Kalau dilarang maka harga akan kembali jatuh di bawah biaya produksi yaitu biaya panen, pengantaran dan kupas
Jakarta (ANTARA) - Petani kelapa yang tergabung dalam Perhimpunan Petani Kelapa Indonesia (Perpekindo) menolak rencana pelarangan ekspor kelapa bulat.

Ketua Umum Perpekindo Muhaemin Tallo menyatakan setelah beberapa tahun harga kelapa rendah sekarang petani sedang menikmati harga tinggi karena permintaan ekspor yang tinggi.

"Kalau dilarang maka harga akan kembali jatuh di bawah biaya produksi yaitu biaya panen, pengantaran dan kupas. Petani kelapa akan jauh dari sejahtera, dan dalam masa pandemi COVID-19 akan banyak penambahan kemiskinan di pedesaan," katanya melalui keterangan tertulis di Jakarta, Rabu.

Sebelumnya dalam RDP dengan Eselon I Kementan, Ketua Komisi IV DPR Sudin minta Kementan melarang ekspor kelapa bulat alasannya Indonesia sedang melakukan hilirisasi dengan mendorong pengolahan di dalam negeri.

Industri kelapa di dalam negeri kekurangan bahan baku karena kelapa bulat banyak diekspor, terutama ke China. Semua bagian kelapa baik sabut, tempurung, daging dan air bisa diolah jadi produk yang bernilai tambah tinggi.

" Ekspor harus dilarang supaya industri pengolahan kelapa berkembang," ujar Sudin.

Menurut Muhaemin, usulan pelarangan ekspor kelapa oleh kalangan industri sudah sering diajukan dalam dialog antara perwakilan petani dan kalangan industri yang dimediasi oleh Kementerian Pertanian, Perdagangan, Industri atau Kementerian Kordinator Perekonomian.

Dengan luas 3,8 juta ha, Indonesia merupakan pemilik kebun kelapa terbesar di dunia kemudian Filipina dan India. Selain ada 5 negara lain yang mengusai 90 persen luas kelapa dunia.

“Semua negara produsen kelapa mengekspor kelapa bulat. Jadi kenapa Indonesia ingin membuat keputusan yang berbeda dengan rencana akan melarang. Pelarangan harus berdasarkan data yang valid. Kalau tidak maka akan merugikan petani,” katanya.

Muhaemin menyatakan ekspor kelapa bulat ke beberapa negara Asia dan Timur Tengah tidak pernah mengurangi kecukupan bahan baku baik rumah tangga maupun industri dalam negeri. Hal itu bisa dibuktikan dengan melihat ketersediaan kelapa di pasar lokal yang tidak pernah mengalami kekurangan.

Data Kementan menunjukkan produksi kelapa Indonesia sekitar 15,4 miliar butir per tahun . Dengan kebutuhan rumah tangga sekitar 1,53 miliar butir dan Industri sekitar 9,6 miliar butir maka terjadi surplus sekitar 4,5 miliar butir per tahun.

Indonesia, menurut dia, tidak kekurangan bahan baku, yang terjadi adalah kalangan industri tidak bisa bersaing dengan harga beli para eksportir ditingkat petani.

“Kalau ekspor dilarang siapa yang bisa menjamin kelapa petani akan ditampung oleh industri dengan harga yang ditawarkan eksportir, " katanya.

Menurut Muhaemin, kajian Kementan biaya produksi kelapa Rp2.200/butir, kalau harga di bawah itu petani pasti rugi.

Sebelum ekspor kelapa bulat marak, tambahnya, kelapa petani sering hanya dihargai Rp1.200/butir. Larangan ekspor bisa mengembalikan ke posisi seperti ini.

Baca juga: Ekspor kelapa sawit 2020 diperkirakan tak terpengaruh COVID-19
Baca juga: Kekurangan bahan baku, DPR minta Kementan atur larangan ekspor kelapa
Baca juga: Bungkil kelapa primadona ekspor Sulut ke India saat pandemi COVID-19

Pewarta: Subagyo
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2020