Jakarta (ANTARA) - Dari berbagai hal yang bisa menjadi pertimbangan menjalani prosedur bayi tabung atau in-vitro fertilization (IVF), usia istri menjadi salah satunya.

Hal itu mengingat kuantitas sel telur--sebagai salah satu faktor keberhasilan program--berkurang seiring bertambahnya usia, menurut ahli fertilitas di Sunfert International Fertility Centre, Kuala Lumpur Dr Eeson Sinthamoney.

"Semakin usia bertambah semakin berkurang jumlah sel telur. Kualitas sel telur yang baik juga bisa berkurang, dan embrio yang dihasilkan berkurang. Lebih banyak embrio berkualitas semakin tinggi kemungkinan bisa dua garis (hamil)," tutur Eeson di Jakarta, Rabu.

Dia mengatakan, kondisi ini normalnya terjadi di usia awal 30 tahunan. Oleh karena itu, proses bayi tabung sebaiknya dilakukan saat usia istri kurang dari 35 tahun.

Baca juga: Persiapkan hal ini sebelum ikuti program bayi tabung

Baca juga: Program bayi tabung pintar lebih mudah dan aman
konsultan obstetri dan ahli ginekolog di Alpha IVF & Women Specialist, Malaysia, Dr. Lam Wei Kian di Jakarta, Rabu (15/1/2020). (ANTARA/Lia Wanadriani Santosa)


Hal serupa juga direkomendasikan konsultan obstetri dan ahli ginekologi di Alpha IVF & Women Specialist, Malaysia, DR Lam Wei Kian.

Dia mengatakan, peluang keberhasilan perempuan menjalani IVF di bawah usia 35 tahun sekitar 79 persen dan angka ini turun menjadi 60 persen pada usia 35 tahun ke atas.

"Jikalau 35 tahun ke atas, secara umum angka kesuksesannya mencapai 50-60 persen. Angka kesuksesan IVF masih tinggi asalkan keadaan rahim dan kualitas sel telur normal," kata dia.

Kemudian, saat proses IVF pertama gagal, pasutri bisa menjalani prosedur serupa di bulan berikutnya.

Baca juga: Kenali gangguan sperma penyebab pria tidak subur

Baca juga: Wanita ini lahirkan anak dari embrio beku sejak 25 tahun lalu


Pengalaman menjalani IVF

Jochbeth Wairata, adalah salah satu perempuan yang menjalani proses bayi tabung. Waktu itu usianya 34 tahun, sementara suaminya, 44 tahun.

Dia menikah setahun sebelumnya. Saat itu Jochbeth merasa kondisi kesehatan dirinya dan sang suami baik-baik saja sehingga berencana hamil secara alami.

Namun, setahun menikah dia tak kunjung memiliki keturunan. Padahal sudah berbagai cara dia dan suami lakukan agar bisa punya anak, termasuk pengobatan menggunakan bahan-bahan herbal.

"Tahun pertama (pernikahan) cuek, mau jalani secara alami. Kami tidak menjalani screening test. Setahun lewat, tidak juga punya anak. Usia sudah 34 tahun. Coba pengobatan herbal, tidak berhasil," tutur dia.

Jochbeth dan suami juga berkonsultasi dengan dokter kandungan dan diresepkan asam folat. Saat itu dia masih belum menjalani screening test untuk sistem reproduksinya.

Baca juga: Ingin tambah momongan, Astrid Tiar tak mau coba bayi tabung

Baca juga: "Sperma Nol" Ternyata Bisa Lahirkan Anak


Barulah menjelang usia 35 tahun, dia dan suami (yang memasuki usia 45 tahun) menjalani screening test lalu IVF di Malaysia. Hasil tes menunjukkan, rahimnya kering, sementara suaminya bermasalah pada kualitas sperma.

"Rahim saya kondisinya seperti wanita usia 40 tahun, kering. Kualitas dan kuantitas sel telur sedikit. Suami saya, jumlah sperma sedikit, kualitas enggak bagus, bentuk sperma enggak normal," papar Jochbeth.

Prosedur IVF pertama yang dia dan suami lakukan pada tahun 2016 gagal. Setahun kemudian mereka mencoba lagi dan berhasil. Melalui IVF kali kedua, dia mendapatkan bayi laki-laki kembar.

Di Indonesia, dokter spesialis obstetri dan ginekologi, Dr. Ivan Sini, pernah menjelaskan, pada tahapan awal IVF, dokter akan mengevaluasi ada tidaknya indikasi khusus pasien harus menjalani proses ini.

Khususnya pada perempuan, indikasinya beragam, mulai dari saluran reproduksi yang terhambat, kualitas sel telur yang tidak bagus, endometriosis atau kista cokelat dan usia.

Baca juga: Ilmuwan penemu "bayi tabung" tutup usia

Baca juga: Nenek 58 tahun akan lahirkan cucu dari kandungannya

Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2020