Jakarta (ANTARA) - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim berencana mengubah isi buku pelajaran bagi pelajar untuk memperbaiki kemampuan membaca para siswa di Indonesia.

"Untuk meningkatkan literasi harus mengubah paradigma, buku-buku yang digunakan di sekolah selama ini hanya fokus ke buku-buku paket pembelajaran dan kurikulum, tapi yang lebih penting lagi bagaimana agar mereka mencintai membaca," kata Nadiem di kantornya di Jakarta, Jumat.

Nadiem menyampaikan hal tersebut melalui "video conference" setelah mengikuti rapat terbatas dengan tema "Strategi Peningkatan Peringkat Indonesia dalam Programme for International Student Assessment (PISA)" yang dipimpin Presiden Joko Widodo.

Baca juga: Stafsus Mendikbud: Pembelajaran daring jangan dipersulit

Dalam ratas tersebut Presiden Jokowi menyatakan skor kemampuan membaca para siswa di Indonesia lebih rendah dibanding kemampuan matematika dan sains berdasarkan penilaian dari PISA.

Skor kemampuan membaca siswa Indonesia adalah 371 dan berada di posisi 74, kemampuan matematika skornya 379 di posisi 73 dan kemampuan sains di dengan skor 396 di posisi 71.

"Jadi konten-konten harus fokus pada hal yang menyenangkan untuk siswa. Perubahan terpenting, kalau anak mencintai membaca, mereka akan tertarik karena konten menarik. Dari situ proses literasi akan terjadi," ungkap Nadiem.

Nadiem mengatakan selama ini pelajaran Bahasa Indonesia juga terbagi menjadi tiga fokus, yaitu literasi, gramatika dan kosa kata, sedangkan ke depannya ia ingin agar benar-benar fokus ke literasi.

Baca juga: IGI usul Mendikbud hapus jalur prestasi pada PPDB

Baca juga: UN yang terhenti paksa karena corona


"Bagaimana konten pelajaran Bahasa Indonesia menggunakan buku-buku yang menyenangkan, menarik, relevan untuk jenjang masing-masing siswa kita. Jadi bagaimana bisa cinta membaca, mencintai bacaan, persuasif secara verbal dan persuasif dengan menulis itu yang akan mendorong angka literasi kita naik dan tentu bukan hanya dari buku, tapi juga 'channel' belajar 'online'," kata Nadiem.

Untuk itu, terkait penilaian kompetensi pembelajaran dari masing-masing daerah juga akan diubah. Perubahan ini khususnya mengenai ujian yang menggantikan Ujian Nasional (UN).

"Akan ada beberapa perbedaan dengan UN. Pertama 'assesment' di masing-masing sekolah dan tidak semua siswa akan diuji, tapi 'sampling' dari setiap sekolah di tingkat SD, SMP, SMA dengan standar yang sama di semua daerah," tutur Nadiem.

Namun, lanjutnya, meski ujian tersebut merata di setiap daerah, yang membedakan adalah perlakukan setelah proses "assesment" tersebut.

"Seperti UN tidak ada perbedaan dari tesnya, yang berbeda adalah setelah 'assesment', penanganan masing-masing daerah tergantung di level kompetensinya. Jadi ada segmentasi, ada daerah yang lebih banyak bantuan, misalnya karena kami di Kemendikbud menjunjung tinggi keberagaman, meski 'assesment' standar, tapi setelah 'assesment' yang berbeda sesuai kebutuhan masing-masing daerah," jelas Nadiem.

Baca juga: Nadiem pastikan UTBK tetap diselenggarakan

Baca juga: Kemendikbud sebut tidak bisa lakukan pemetaan komperehensif pada 2020


Selain perubahan jenis ujian akhir dan perlakuan setelah ujian akhir tersebut, Nadiem juga akan melakukan penyederhanaan kurikulum di semua jenjang.

"Kita sudah sepakat menyederhanakan kurikulum, sehingga lebih mudah dipahami guru dan siswa, beban konten pelajaran harus turun, sehingga di masing-masing konten bisa mendalami kompetensinya, tapi apakah jumlah muatan pelajaran dikecilkan atau konten dikecilkan itu masih dikaji oleh tim," katanya.

Tim Kemendikbud, menurut Nadiem, masih mendiskusikan dan mempertimbangkan masukan dari berbagai organisasi terkait penyederhanaan kurikulum tersebut.

"Jadi belum bisa jawab apakah mata pelajaran dikurangi atau konten dikurangi, tapi beban siswa yang banyak sehingga tidak bisa mendalami apapun akan kita buat sederhana dan dibuat lebih fleksibel," paparnya.

PISA merupakan sistem ujian yang diinisiasi oleh Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) untuk mengevaluasi sistem pendidikan dari 72 negara di seluruh dunia.

Baca juga: Mendikbud: Harus ada interaksi guru-siswa meski belajar online

Baca juga: Mendikbud: Pembatalan UN tak berdampak pada penerimaan siswa baru


Setiap tiga tahun, yaitu pada tahun 2000, 2003, 2006, 2009, 2012 dan seterusnya bagi siswa berusia 15 tahun dipilih secara acak untuk mengikuti tes dari tiga kompetensi dasar, yaitu membaca, matematika dan sains.

Indonesia mulai sepenuhnya berpartisipasi sejak tahun 2001. Pada setiap siklus, terdapat 1 domain major sebagai fokus studi.

PISA tidak hanya memberikan informasi tentang "benchmark" Internasional, tetapi juga informasi mengenai kelemahan serta kekuatan siswa beserta faktor-faktor yang mempengaruhinya.
 

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2020