Jakarta (ANTARA) - Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika RI Henry Subiakto mengatakan ada empat kelompok masyarakat yang kerap menjadi target persebaran kabar bohong atau hoaks. Guru Besar FISIP Universitas Airlangga itu menyebutkan masyarakat mayoritas suatu negara paling sering menjadi sasaran para penyebar konten hoaks. Baca juga: Menkominfo apresiasi korban hoaks yang mampu menahan diri Baca juga: Hoaks resahkan keluarga korban pesawat jatuh Baca juga: Beredar foto korban tenggelam di Pantai Pangi, ini penjelasannya "Kalau saya mengamati, yang diserang dan coba dimanipulasi itu pasti masyarakat mayoritas. Jadi kalau di Amerika, masyarakat yang dipengaruhi biasanya kulit putih, beragama Protestan dan berbahasa Inggris," ujar Henry yang ditemui di Gedung KPU RI, Jakarta, Selasa. Menurut dia, emosi kelompok mayoritas sering menjadi sasaran "empuk" untuk dimainkan, sehingga dukungannya terhadap suatu isu dapat dimanfaatkan. "Di Indonesia target kelompoknya memang berbeda dengan  negara lain, tapi strateginya sama. Seperti juga di Brasil, target hoaks biasanya masyarakat beragama Khatolik," jelas Henry. Selanjutnya, kata dia, korban kabar bohong biasanya didominasi oleh masyarakat yang ada di perkotaan. "Alasannya karena masyarakat di kota punya uang lebih banyak, sehingga lebih mampu membeli ponsel dan mengakses internet," tambah Henry. Masyarakat berpendidikan tinggi kini juga tidak luput dari paparan kabar bohong, kata dia. Menurut Henry, semakin tinggi pendidikan seseorang maka akan semakin kritis pikirannya. Namun, sikap kritis tersebut dapat "menumpul" ketika terus-menerus dihadapkan dengan informasi yang bertentangan dengan fakta. Selain kelompok terdidik, masyarakat yang fanatik beragama pun turut menjadi incaran para penyebar kabar bohong, terang dia. Jika masyarakat tidak mau berubah, maka Henry memperkirakan persebaran hoaks akan makin sulit dihentikan dalam beberapa tahun ke depan. "Bahkan, bisa juga makin besar pada Pilkada 2020 maupun Pilpres 2024," tuturnya.

Pewarta: Agita Tarigan
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2019