Jakarta (ANTARA) - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) keberatan apabila pengaturan eksistensi tindak pidana khusus dimasukkan dalam RUU KUHP dan menilai tindak pidana khusus semestinya diatur dalam aturan yang khusus pula.

"Untuk tindak pidana khusus, Komnas HAM punya kepentingan besar kalau pelanggaran HAM berat masuk RKUHP. Posisi kami tidak kepingin ini masuk dalam RKUHP," tutur Komisioner Komnas HAM Choirul Anam di Jakarta, Selasa.

Baca juga: DPR RI masih sempurnakan RUU KUHP

Baca juga: Komisi III optimistis RUU KUHP selesai pada periode 2014 sampai 2019


Tindak pidana khusus, termasuk tindakan yang digolongkan dalam kejahatan luar biasa, apabila dimasukkan dalam delik umum akan berimplikasi pada banyaknya asas tertentu yang sulit diberlakukan.

Ia mencontohkan terdapat kontradiksi selama ini pelanggaran HAM berat tidak memiliki masa kedaluwarsa, sementara apabila diatur dalam KUHP terdapat batas waktu kedaluwarsa.

Selama ini dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, sejumlah kasus pelanggaran HAM berat masih belum diselesaikan, apalagi jika menggunakan RKUHP dikhawatirkan semakin berat untuk diselesaikan.

Anam pun khawatir pasal tindak pidana berat terhadap HAM dalam RKUHP akan tidak mengenal asas retroaktif sehingga mereduksi pelanggaran HAM berat yang terjadi.

Titik perubahan signifikan lainnya adalah dalam UU Nomor 26 Tahun 2000 menyebut penganiayaan dalam bentuk kejahatan, sementara dalam RKUHP diganti dengan persekusi. Menurut Anam kata persekusi lebih tepat daripada penganiayaan sesuai konteks di Indonesia.

Namun, menurut dia, masalah akan muncul nantinya pelaku pelanggaran HAM berat masuk dalam bentuk persekusi sesuai RKUHP atau UU Nomor 26 Tahun 2000.

"Menempatkan pergantian penganiayaan menjadi persekusi harusnya bukan RKUHP, tetapi revisi UU Nomor 26, sekaligus Komnas diberi kewenangan lebih," ucap Anam.

Baca juga: Komnas HAM nilai demokrasi dan HAM belum seimbang

Baca juga: AJI dan LBH Pers desak pasal penghinaan pengadilan RKUHP dicabut

Pewarta: Dyah Dwi Astuti
Editor: Nurul Hayat
Copyright © ANTARA 2019