, sangat memperhatikan pendidikan, moral, dan agama," kata Teguh bersemangat. Karena itu ia mengakui kebanyakan novelnya membicarakan soal agama dan moral. "Karena pengaruh Ibu," tambahnya. Novel Teguh antara lain Ali Topan (1977), Ali Topan Detektif Partikelir (1978), Dewi Beser (1979), Dari Januari sampai Desember (1980), Izinkan Kami Bercinta (1981), Anak Gedongan (1981), Dan Penembak Bintang (1981).
Tahun 2000 ia menerbitkan “ Ali Topan Wartawan Jalanan” . Beberapa novelnya sudah difilmkan.
Salah satu ciri novelnya adalah penggunaan bahasa prokem, bahasa slang yang konon berasal dari orang-orang tahanan, yang kemudian menjadi bahasa slang anak muda Jakarta.
Teguh mulai menulis novel tahun 1969. Kakaknya, Djoko Prayitno, redaktur majalah Sonata, ikut andil dalam perjalanan karier Teguh sebagai penulis. "Dia yang menganjurkan saya untuk selalu menulis, apa saja," katanya mengenangkan. Dengan alasan ingin berdiri sendiri, tidak terikat dengan suatu badan penerbit milik orang lain, Teguh pada tahun 1981 mendirikan Ali Topan Press. Beberapa orang pegawainya adalah bekas orang bui yang dikenal Teguh dan telah memberinya andil dalam penulisan bahasa prokem. Menulis bagi Teguh adalah karena, "saya perlu uang". Tahun 1979 ia menikahi Ratnaningiah Indrawati Brotodihardjo, cucu Suratin, pendiri PSSI, yang memberinya tujuh anak.
Teguh sering bercerita yang membuatnya dia bersimpati kepada saya. “ Ada kesamaan dalam keluarga kita Bung Ilham. Kami juga tiga bersaudara terjun di dunia pers,“ katanya.
Empat tahun lalu ia menghadapi masalah kesehatan, sempat dirawat di RS karena jatuh saat di kamar mandi. Setelah kejadian itu Teguh datang silaturahmi ke kantor, menawarkan gagasan kolaborasi. Namun, sayang rencana itu belum terwujud hingga Senin pagi Noorca mengabarkan kepergiannya.
Teguh Esha telah tiada. Innalillahi Wainnailaihi Rojiun.
(*H. Ilham Bintang,
- wartawan senior dan pengusaha Indonesia juga dikenal sebagai "raja infotainment" serta "pelopor jurnalistik infotainment" di Indonesia.
- Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat.
- Pendiri Cek & Ricek)
Baca juga: Catatan Ilham Bintang - Obituari: Mengenang Setiadi Tryman, tokoh pers film dan anggota PWI
Baca juga: Mengharukan Shalat Id Tenda At Tabayyun, pertama kali dalam sejarah 30 tahun