Mewaspadai anak dari ancaman radikalisme dunia maya

id Fkpt,Bnpt,Pumpunan,Terorisme

Mewaspadai anak dari ancaman radikalisme dunia maya

Acara Penguatan Kompetensi Penceramah Agama di Kanwil Agama Kalimantan Utara 2020" untuk Kabupaten Bulungan di Hotel Luminor Tanjung Selor, Senin (26/10/2020).

Tanjung Selor (ANTARA) - Dampak perkembangan teknologi komunikasi begitu cepat di era revolusi industri 4.0, ibarat seperti dua bilah mata pisau bisa untuk memotong roti dan membunuh, ada dampak positif dan negatif.

Dampak negatif ini, termasuk penyebaran radikalisme dan terorisme.

Penyebaran radikalisme dan rekruitmen anggota (propaganda) kini banyak menggunakan "cyber space" (dunia maya).

Sementara hoaks menjadi strategi dalam menghasut menggunakan deksi untuk membenci,termasuk stategi "media framing" dalam mengemas pemberitaan untuk kepentingan mereka.

"Jadi selalu pantau perkembangan anak anda karena hakikatnya kita saat ini hidup di dunia dua dunia, yakni dunia nyata dan di dunia maya atau cyber space," kata Ketua Forum Komunikasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Kaltara Datu Iskandar Zulkarnaen.

Hal itu disampaikan pada acara "Penguatan Kompetensi Penceramah Agama di Kanwil Agama Kalimantan Utara 2020" untuk Kabupaten Bulungan di Hotel Luminor Tanjung Selor, Senin (26/10/2020).

Masalah potensi radikalisme yang mengancam generasi muda itu banyak mendapat pertanyaan dari peserta pada acara digelar oleh Kanwil Kementerian Agama Kaltara itu.

Iskandar menjelaskanciri-ciri anak yang kemungkinan terpapar radikalisme antara lain mendadak anti sosial atau tiba-tiba lebih banyak mengurung diri di kamar.

Ciri lain perubahan sikap emosional ketika berbicara.

Berkumpul dengan komunitas yang dirahasiakan.

Memutus komunikasi dengan orang tua dan keluarga

Prilaku juga berubah, misalnya kecurigaan dan kritik berlebihan.

"Ciri lain, menampakkan sikap, pandangan dan tindakan yang berbeda," katanya.

Baiat online

Ia menyebutkan hakikatnya kini telah terjadi pertarungan atau upaya untuk nyata dalam deradikalisasi kontra radikalisme dan terorisme setiap hari melalui di dunia maya (cyber space).

Tentu ini tidak terlepas dari perkembangan teknologi komunikasi begitu cepat di era revolusi industri 4.0.

Riset "platform" manajemen media sosial HootSuite dan agensi marketing sosial We Are Social bertajuk "Global Digital Reports 2020" mencatat, pengunainternet di Indonesia mencapai 175,4 juta orang.

Jumlah itu hampir 64 persen dari total penduduk Indonesia 272,1 juta jiwa.

Dari laporan itu, data yang tak kalah menariknya, ternyata ada 160 juta pengguna aktif media sosial.

Sementara itu, hasil survei BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) belum lama ini menunjukkan skor pencarian informasi seputar agama di internet mencapai 39,89 dari skala penilaian 0-100.

Ini tergolong tinggi dan ada kerawanan, yakni tidak semua informasi keagamaan di internet mengajarkan kedamaian.

Penyebaran radikalisme dan rekruitmen anggota (propaganda) kini banyak menggunakan "cyber space".

Sementara hoaks menjadi strategi dalam menghasut menggunakan deksi untuk membenci.

Termasuk pula stategi "media framing" dalam mengemas pemberitaan untuk kepentingan kelompok radikalis dan teroris.

Data Kominfo menunjukan dari 2017 hingga Maret 2019 ada 13.032 konten bermuatan radikal yang ditangani.

Ini baru data yang ditemukan, dilaporkan, dan ditangani, sedangkan yang belum tersentuh masih banyak.

