Tarakan (ANTARA) - Dalam masa pandemi Covid-19 yang masih berlangsung saat ini dan masih menjadi rahasia kapan akan berakhir, prilaku berbagi atas sesama harus menjadi prioritas manusia khususnya kaum muslimin di Indonesia khususnya dan dunia pada umumnya.
Menampilkan kedermawanan dengan berbagi saat ini dinilai sebagai pahlawan yang tidak terhingga jasanya. Bagaimana tidak munculnya wabah covid-19 mampu menghambat perekonomian rakyat Indonesia.
Dalam satu dekade terakhir ini misalnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di bawah angka 3 persen.
Berimbas signifan juga kepada tingkat kemiskinan, terlihat pada maret 2020, ketika munculnya kasus corona ini ada kenaikan penduduk miskin yaitu 0,56%, dan pada september 2020, kembali mengalami kenaikan yaitu 10,19 % atau sekitar 27,55 juta orang masuk dalam kategori miskin.
Hal ini akan semakin parah apabila tidak dihalau dengar berbagai macam solusi yang dapat membantu dan meringankan masyarakat yang sangat terdampak. Dalam Islam salah satu Instrumen yang dapat dijadikan solusi disaat adanya ketimpangan ekonomi, keterbelakangan ekonomi, kemiskinan dan lain sebagainya, yaitu intrumen Zakat Infaq Dan Sedekah.
Melihat pentingnya zakat ini maka tak heran di dalam Al-Qur’an zakat disebutkan sebanyak 28 kali dan selalu bersamaan dengan sholat. Seperti dalam Surah Al-Baqarah ayat 43: “Dan Laksanakanlah Shalat, Tunaikanlah Zakat dan Ruku’lah beserta orang yang ruku”. (Al Baqarah : 43).
ZAKAT INTRUMEN KESEJAHTERAAN
Monzer kahf dalam jurnalnya yang berjudul The Performance Of The Institution Of Zakat In Theory And Practice menyatakan bahwa tujuan utama dari adanya syariat Zakat adalah untuk memberikan keadilan sosial ekonomi bagi masyarakat.
Secara sederhana Zakat merupakan transfer harta dari golongan kaya untuk diberikan kepada golongan miskin, dengan harapa terjadi keseimbangan antar dua golongan tersebut.
Dengan instrumen ini dapat meringankan mereka yang terkena dampak dari pandemi covid 19 baik dari segi kesehatan maupun ekonominya. Hal tersebut menggambarkan bahwa sesama kaum muslim kita bersaudara, maka seyogyanya harus saling tolong menolong dan bantu membantu ditengah kesusahan yang melanda.
Sebagai bentuk implementasi dari ayat Al-Qur’an dalam surah al hujarat ayat 10. “Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara, sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat,” (QS.Al-Hujarat :10).
Dalam ayat tersebut kita diperintahkan untuk terus mempererat tali persaudaraan diantara sesama, dan salah satu caranya adalah dengan berzakat infaq dan sedekah. Karena fungsi Zakat sebagai wadah interaksi sosial serta intrumen distribusi kekayaan antara pemberi zakat (Muzakki) dengan penerima zakat (Mustahiq).
KENAPA HARUS BERZAKAT MELALUI LEMBAGA PENGELOLA ZAKAT
Tak sedikit masyarakat yang mempertanyakan tentang bolehkah seseorang ketika membayar zakat langsung kepada mustahiq tanpa melewati lembaga pengelola zakat. maka jawabanya jika dilihat dari suduh fiqih sah dan tidak ada masalah apa-apa.
Akan tetapi jika dilihat dari aspek yang lain seperti aspek makro ekonomi, keadilan, kemerataan perolehan zakat bagi mustahiq, maka perlu ditinjau ulang. Jika melihat bahwa pelaksanaan zakat baik dari segi pengelolaan, pemberdayaan dan lain sebagainya didasarkan kepada firman Allah SWT yang terdapat dalam surat at-taubah ayat 60 dan ayat 103.
“Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk memerdekakan budak, orang yang berhutang, untuk dijalan Allah, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah dan Allah Maha mengetahui lagi maha bijaksana” (QS At-Taubah : 60) Dalam ayat ini, Allah SWT menyebutkan adalah satu golongan yang berhak menerima zakat yaitu ‘Amil (pengelola Zakat). maka tentu penyebutan ini bukan tanpa sebab, akan tetapi untuk memberitahukan bahwa ada pengelola yang mestinya diberikan ruang untuk bertugas untuk mengumpulkan dan menyalurkan harta dari kaum muslimin.
Sehingga ketika kita menyalurkan zakat melalui lembaga pengelola zakat, pada hakikatnya kita menjalankan perintah Allah SWT dalam ayat tersebut. Adapun yang di maksud amil menurut Imam Qurtubi dalam kitabnya al-jami’ li ahkam al-qur’an ketika menafsirkan ayat ini menyatakan bahwa ‘amil adalah orang-orang yang ditugaskan (diutus oleh pemerintah) untuk mengambil, menuliskan, menghitung dan mencatatkan zakat yang diambilnya dari para muzakki (pemberi zakat) untuk kemudian disalurkan kepada yang berhak menerimanya. Hal ini sesuai dengan apa yang dicontohkan rasulullah SAW, bahwa selama hidupnya rasulullah SAW kita tidak pernah menemukan adanya penyalurkan zakatnya secara langsung kepada mustahiq kecuali infaq dan sedekah.
Bahkan, dikisahkan rasulullah pernah mempekerjakan pemuda dari suku Asad, yang bernama Ibnu Lutaibah yang ditugaskan untuk mengurusi zakat bani sulaim, dan juga rasulullah SAW pernah mengutus Ali Bin Abi Thali ke Yaman untuk bertugas sebagai pengurus zakat. hal ini membuktikan bahwa sejak zaman rasulullah sudah ada ‘amil (Pengelola Zakat). dan dilanjutkan konsep Amil tersebut pada masa-masa khulafaur rasyidiin.
Sehingga berzakat melalui lembaga pengelola zakat seyogyanya mengikut apa yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Adapun dari sisi manfaat dan keuntungan yang hanya ditemukan ketika seseorang menyalurkan zakatnya melalui lembaga yang dibentuk pemerintah adalah sebagai berikut : Pertama, untuk menjamin kepastian dan disiplin bayar bagi muzakki, hal ini disebabkan ‘amil akan terus aktif mengingatkan muzakki untuk melaksanakan kewajibannya mengeluarkan zakat.
Kedua, untuk menjaga perasaan para mustahiq yang menerima zakat. mari kita renungkan bersama, ada dampak psikologi negatif yang akan terjadi jika muzakki membayar langsung kepada mustahiq yaitu ketika keluarga mustahiq A mislanya mengetahui bahwa muakki yang memberikannya zakat adalah keluarga B, maka ada dampak psikologis yang dirasakan. Misal anak dari keluarga yang memberikan zakat akan merasa sombong, begitu pula anak yang menerima zakat akan merasa rendah diri karena merasa dirinya merupakan anak yang menerima zakat. sehingga terkesan ada unsur merendahkan menganggap hina ketika berhadapan antara dua golongan tersebut.
Ketiga, menjaga perasaan ikhlas berzakat. Seseorang yang berzakat melalui lembaga pengelola zakat akan mengikis perasaan sombong, bangga diri dari hatinya, berbeda jika muzakki menyalurkannya secara langsung, maka diragukan muncul perasaan sombong dan ujub.
Maka jika melalui lembaga zakat ia tidak akan merasa diri lebih baik dan hebat sehingga keikhlasan memberi dapat terjaga. Sebagai penutup, ketika zakat sebagai suatu kewajiban yang harus ditunaikan, maka sebaikanya salurkan melalui lembaga resmi yang terakui oleh pemerintah agar menjaga perasaan ikhlas, karena muzakki tidak tau kepada siapa zakatnya disalurkan, sehingga ketika bertemu dengan orang miskin maka tidak ada muncul rasa bangga diri. Maka berzakat melalu lembaga akan lebih memperlihatkan keadilan, menciptakan kesamaan derajat dan status antara individu mustahik dan muzakki.
*Oleh DR (C) Fahmi Syam B.IRKH (Hons), MEI Sekertaris LAZISNU Kota Tarakan Dan Mahasiswa Doktor (S-3) Hukum Islam UII.
