Jakarta (ANTARA) - Pemerintah Indonesia berharap keputusan Taiwan melarang masuk seluruh pekerja migran Indonesia (PMI) per 18 Desember 2020 bukan kebijakan yang didorong oleh kepentingan politik, kata Kepala Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Benny Rhamdani saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Kamis.

"Saya berharap keputusan Taiwan ini tidak didorong alasan politis, tetapi lebih ke alasan medis," ujar dia saat diminta tanggapan mengenai kebijakan Taiwan yang diumumkan oleh Pusat Komando Epidemi Sentral (CECC), Rabu (16/12).

CECC Taiwan mengumumkan pihaknya akan melarang masuk seluruh pekerja migran Indonesia tanpa batas waktu yang ditentukan karena kasus COVID-19 yang diyakini terus memburuk. "CECC akan memutuskan kapan larangan itu dicabut sesuai dengan status pandemi COVID-19 di Indonesia," kata badan penanggulangan pandemi Taiwan sebagaimana disiarkan di laman resminya.

Menurut Benny, keputusan Taiwan melarang masuk seluruh pekerja migran Indonesia itu gegabah dan terlalu cepat, padahal Pemerintah Indonesia telah menyampaikan komitmen dan keseriusannya untuk mengirim buruh migran yang sehat secara jasmani dibuktikan dengan hasil tes PCR COVID-19 negatif.

Ia menjelaskan larangan itu bermula dari temuan sekitar 85 PMI yang terkonfirmasi positif COVID-19 saat mereka tiba di Taiwan. Temuan itu menjadi alasan Taiwan menangguhkan sementara penerimaan buruh migran Indonesia dari 14 perusahaan penempatan pekerja migran Indonesia (P3MI), yang menyalurkan 85 PMI positif COVID-19 itu ke Taipei.

Selepas dari penangguhan itu, BP2MI pada awal bulan ini menghubungi Kantor Dagang dan Ekonomi Taiwan (TETO) Jakarta dan dua lembaga itu bertemu untuk membahas penangguhan tersebut pada 2 Desember 2020.

"Setelah penangguhan, saya langsung melakukan sidak (inspeksi mendadak, red) ke dua perusahaan dan memeriksa bagaimana prosedur kesehatan itu dilakukan dan dari pantauan kami semua memenuhi syarat. Esok harinya pada 2 Desember, BP2MI bertemu dengan TETO dan kita menyampaikan keseriusan Pemerintah Indonesia terkait masalah ini dan mengajak TETO bekerja sama untuk memantau proses pengiriman PMI," terang Benny.

Dalam pertemuan itu, BP2MI mengajak TETO ikut memeriksa proses pemeriksaan kesehatan di Indonesia dan Indonesia juga meminta agar perwakilannya dapat memeriksa bagaimana tes PCR dilakukan kepada para PMI setibanya mereka di Taipei.

"Kemungkinan mereka (para PMI, red) tertular di Taiwan sangat terbuka, karena mereka saat tiba di sana tidak langsung di tes (PCR, red) tetapi telah dikarantina beberapa hari," terang Benny.

Tidak hanya itu, Benny juga menegaskan seluruh buruh migran Indonesia yang diberangkatkan ke Taiwan telah menjalani tes PCR, bahkan sebelum aturan itu diwajibkan oleh otoritas di Taipei.

"Kami merasa larangan ini ganjil," ujar dia menanggapi keputusan Taiwan.

Ia menyebutkan keganjilan itu ditemukan dari standar ganda yang dilakukan Taiwan ke Indonesia dan negara pengirim buruh migran lainnya. "Ada buruh migran dari Filipina yang juga ditemukan positif COVID-19 tetapi tidak ada larangan masuk untuk negara itu," tambah dia.

"14 P3MI yang ditangguhkan oleh Taiwan juga mengirim PMI ke Hong Kong, tetapi tidak ada masalah," kata Benny.

Oleh karena itu, BP2MI akan mengajak TETO untuk bertemu minggu depan, setelah peringatan Hari Buruh Migran Sedunia yang dirayakan tiap 18 Desember 2020.

Jika pertemuan itu tidak memberi penjelasan yang memuaskan dan apabila Taiwan terbukti membuat keputusan yang berlatar politis, maka Indonesia akan mengambil tindakan tegas, kata Benny.

"Apabila kebijakan itu politis, saya akan merekomendasikan ke menaker (menteri tenaga kerja, red) untuk menempatkan PMI kita ke negara lain," ujar Benny menambahkan.

Baca juga: BP2MI: 85 pekerja migran Indonesia di Taiwan positif COVID-19
Baca juga: Pemerintah sayangkan keputusan Taiwan tangguhkan penerimaan PMI
Baca juga: Taiwan tolak sementara pekerja migran dari Indonesia

Pewarta: Genta Tenri Mawangi
Editor: Atman Ahdiat
Copyright © ANTARA 2020