Banyaknya konten radikal di media sosial bisa menjadi indikasi, yakni ada agenda dari jaringan pelaku teror untuk menyebarluaskan ideologinya dengan memanfaatkan internet.

"Selain menggunakan hadist-hadist palsu untuk mempengaruhi orang awam, yang paling berbahaya kemajuan teknologi komunikasi dimanfaatkan untuk pembaiatan secara online," kata Iskandar.

Penceramah dan deradikalisasi

Guna menyelamatkan generasi muda ini, maka salah satu peran diharapkan dari penceramah agama ikut berperan aktif dalam deradikalisasi.

Deradikalisasi merupakan semua upaya untuk mentransformasi dari keyakinan atau ideologi radikal
menjadi tidak radikal.

Deradikalisasi dapat berbentuk upaya identifikasi, rehabilitasi, reedukasi, dan resosialisasi dengan mengedepankan prinsip pemberdayaan,hak wsasi manusia, supremasi hukum dan kesetaraan.

Tujuan umum deradikalisasi adalah untuk membuat para teroris atau kelompok yang melakukan
kekerasan bersedia meninggalkan atau melepaskan diri mereka dari aksi dan kegiatan terorisme.

Tujuan umum deradikalisasi adalah untuk membuat para teroris atau kelompok yang melakukan
kekerasan bersedia meninggalkan atau melepaskan diri mereka dari aksi dan kegiatan terorisme.

Peran penceramah agama diharapkan ikut menetralisir media-media yg menyebarkan berita bohong (hoax) terkait dengan idiologiidiologi jihad ataupun berita yg memungkinkan mendorong tumbuh dan berkembangnya radikalisasi.

Keterlibatan dalam penguatan jiwa nasionalisme masyarakat indonesia, khususnya turut mensosialisasikan empat konsensus dasar bangsa indonesia bagi generasi muda, yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika.

Berupaya memberikan ilmu yg dapat membentengi masyarakat agar tidak terhasut dan terjerat dlm kegiatan-kegiatan radikal maupun paham-paham yg sesat/menyesatkan.

Ceramah-ceramah pencerahan dalam rangka penanggulangan kejahatan dunia maya atau medsos.

Melakukan kontra radikalisasi
meluruskan berbagai pemahaman yang benar tentang ajaran Islam, termasuk idiologi jihad.

"Bagi anak-anak muda, kata-kata jihad begitu gagah, padahal jihad sesungguhnya bukan membunuh atau menghidupkan, di sini peran penting penceramah," katanya.

Frasa jihad mengalami sebuah distorsi yang cukup parah akibat kegagalan memahami maknanya yang hakiki.

Makna jihad harusnya tidak bisa terlepas dari konteks sejarah, hukum, syarat dan etika jihad.

Dalam perjuangan, jihad (perjuangan dengan fisik) tidak terpisah dengan ijtihad (perjuangan dengan nalar), dan mujahadah (perjuangan dengan kekuatan rohani).

Peran para penceramah, ustadz atau ulama diharapkan juga untuk lebih terlibat dalam deradikalisasi.

"Yaitu, menyadarkan pelaku/eks pelaku bahwa aksi terorisme merupakan pelanggaran hokum dan
penyimpangan ajaran agama," katanya.

Berperan aktif dalam proses deradikalisasi terhadap mantan napi teroris.

Langkah penting lain,tidak mengucilkan eks napi teroris yang kembali ke masyarakat setelah jalani hukuman, melainkan menyadarkan dan melibatkannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Perlunya, bimbingan (konseling) dan penyuluhan kepada pelaku/eks pelaku teroris beserta keluarganya.

"Yang terakhir, ini sangat penting serta harus melibatkan berbagai pihak, yakni membantu mencarikan pekerjaan bagi eks napi teroris yang kembali ke masyarakat selesai jalani hukuman guna menghindari faktor ekonomis dari iming-iming kelompok yang ingin kembali menjerumuskan mereka," kata Iskandar.


Baca juga: "Perang" deradikalisasi kontra radikalisme di "cyber space"

Baca juga: Peranan strategis perempuan dalam deradikalisasi

Baca juga: Potensi radikalisme dan tafsir Pancasila