Baca juga: Telaah - Hoaks, intoleransi dan moderasi beragama
Baca juga: Telaah - Muhammad Kece, di antara peran media tangkal hoaks dan intoleransi
Baca juga: Masa depan pers di tengah badai disrupsi dan pandemi
Menampilkan kedermawanan dengan berbagi saat ini dinilai sebagai pahlawan yang tidak terhingga jasanya. Bagaimana tidak munculnya wabah covid-19 mampu menghambat perekonomian rakyat Indonesia.
Dalam satu dekade terakhir ini misalnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di bawah angka 3 persen.
Berimbas signifan juga kepada tingkat kemiskinan, terlihat pada maret 2020, ketika munculnya kasus corona ini ada kenaikan penduduk miskin yaitu 0,56%, dan pada september 2020, kembali mengalami kenaikan yaitu 10,19 % atau sekitar 27,55 juta orang masuk dalam kategori miskin.
Hal ini akan semakin parah apabila tidak dihalau dengar berbagai macam solusi yang dapat membantu dan meringankan masyarakat yang sangat terdampak. Dalam Islam salah satu Instrumen yang dapat dijadikan solusi disaat adanya ketimpangan ekonomi, keterbelakangan ekonomi, kemiskinan dan lain sebagainya, yaitu intrumen Zakat Infaq Dan Sedekah.
Melihat pentingnya zakat ini maka tak heran di dalam Al-Qur’an zakat disebutkan sebanyak 28 kali dan selalu bersamaan dengan sholat. Seperti dalam Surah Al-Baqarah ayat 43: “Dan Laksanakanlah Shalat, Tunaikanlah Zakat dan Ruku’lah beserta orang yang ruku”. (Al Baqarah : 43).
ZAKAT INTRUMEN KESEJAHTERAAN
Monzer kahf dalam jurnalnya yang berjudul The Performance Of The Institution Of Zakat In Theory And Practice menyatakan bahwa tujuan utama dari adanya syariat Zakat adalah untuk memberikan keadilan sosial ekonomi bagi masyarakat.
Secara sederhana Zakat merupakan transfer harta dari golongan kaya untuk diberikan kepada golongan miskin, dengan harapa terjadi keseimbangan antar dua golongan tersebut.
Dengan instrumen ini dapat meringankan mereka yang terkena dampak dari pandemi covid 19 baik dari segi kesehatan maupun ekonominya. Hal tersebut menggambarkan bahwa sesama kaum muslim kita bersaudara, maka seyogyanya harus saling tolong menolong dan bantu membantu ditengah kesusahan yang melanda.
Sebagai bentuk implementasi dari ayat Al-Qur’an dalam surah al hujarat ayat 10. “Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara, sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat,” (QS.Al-Hujarat :10).
Dalam ayat tersebut kita diperintahkan untuk terus mempererat tali persaudaraan diantara sesama, dan salah satu caranya adalah dengan berzakat infaq dan sedekah. Karena fungsi Zakat sebagai wadah interaksi sosial serta intrumen distribusi kekayaan antara pemberi zakat (Muzakki) dengan penerima zakat (Mustahiq).
KENAPA HARUS BERZAKAT MELALUI LEMBAGA PENGELOLA ZAKAT
Tak sedikit masyarakat yang mempertanyakan tentang bolehkah seseorang ketika membayar zakat langsung kepada mustahiq tanpa melewati lembaga pengelola zakat. maka jawabanya jika dilihat dari suduh fiqih sah dan tidak ada masalah apa-apa.
Akan tetapi jika dilihat dari aspek yang lain seperti aspek makro ekonomi, keadilan, kemerataan perolehan zakat bagi mustahiq, maka perlu ditinjau ulang. Jika melihat bahwa pelaksanaan zakat baik dari segi pengelolaan, pemberdayaan dan lain sebagainya didasarkan kepada firman Allah SWT yang terdapat dalam surat at-taubah ayat 60 dan ayat 103.
“Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk memerdekakan budak, orang yang berhutang, untuk dijalan Allah, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah dan Allah Maha mengetahui lagi maha bijaksana” (QS At-Taubah : 60) Dalam ayat ini, Allah SWT menyebutkan adalah satu golongan yang berhak menerima zakat yaitu ‘Amil (pengelola Zakat). maka tentu penyebutan ini bukan tanpa sebab, akan tetapi untuk memberitahukan bahwa ada pengelola yang mestinya diberikan ruang untuk bertugas untuk mengumpulkan dan menyalurkan harta dari kaum muslimin.
