Jakarta, (ANTARA News) - Pemerintah akan memangkas jumlah penerbitan surat utang negara (SUN) tahun 2008 sebesar Rp15 triliun menyusul ketatnya likuiditas pasar saat ini. "Menghadapi kondisi ketatnya likuidtas, pemerintah akan `stand ready`, ada beberapa langkah seperti mengurangi penerbitan SUN," kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Depkeu, Anggito Abimanyu di Jakarta, Senin. Ia mengatakan, penerbitan SUN yang semula diperkirakan mencapai 1,7 persen dari PDB (netto Rp117 triliun) akan dikurangi. "Jadi kita akan mengurangi jumlah penerbitan," katanya. Sementara itu Kepala Biro Humas Depkeu, Samsuar Said, menyatakan bahwa prospek likuiditas Indonesia tetap terjaga. Gejolak pasar global sejak Juli 2007 telah berimbas kepada perekonomian dunia termasuk Indonesia yang menyebabkan pasar keuangan mulai mencari titik keseimbangan baru. Hal itu sedikit banyak menimbulkan ketidakpastian bagi pelaku pasar. Dalam keadaan seperti itu posisi pasar negara berkembang menjadi kurang beruntung karena pemodal besar cenderung melikuidasi posisinya di negara berkembang untuk menutupi kerugiannya di tempat lain serta berpindah ke instrumen yang dianggap lebih aman (surat utang di AS) atau bentuk kas. Akibatnya likuiditas di pasar keuangan di berbagai negara termasuk Indonesia menjadi langka. Di Indonesia, pada saat bersamaan pertumbuhan ekonomi yang tinggi membutuhkan likuiditas yang lebih besar pula dan pada akhirnya berpengaruh terhadap likuiditas di pasar saham dan perbankan nasional. Menurut Depkeu, secara makro keadaan dan prospek likuiditas Indonesia tetap terjaga di tengah gejolak pasar global dan pasar keuangan domestik yang telah membawa dampak kepada perkembangan indeks harga saham, pasar SUN, maupun rupiah. Terjaganya likuiditas ditandai dengan gambaran APBN hingga Agustus 2008 di mana realisasi pendapatan negara khususnya penerimaan pajak naik sebesar 46 persen sehingga total penerimaan negara mencapai 68 persen dari target. Pada posisi belanja negara memang belum mencapai target. Pengeluaran subsidi BBM diperkirakan berkurang karena penurunan harga minyak sehingga mengurangi pengeluaran negara. Akibatnya defisit 2008 diperkirakan turun dari semula 2,1 persen dari PDB menjadi sekitar 1,7 persen dari PDB. Dengan penurunan defisit itu maka kebutuhan pembiayaan melalui penerbitan surat utang akan turun sebesar Rp15 triliun yang akhirnya mengurangi kebutuhan likuiditas pemerintah dari pasar. Pemerintah yakin bahwa likuiditas makro akan tetap terjaga dan dapat mendukung perkembangan perekonomian. Namun persoalan yang dihadapi juga menyangkut likuiditas mikro di tingkat perbankan. Oleh karena itu pemerintah bersama BI akan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mengantisipasi tekanan likuiditas makro maupun mikro. Langkah tersebut antara lain pemerintah memperbaiki penyerapan belanja bahkan mempercepat pengucuran belanja untuk reknening-rekening tertentu, mengurangi penerbitan SUN, mempercepat revisi PP 1/2007 tentang insentif fiskal untuk industri, penyediaan fasilitas likuiditas kepada bank oleh BI melalui operasi pasar terbuka maupun pembelian surat berharga, dan penyempurnaan aturan pemberian fasilitas repo sehingga mempermudah bank mendapat likuiditas tambahan dari BI. Pemerintah dan BI mengimbau perbankan dan pelaku pasar tetap tenang, tidak panik, serta tidak terpancing melakukan perang harga atau suku bunga yang gilirannya akan merugikan industri itu sendiri. Pemerintah dan BI akan tetap memonitor perkembangan dari waktu ke waktu dan berkoordinasi mengambil langkah-langkah yang dianggap perlu untuk meminimalkan kerugian yang dialami industri keuangan maupun perekonomian nasional. "Pemerintah dan BI akan tetap menjaga stabilitas sistem keuangan Indonesia dalam menghadapi penyesuaian terhadap gejolak pasar global," kata Samsuar Said.(*)

Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2008