Jakarta (ANTARA News) - Anggota Komisi XI DPR, Dradjad Hari Wibowo, mengimbau ke Departemen Keuangan (Depkeu) untuk menghentikan sementara penerbitan Surat Utang Negara (SUN), jika biaya penerbitan melebihi harapan pemerintah, hingga pasar obligasi lebih kondusif. Ditemui di Gedung DPR Jakarta, Rabu, Dradjad mengatakan, penerbitan SUN sebesar Rp6 triliun dengan imbal hasil (yield) rata-rata sekitar 13,5 persen itu telah mendorong terjadinya lingkaran ekspektasi yang berpengaruh negatif situasi fiskal pemerintah. "Saya sangat menyayangkan kenapa pemerintah masih tetap melepas SUN dengan yield yang sedemikian tinggi karena itu malah memberikan sinyal kepada investor dan pelaku pasar bahwa yield ke depan akan makin tinggi, lalu suku bunga di dalam negeri akan naik, kemudian kenaikan BI rate tidak akan tertahan, sehingga ekspektasi inflasi akan tinggi," katanya Dijelaskannya, pemerintah saat ini masih mempunyai ekses likuiditas dari masih rendahnya penyerapan anggaran di awal triwulan. "Kalau punya likuiditas cukup, jangan dipaksakan atau jangan ditubruk dengan yield SUN sun yang terlalu mahal," katanya. Menurut anggota Fraksi PAN itu, imbal hasil yang ideal saat ini adalah sekitar 12 karena ekspketasi inflasi kita di bawah itu. "Ini akan memberatkan BI dalam menjalankan fungsi moneternya, karena investor lebih memilih SUN dibanding SBI. Mau tidak mau, BI harus terus menaikkan BIB Rate dan ekspektasi inflasi akan semakin meninggi," ujarnya. Sementara itu, Deputi Kemeneg PPN/Bappenas bidang Pendanaan Pembangunan Lukita Dinarsyah Tuwo mengatakan, pemerintah tidak mungkin menunda penerbitan SUN mengingat adanya komitmen terhadap APBN P yang harus dipenuhi. "Kan proyek pembangunan jalan terus. Belum lagi ada kebutuhan yang rutin, seperti gaji yang jalan terus," katanya. Menurutnya, Depkeu dipastikan telah menghitung semua opsi dalam rangka memenuhi kebutuhan pembiayaan, termasuk imbal hasil yang sangat tinggi tersebut. "Opsi-opsi lain sudah dioptimalkan, Saya kira itu adalah masalah pilihan. Kita juga melakukan pinjaman program, tapi kan itu ada kapasitas yang bisa diambil. Privatisasi juga tidak bisa langsung segera," katanya. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008