Jakarta (ANTARA) - NAMA LENGKAPNYA Gaius Julius Caesar Agustus Germanicus. Kaisar Romawi yang berkuasa pada 37 hingga 41 Masehi ini, lebih dikenal dengan nama kecilnya: Caligula. 

Usianya 25 tahun saat menjadi Kaisar, menggantikan Tiberius Julius Caesar Augustus, yang tewas dibunuh Naevius Sutorius Macro, komandan milter. Versi lain menyebutkan, Tiberius tewas setelah dicekik Caligula. 

Naiknya Caligula sebagai kaisar ketiga Romawi dari Dinasti Yulius-Claudius ini, disambut meriah masyarakat Roma. Dia membuat kebijakan populis,  menghapus pajak penjualan dan membebaskan tahanan politik semasa Kaisar Tiberius di pengasingan. Caligula disukai. 

Namun tidak lama. Lelaki pucat yang dilahirkan di Antium (kini Anzio), Italia 31 Agustus 12 Masehi, ini berubah menjadi tiran. Caligula menikahi beberapa saudara kandungnya, di antaranya Julia Agrippina dan Drusilla, juga gemar membunuh dan memaksa orang bunuh diri. Saudara sepupu sekaligus anak angkatnya, Tiberius Gemellus, yang berusia 18 tahun, diperintahkannya bunuh diri.

Perintah bunuh diri berlanjut pada orang dekat, yang dinilainya mengancam kekuasaannya. Juga kepada rakyat yang tidak disukainya. 

Menurut penulis biografi Suetonius, ketika orang-orang di sekelilingnya menyebut seekor kambing di hadapannya, Caligula -- yang tubuhnya ditumbuhi banyak bulu –- sangat marah. Dia merasa disindir. Akibatnya, orang tersebut dihukum mati. 
Caligula semakin tidak terkontrol. Kekuasaan mengantarkannya dari seorang tiran menjelma menjadi monster. Dia menyebut dirinya sebagai dewa yang hidup. Dengan posisi itu, dia dapat melakukan apa saja. Kuda kesayangannya bernama Incitatus, diangkatnya sebagai pejabat tinggi (konsul). Pesta besar dibuat ketika mengumumkan kuda itu sebagai pejabat tinggi. Rumah mewah dan pelayan disiapkan. 

“Ingat, saya memiliki hak untuk melakukan apa pun kepada siapa pun,” kata Caligula. Kalimat ini sangat populer.

Suatu kali, saat menghadiri pesta pernikahan sahabatnya, Caligula menggantikan pengantin pria. Suami pengantin hanya terdiam.  Caligula memecat sejumlah pejabat Romawi karena lupa hari lahirnya.

Ancient Origins -- majalah terbitan Dublin, Irlandia, yang khusus merekontruksi sejarah -- dalam laporannya, 29 Maret 2019, menyebutkan Caligula adalah Kaisar Romawi paling tiran. Selama memerintah, sekitar empat tahun, diisi pembunuhan, pesta pora, pemborosan anggaran, dan penyimpangan seks. 

Menurut sejarawan Lucius Cassius Dio dalam bukunya Sejarah Romawi terbitan Loeb Classical Library edisi 1924, Caligula sering sekali berpura-pura untuk meraih simpati para Senator. “Dia selalu berpura-pura berada dalam bahaya dan menjalani kehidupan yang menyedihkan. Para senator, setelah mengetahui hal itu, memberinya tepuk tangan,” tulis Dio.

Nationalgeographic.co.id edisi 5 Agustus 2022 menulis, setahun menjadi kaisar, Caligula menghabiskan 2,7 miliar sestertii (uang Romawi) yang ditinggalkan pamannya, Kaisar Tiberius. Caligula menghabiskan uang untuk pesta pora, membangun dua kapal di Danau Nemi, dan membangun jembatan tiga kilometer melintasi Teluk Baiae. Jembatan ini tempatnya menunggang kuda melintasi laut.

Para ilmuwan menemukan sisa-sisa istana mewah Caligula, setelah tiga tahun menggali di bawah kantor Enpam di sepanjang Piazza Vittorio Emanuele II di Roma, Italia. Istana itu dilengkapi taman, air mancur, kebun binatang berisi burung unta, rusa, bahkan beruang. Arkeolog juga menemukan artefak, permata, koin, tulang binatang, serta bros logam milik penjaga kekaisaran.

