Jakarta (ANTARA) - Pakar hukum tata negara Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Prof Asep Warlan menilai penyusunan GBHN tidak cukup ditangani anggota DPR dan DPD, melainkan harus didampingi para ahli dan tokoh bangsa.

"Jika diserahkan kepada DPR dan DPD khawatir muatan-muatannya akan politik, jangka pendek, kekuasaan," katanya saat dihubungi Antara dari Jakarta, Kamis, menanggapi wacana perlunya kembali GBHN.

Baca juga: Pakar: GBHN perlu sebagai pedoman pembangunan jangka panjang

Menurut Asep, MPR sebagai penyusun GBHN harus didampingi oleh ahli-ahli yang berasal dari tokoh nasional yang teruji kompetensi, integritas kebangsaan, dan kenegarawanannya.

Jadi, kata dia, MPR tidak hanya diisi DPR dan DPD, tetapi juga ada utusan golongan yang berasal dari ahli-ahli dan tokoh nasional yang sudah mumpuni.

"Ya, tidak perlu juga kembali seperti dulu dengan adanya utusan golongan. Cukup dengan keputusan MPR bahwa diisi juga selain DPR dan DPD," katanya.

Baca juga: Pengamat : Haluan negara harus sesuai sistem presidensial

Ia mengatakan pembentukan semacam panitia atau komisi negara perlu juga untuk menyiapkan naskah akademik dan rancangan GBHN.

"Bagaimana Ketetapan MPR yang akan dijadikan GBHN, bagaimana isinya," kata Asep, yang mengusulkan Tap-Tap MPR bisa direvisi jadi GBHN tanpa harus mengamandemen UUD 1945.

Menurut dia, banyak ketetapan MPR yang masih berlaku, seperti Tap MPR tentang Etika Berbangsa, Tap MPR Pembaruan Agraria dan Pengelolaan SDA, serta Tap MPR Visi Misi Indonesia 2020.

Baca juga: Rektor UMP: GBHN menentukan arah pembangunan

Pada dasarnya, ujar dia, GBHN adalah penjabaran dari pembukaan dan batang tubuh UUD 1945 yang menjadi desain besar kebangsaan.

"Karena memang dari batang tubuh UUD 1945 sangat simpel, tidak rinci. Misalnya, tentang kesejahteraan, perekonomian, SDA, demokrasi kan relatif ringkas. Nah, penjabarannya tidak bisa langsung loncat ke UU," katanya.

Sebelumnya, Kongres V PDI Perjuangan yang berlangsung di Bali merekomendasikan agar MPR kembali menetapkan GBHN.

"Amandemen yang kita perlukan adalah amandemen yang bersifat terbatas, berkaitan GBHN," kata Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto seusai Kongres V PDIP, di Bali, Sabtu (10/8).

PDIP menilai presiden tetap harus dipilih rakyat sebagai bentuk kedaulatan rakyat, karena pemilihan presiden secara langsung memberikan mandat yang sangat kuat bagi presiden terhadap legitimasi dan legalitasnya dengan jaminan masa jabatan lima tahun, kecuali melanggar konstitusi.

Namun terkait haluan negara, kata Hasto, diperlukan garis besar yang ditetapkan MPR sebagai representasi seluruh rakyat Indonesia.

Pewarta: Zuhdiar Laeis
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2019