Obat malaria gagal lagi, tidak ampuh bagi COVID-19

id Corona obat malaria

Obat malaria gagal lagi,  tidak ampuh bagi COVID-19

Obat malaria tak ampuh

Rhode Idland (ANTARA) - Obat malaria, yang berulang kali dipromosikan Presiden Amerika Serikat Donald Trump sebagai perubahan penting dalam perang melawan virus coronabaru,kembali gagal menunjukkan manfaatnya pada pasien COVID-19 yang dirawat di rumah sakit.

Kesimpulan itu dihasilkan dari sebuah penelitian yang diluncurkan pada Kamis (7/5).

Sekalipun penelitian yang diterbitkan dalam New England Journal of Medicine itu memiliki sejumlah keterbatasan tertentu, para dokter melaporkan bahwa penggunaanhydroxychloroquinetidak mengurangi kebutuhan pasien atas bantuan pernapasan ataupun menurunkan risiko kematian.

"Kami tidak melihat adanya hubungan antara menggunakan obat ini dan peluang kematian atau intubasi," kata ketua peneliti Dr. Neil Schluger kepada Reuters dalam wawancara telepon. "Para pasien yang mendapatkan obat ini tampaknya tidak menjadi lebih baik."

Di antara pasien yang diberihydroxychloroquine, 32,3 persen akhirnya membutuhkan ventilator atau menjadi kritis, dibandingkan dengan 14,9 persen pasien yang tidak memperoleh obat itu.

Baca juga:EMA ingatkan efek samping obat malaria untuk pasien COVID-19

Tetapi, dokter lebih mungkin meresepkanhydroxychloroquinekepada pasien yang sakit parah, jadi para peneliti di New York-Presbyterian Hospital dan Columbia University Irving Medical Center menyesuaikan hasil penelitian itu dengan fakta tersebut.

Mereka menyimpulkan bahwa obat itu mungkin tidak memperparah pasien, tetapi jelas tidak membantu.

Hydrocxychloroquine, yang juga digunakan untuk mengobati lupus dan radang sendi, juga tidak menunjukkan manfaat bila dikombinasikan dengan antibiotikazithromycin, menurut laporan tim Schluger.Azithromycinsendiri juga tidak menunjukkan manfaat.

Bulan lalu, dokter di Departemen Urusan Veteran AS melaporkan bahwahydroxychloroquinetidak membantu pasien COVID-19 dan mungkin menimbulkan risiko kematian yang lebih tinggi.

Analisis catatan medis menunjukkan tingkat kematian 28 persen ketika obat diberikan sebagai tambahan perawatan standar, dibandingkan dengan 11 persen dengan perawatan standar saja.

Baca juga:Gilead gandeng mitra internasional genjot produksi obat remdesivir

Dalam penelitian terbaru itu, 811 pasien mendapathydroxychloroquinedan 565 tidak.

Karena mereka tidak secara acak menerimahydroxychloroquineatau plasebo, "penelitian tidak boleh digunakan untuk mengesampingkan baik manfaat maupun bahaya" dari obat, kata para peneliti. Percobaan acak, standar utama untuk tes terapi baru, harus dilanjutkan, tambah mereka.

Tetapi untuk saat ini, "pedoman di rumah sakit kami telah berubah sehingga kami tidak merekomendasikan pemberianhydroxychloroquinekepada pasien yang dirawat di rumah sakit," kata Dr. Schluger, kepala divisi obat-obatan paru, alergi dan perawatan kritis di Irving.

Studi yang lebih kecil, termasuk yang dilakukan di China, telah menunjukkan bahwahydroxychloroquinemungkin berguna, "tetapi ini adalah studi kecil dan tidak berkualitas baik. Orang-orang memanfaatkannya karena pasien kritis," katanya.

Saat in, tidak ada pengobatan yang disetujui untuk COVID-19, meskipun remdesivir obat antivirus eksperimental Gilead Sciences Inc minggu lalu menerima otorisasi penggunaan darurat dari regulator Amerika Serikat.

Baca juga:Perusahaan Inggris uji coba obat diabetes untuk pasien COVID-19

Baca juga:900 pasien dari 90 negara ikut "solidarity trial" coba obat COVID-19



Penjelasan Menristek soal bahan alternatif pencegah COVID-19


00:00
00:00



Penerjemah: Gusti Nur Cahya Aryani
Editor: Tia Mutiasari