Sehingga ketika kita menyalurkan zakat melalui lembaga pengelola zakat, pada hakikatnya kita menjalankan perintah Allah SWT dalam ayat tersebut. Adapun yang di maksud amil menurut Imam Qurtubi dalam kitabnya al-jami’ li ahkam al-qur’an ketika menafsirkan ayat ini menyatakan bahwa ‘amil adalah orang-orang yang ditugaskan (diutus oleh pemerintah) untuk mengambil, menuliskan, menghitung dan mencatatkan zakat yang diambilnya dari para muzakki (pemberi zakat) untuk kemudian disalurkan kepada yang berhak menerimanya. Hal ini sesuai dengan apa yang dicontohkan rasulullah SAW, bahwa selama hidupnya rasulullah SAW kita tidak pernah menemukan adanya penyalurkan zakatnya secara langsung kepada mustahiq kecuali infaq dan sedekah.
Bahkan, dikisahkan rasulullah pernah mempekerjakan pemuda dari suku Asad, yang bernama Ibnu Lutaibah yang ditugaskan untuk mengurusi zakat bani sulaim, dan juga rasulullah SAW pernah mengutus Ali Bin Abi Thali ke Yaman untuk bertugas sebagai pengurus zakat. hal ini membuktikan bahwa sejak zaman rasulullah sudah ada ‘amil (Pengelola Zakat). dan dilanjutkan konsep Amil tersebut pada masa-masa khulafaur rasyidiin.
Sehingga berzakat melalui lembaga pengelola zakat seyogyanya mengikut apa yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Adapun dari sisi manfaat dan keuntungan yang hanya ditemukan ketika seseorang menyalurkan zakatnya melalui lembaga yang dibentuk pemerintah adalah sebagai berikut : Pertama, untuk menjamin kepastian dan disiplin bayar bagi muzakki, hal ini disebabkan ‘amil akan terus aktif mengingatkan muzakki untuk melaksanakan kewajibannya mengeluarkan zakat.
Kedua, untuk menjaga perasaan para mustahiq yang menerima zakat. mari kita renungkan bersama, ada dampak psikologi negatif yang akan terjadi jika muzakki membayar langsung kepada mustahiq yaitu ketika keluarga mustahiq A mislanya mengetahui bahwa muakki yang memberikannya zakat adalah keluarga B, maka ada dampak psikologis yang dirasakan. Misal anak dari keluarga yang memberikan zakat akan merasa sombong, begitu pula anak yang menerima zakat akan merasa rendah diri karena merasa dirinya merupakan anak yang menerima zakat. sehingga terkesan ada unsur merendahkan menganggap hina ketika berhadapan antara dua golongan tersebut.
Ketiga, menjaga perasaan ikhlas berzakat. Seseorang yang berzakat melalui lembaga pengelola zakat akan mengikis perasaan sombong, bangga diri dari hatinya, berbeda jika muzakki menyalurkannya secara langsung, maka diragukan muncul perasaan sombong dan ujub.
Maka jika melalui lembaga zakat ia tidak akan merasa diri lebih baik dan hebat sehingga keikhlasan memberi dapat terjaga. Sebagai penutup, ketika zakat sebagai suatu kewajiban yang harus ditunaikan, maka sebaikanya salurkan melalui lembaga resmi yang terakui oleh pemerintah agar menjaga perasaan ikhlas, karena muzakki tidak tau kepada siapa zakatnya disalurkan, sehingga ketika bertemu dengan orang miskin maka tidak ada muncul rasa bangga diri. Maka berzakat melalu lembaga akan lebih memperlihatkan keadilan, menciptakan kesamaan derajat dan status antara individu mustahik dan muzakki.
*Oleh DR (C) Fahmi Syam B.IRKH (Hons), MEI Sekertaris LAZISNU Kota Tarakan Dan Mahasiswa Doktor (S-3) Hukum Islam UII.
Baca juga: Telaah - Hoaks, intoleransi dan moderasi beragama
Baca juga: Telaah - Muhammad Kece, di antara peran media tangkal hoaks dan intoleransi
Baca juga: Masa depan pers di tengah badai disrupsi dan pandemi