“Bisa dibayangkan hewan-hewan berlarian bebas di lanskap yang mempesona ini. Hewan-hewan liar ini juga digunakan untuk sirkus pribadi kaisar,” ungkap Dr. Mirella Serlorenzi di Kementerian Warisan Budaya dan Kegiatan, yang dikutip National Geographic.
Semua penemuan ini, tulis  National Geographic, menceritakan kisah yang luar biasa tentang kemewahan. Gaya hidup Caligula itu menyebabkan pembayar pajak mengeluarkan lebih banyak uang. Tempat persembunyian favoritnya adalah taman Horti Lamiani di Bukit Esquiline. Saat ini, tempat itu berada di sekitar Piazza Vittorio Emanuele II.

Untuk mengisi kas negara yang defisit, Caligula melelang para budak gladiator dengan harga sangat tinggi. Pembelinya orang-orang kaya yang berupaya menarik simpati Kaisar tersebut. Dia juga menjual harta warisan kaisar sebelumnya dengan menyebutkan, “ini milik kakekku yang sangat bersejarah.”

Rakyat Roma semakin tidak tahan. Mereka menginginkan Caligula mati.

Baca juga: Catatan Asro Kamal Rokan - Hawana 2022, dari Melaka ke Jalan bersejarah
Baca juga: Catatan Meidyatama Suryodiningrat - Nada sendu pendulang mimpi di Hari Musik Nasional
Baca juga: Catatan Ilham Bintang - Melongok Jambore Kedirgantaraan Susi Air di Pangandaran


*****

CALIGULA hidup dalam ketakutan, karena itu dia membunuh -– tidak peduli itu keluarganya, istri, anak angkat, paman, dan bahkan orang yang tidak dikenalnya. Dari sini, dia mendapatkan kebahagian.

Drama Caligula karya Albert Camus -- filsuf terkemuka, penulis, wartawan, dan peraih Nobel Sastra pada 1957 -- menjelaskan soal tersebut melalui dialog-dialog antartokoh.

“Ada dua jenis kebahagiaan. Aku telah memilih jenis yang kejam, karena aku bahagia,” kata Caligula saat mencengkeram leher istrinya, Caesonia.

“Sungguh aneh!,” kata Caligula sambil memperkuat cengkeramannya. “Ketika aku tidak membunuh, aku merasa sendiri. Kehidupan tidak mencukupi mengisi duniaku dan mengusir kebosananku. Aku merasakan kehampaan besar .. Aku hanya merasa tenang jika ditemani orang-orang yang kubunuh.” 

Di saat Caligula mencekik istrinya, tiba-tiba masuk Cassius Chaerea dan Scipio –-  anggota Praetorian Guard (pengawal pribadi) Caligula. Keduanya menghunjamkan pisau ke tubuh Kaisar muda itu. Tawa Caligula berubah menjadi erangan. "Aku masih hidup!,” teriaknya sebelum tewas.

Drama Caligula, yang pertama kali dipentaskan di Teater Hubertot, Paris, 1945, sangat populer di seluruh dunia. Di Indonesia, drama Albert Camus ini dipentaskan Teater Kecil, yang disutradarai Arifin C Noer di Taman Ismail Marzuki, selama tiga hari sejak 13 Januari 1970.

Selain versi Albert Camus, ada versi lain pembunuhan Caligula. Sejarawan Lucius Cassius Dio, film seri Roman Empire, dan sejumlah buku sejarah Romawi, menyebutkan, Kaisar Romawi ini dibunuh setelah menyaksikan Palatine, acara olaharaga dan teater, yang diadakan setiap Januari untuk menghormati Augustus, kaisar pertama Roma.

Saat itu, 24 Januari 41 Masehi. Seniman drama Catullus sedang menggelar pantomim berjudul Laureolus. Caligula duduk di sisi kanan teater, dikelilingi  keluarga dan orang-orang kepercayaannya. Sedangkan Chaerea, pengawal pribadinya, tidak jauh dari Caligula, sambil mengawasi para konspiratornya. Dia terlihat tidak sabar.

Pertunjukkan belum selesai, namun Caligula meninggalkan teater, diikuti Claudius dan Valerius Asiaticus. Berbeda dengan rute sebelumnya, kali ini Caligula jalan melalui lorong gelap dan sempit.

Beberapa hari sebelumnya, seorang peramal memberi tahu Caligula bahwa dia akan dibunuh. Mungkin ini alasannya mengambil jalan melalui ruang bawah tanah, jalur yang aman.

