Catatan Bahrul Alam - BJ Habibie wafat - Jenius yg Relijius

id Prestasi bj habibie

Catatan Bahrul Alam - BJ Habibie wafat -  Jenius yg Relijius

BJ Habibie (ANTARA)

Jakarta (ANTARA) - Sekitar 31 tahun lalu, tepatnya tahun 1988, aku ditugasi oleh Kepala Biro Nikkei di Jakarta utk mewawancarai pak habibie yg waktu itu masih menjabat Menristek dan Kepala BPPT.

Setelah berkordinasi dgn Kepala Humas BPPT waktu itu, pak Sumakmur Makka, kamipun diberi waktu khusus. Syaratnya, jangan lama lama, krn beliau orang super sibuk.

Aku mengiyakan tanda setuju. Kamipun dipersilakan masuk ke ruang kerja pribadi pak Habibie di lantai 2 gedung BPPT jalan MH Thamrin Jakarta.

Setelah memperkenalkan bos ku, Mr Komaki, dan diriku, serta tentang maksud dan tujuan kami mewawancarai beliau, pak Habibie terlihat sangat welcome.

Kami memang bermaksud menulis ttg sosok beliau sebagai seorang jenius tapi relijius. Buat masyarakat Jepang, hal spt ini sangat langka ditemukan pd diri seseorang apalagi kalau sudah jadi pejabat penting spt pak Habibie.

Banyak hal yg kami tanyakan dr beliau. Salah satunya, tentang sikapnya memposisikan diri pada bulan Ramadhan ketika sedang melakukan. Kunjungann kerja ke LN yg notabene tdk menjalankan ibadah saum spt di Jepang.

Baca juga: BJ Habibie dalam kenangan
Baca juga: Tiada lagi Habibie, Bapak Kemerdekaan Pers Indonesia


Dengan santai beliau mengatakan kalau dia tetap berpuasa. Bahkan, sholat lima waktupun tak pernah ditinggalkannya selama dia mengemban tugas negara.

Tak terasa kami sdh lebih satu jam berada di ruang kerjanya. Pak Sumakmur tampak melirik arlojinya. Tapi pak Habibie tetap asyik bercerita. Bahkan, beliau mengajak kami keluar ruang kerjanya dan menuju satu ruangan kecil. Di situ, pak Habibie bercerita ttg dirinya ketika sedang menunaikan sholat di tengah kesibukannya sbg pembantu pak Harto. "No Habibie yg Mentri. yang ada hanyalah seorang hamba Allah yg bernama Habibie. ". Aku saat itu sangat terkesima menyaksikan sikap relijius pak Habibie.

Kebersahajaannya dan keluguannya dalam bertutur, seakan meluluhkantakkan sekat jeniusitas dan protokoler kaku yg selama ini acap hadir dalam setiap perjumpaanku dgn pejabat negara.

Lantas apa yg Bapak alami ketika sedang bermunajat di ruangan kecil ini, kataku sambil menunjuk ke hamparan sajadah di ruangan itu. "Saya tidak punya apa2 kecuali seorang hamba yg dipinjami sesuatu oleh Allah, yaitu kecerdasan yg semuanya punya Dia".

Aku tertunduk haru. Malu dan merasa tak ada apa2nya dihadapan sosok manusia yg kuanggap langka.

Satu hal lagi yg sangat kuingat dr pak Habibie. Dan itu berkali kali diitegaskannya. Hanya ada 2 (dua) orang wanita yg sangat mempengaruhi hidupnya. Pertama ibunya. Kedua, istrinya, bu Ainun.

Pernah suatu kali, karena sangat suka membaca, pak Habibie mengaku mencuri curi waktu membaca di luar sepengetahuan bu Ainun. Yaitu, ketika istrinya tetidur, beliau melanjutkan bacaannya.

Tentu semua itu dilakukan agar tdak mengganggu bu Ainun . Karena bu Ainun tdk ingin melihat pak Habibie terganggu waktu istirahatnya.

Karena wawancara kami sudah lebih satu jam, dan beliau masih ada jadwal lain, kamipun mohon pamit. Dan pak Habibie memberikan sebuah buku tentang dirinya yg ditulia oleh pak Sumakmur Makka. Akupun minta maaf kpd pak Sumakmur atas molornya waktu kami.

Sepanjang perjalanan ke kantorku yg terletak di Wisma Antara, lantai 14, Jl. di Jalan Thamrin, Jakarta, aku terus merenung dan mengingat kalimat demi kalimat, kata demi kata yg meluncur dari bibir pria kelahiran Pare Pare Sulawesi Selatan itu.

Apalagi dia juga sempat menceritakan bagaimana dia waktu masih kecil harus menimba air dr sumur, dan kalau mengaji suka memakai kopiah dan kain sarung sebagaimana anak2 di pedesaan lainnya.

Pak Habibie. memang khas. Dan tidak saja.ketika mewawancarainya pada 1988 .

Pada thn 98, Aku juga pernah sowan ke rumah beliau di Kuningan bersama Ira WismoyoArismunandar, pak Adang Ruchyatna (Letjen PurTNI/Mantan Pangdam Udayana) dalam rangka membicarakan ide memerahkan Kalender pada tabggal 10 Muharram sebagai Hari Raya Anak Yatim.

Waktu itu, kami mendirikan Yayasan Peduli Yatim Piatu Mandiri. Tujuannya untuk membantu dan memberdayakan anak2 yatim piatu sbg tunas bangsa yg berdayaguna dan mandiri. Kami meminta Ibu Ainun sbg Pelindung Yayasan.

Alhamdulillah, bu Ainun sangat antusias karena beliau juga adalah pembina dan sekaligus pendiri ORBIT-organisasi nirlaba utk meningkatkan kualitas SDM anak2 Indonesia.

Frankly speaking. ktika aku menulis cerita ini, aku sangat terharu dan begitu melo. Air mataku seperti mau tertumpah. Tapi kutahan. Ada rasa sesak di dada. Bukan karena aku sok lebai, kata anak jaman " now".

Semua itu karena spontanitas ritme biologisku. Aku seperti nenyaksikan sebuah kisah "dongeng" Seribu Satu Malam tentang sosok pria bernama Baharudin Yusuf Habibie.
Beliau telah menginspirasiku tentang makna kehidupan yg hakiki.
Beliau juga telah mengajari kita bagaimana menggunakan kacamata yg pas dalam melihat kehidupan beragama, berkeluarga, berbangsa, bernegara dan menjadi seorang ilmuwan.

Sangatlah tepat apa yg dituliskan dalam sebuah ayat Al Quran, bahwasanya setiap pasangan itu sudah ditetapkan oleh Allah SWT. Sosok jenius dan relijius itu dikarunia Allah seorang wanita tangguh, cerdas, setia dan penuh welas asih thd sesama, yaitu Ibu Ainun.

Selamat jalan Bapak Bangsa...
Selamat Jalan Sang Inspirator
Selamat Jalan Hamba Allah yg bersahaja

Baca juga: BJ Habibie wafat - DPRD Kaltara: Semangat kembangkan teknologi tinggi terus hidup
Baca juga: BJ Habibie wafat - Doa ratusan petani dan nelayan
Baca juga: Habibie wafat - Presiden tiba di RSPAD Jakarta


Allahumma firglahu, warhamhu, waafihi, waa fuanhu..

Japos 11 September 2019/Rabu

(Catatan BahrulAlam, wartawan senior)