Namun, dalam lorong kecil dan gelap itu, Chaerea telah menunggu. Pengawal pribadi ini dengan cepat menebas pedang di antara tulang selangka dan leher Caligula. Kaisar melarikan diri, namun Sabinus menebas pedangnya. Caligula jatuh. Menurut Cassius Dio, sebanyak tiga puluh tusukan bersarang ke tubuh Caligula. Bahkan, tidak berhenti setelah Caligula tewas.

Rakyat Romawi menyambut kematian Caligula, kaisar kejam dan tiran. Selain rakyat, menurut Cassius Dio, hampir semua orang di istana menginginkan kematian Caligula. Setidaknya, ada tiga kelompok konspirator. Kelompok Emilius Regulus, yang tidak banyak diketahui orang. Ada Annius Vinicianus, dan kelompok Cassius Chaerea, seorang anggota Praetorian Guard (pasukan yang paling dekat dengan kaisar).

Motif Chaerea bersifat pribadi. Dia tersinggung terhadap lelucon Caligula. Di depan umum, Caligula selalu menyebut pengawal pribadinya ini banci. Tidak jarang Caligula menirukan gaya gemulai Chaerea dan menertawakannya.

Sedangkan konspirator lain membunuh kaisar berusia 29 tahun tersebut, dengan alasan untuk membebaskan Romawi dari kekejaman. Semua skenario dan alasan bersatu pada 24 Januari 41 Masehi. Dan, Claudius – paman Caligula – yang juga menginginkan kematian Caligula, naik tahta sebagai kaisar. 

Caligula telah tewas, tapi tirani tidak berhenti. Kaisar Nero Claudius Caesar Augustus Germanicus, yang naik tahtah setelah Kaisar Claudius mati diracun, tidak kalah kejamnya dibanding pamannya, Caligula. Kaisar Nero berusia 17 tahun saat naik tahta, 13 Oktober 54 M -- tiga belas tahun setelah Caligula dibunuh.


Nero membunuh ibu kandungnya, Agrippina Minor – adik Caligula – karena merasa Ibunya lebih berkuasa darinya. Dia juga membunuh adik tirinya, Britannicus, karena dianggap ancaman bagi kekuasaannya. Nero memenggal kepala istrinya, Claudia Octavia, dengan tuduhan berselingkuh. Kemudian menendang, Poppaea Sabina, istri keduanya yang hamil. Dia juga membunuh istri ketiganya, Statilia Messalina dengan tuduhan berselingkuh.

Menurut sejarawan Tacitus, Kaisar penganut Pagan ini, membakar kota Roma pada 18-19 Juli 64 Masehi dan menuduh umat Kristen melakukannya. Nero membunuh mereka tanpa rasa kemanusiaan, sangat kejam. Nero dikenal sebagai pembunuh massal dan menyiksa untuk kesenangan. 

Seperti Caligula, rakyat membenci Kaisar Nero. Pada tahun 68 Masehi, Kaisar yang berkuasa selama 13 tahun itu, dipaksa turun dalam kudeta militer. Dia bunuh diri sebelum dieksekusi mati.

Kaisar Caligula dan Nero hidup dalam bayangan ketakutan, mencurigai setiap orang akan mengambil kekuasaannya. Dengan membunuh, mereka berharap dapat meredakan ketakutannya, meredam kecurigaannya. Ternyata tidak. Mereka kembali membunuh dan tetap membangun sendiri kecurigaannya. 

Era tiran, brutal, dan kegilaan dua Kaisar ini, diperburuk karena kontrol terhadap kekuasaan yang lemah. Para Senator tidak berdaya – atau dibuat tidak berdaya. Mereka lebih suka menjadi penghibur, pemandu sorak, juga dayang-dayang untuk mengamankan diri, posisi, dan kekuasaannya. 

Kaisar Caligula dan Nero telah mati dengan cara berbeda. Tapi tirani tidak terkubur bersama mereka. Tirani menjelma dalam cara dan wajah berbeda. 

Jakarta, Agustus 2022


*) Asro Kamal Rokan adalah wartawan senior, pernah menjadi Pemimpin Redaksi Republika (2003-2005) dan Pemimpin Umum LKBN ANTARA (2005-2007) Oleh Asro Kamal Rokan *)


Baca juga: Catatan Meidyatama Suryodiningrat - Keteguhan dan keberpihakan Indonesia di tengah kemunafikan "G19"
Baca juga: Catatan Ilham Bintang - Berselancar di Ruang Big Data Penduduk Indonesia
Baca juga: Catatan Ilham Bintang - Nama & Peristiwa di 5 Benua Dalam Buku " Granada, Menangislah .."

Pewarta : Redaksi
Editor : Iskandar Zulkarnaen
Copyright © ANTARA 2024