Jakarta (ANTARA) - Prioritas orang banyak yang berubah di kala pandemi melanda, ketika semuanya serba sulit banyak yang menurunkan standar hidupnya sebagai bentuk adaptasi di tengah persoalan hidup yang menghimpit.

Meski begitu, semua orang harus disadarkan kembali terkait pentingnya untuk memastikan produk yang dikonsumsinya telah tersertifikasi SNI (Standar Nasional Indonesia).

Sembarangan memilih produk tanpa SNI berpotensi mendatangkan masalah baru di masa pandemi yang mengharuskan semua orang serba higienis untuk mencegah sakit.

Sebagaimana misalnya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pun telah meminta masyarakat untuk selalu memperhatikan setiap kemasan produk yang digunakan dalam keperluan rumah tangga.

Maka dari itu, disarankan agar kemasan yang digunakan itu harus yang memiliki Standar Nasional Indonesia atau SNI.

Staf Peneliti YLKI, Nataliya Kurniati, menyampaikan pentingnya perlindungan terhadap konsumen dan juga perusahaan lokal dari serbuan produk-produk luar yang banyak tidak memenuhi standar yang aman digunakan terutama untuk keperluan wadah makanan dan minuman.

Nataliya menegaskan bahwa hal itu ditujukan untuk semua produk, bukan spesifik bagi produk tertentu. Ia mengutarakan masyarakat bisa mengetahui jenis-jenis kemasan plastik yang digunakan dengan memperhatikan nomor kode yang ada di bagian bawah kemasannya.

“Pastikan untuk membalik botol atau wadahnya dan lihat kemasannya itu nomor berapa. Kemasan itu memang tidak selalu bersentuhan dengan makanan atau isi di dalamnya. Tapi kami menekankan agar konsumen harus tetap tahu mengenai bahan plastik yang produsen gunakan,” kata Nataliya.

YLKI terus mengingatkan agar masyarakat tidak sembarangan menggunakan atau mengonsumsi produk kemasan tanpa mereka tahu risikonya.

“Artinya, kemasan yang dipilih itu harus yang mengikuti aturan-aturan agar kualitas ‘packaging’ atau makanannya itu sesuai dengan standar keamanan untuk masyarakat Indonesia atau yang ber-SNI,” katanya.

Hati-hati hoaks

Sayangnya, meski pandemi belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir, hoaks atau kabar bohong justru semakin merebak dalam segala hal.

Termasuk dalam soal SNI, banyak hoaks atau kabar bohong yang mendatangkan kebingungan di kalangan masyarakat.

Bahkan YLKI kerap kali dicatut sebagai pihak yang menyuarakan sebuah isu namun faktanya hal itu tidak benar.

Misalnya saja dalam kasus saat ini ketika banyak beredar informasi hoaks tentang bahaya BPA (bisphenol A) pada kemasan galon. Padahal Kementerian Kominfo dan BPOM sudah membantah berita berita tersebut dan mengkategorikannya sebagai berita hoaks disinformasi.

Sesuai dengan Kode Identifikasi Resin (Resin Identification Code), plastik diklasifikasikan menjadi 7 tingkat (grade).

Kode tersebut berupa simbol angka, dimulai dari kode simbol angka 1 hingga angka 7. Bentuk setiap kode simbol berupa angka yang dikelilingi oleh tiga anak panah berbentuk segitiga.

Pada dasarnya semua bahan kemasan memiliki risiko luhuran (migrasi) bahan kemasan ke dalam produk makanannya.

Oleh karena itulah Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sebagai satu-satunya lembaga yang berhak menilai keamanan pangan dan mengeluarkan izin edar pangan telah memiliki standar tentang keamanan pangan dan kemasannya. Hal itu pun secara rutin dilakukan pengawasan pasar (post market) selain pengawasan ketika diproduksi.

Untuk produk air minum dan makanan aneka jenis kemasan telah diizinkan untuk digunakan mulai dari kaleng, botol gelas, karton, hingga aneka jenis plastik. Untuk kemasan air minum galon izin edar diberikan untuk kemasan PET (polietilena tereftalat) dan PC (policarbonat) karena memenuhi standar keamanan pangan yang telah ditentukan.

Namun, berdasarkan hasil uji kemasan pangan yang dilakukan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), kemasan pangan dari plastik PC ini masih aman digunakan jika memenuhi syarat ambang batas yang ditetapkan.

Batas maksimum BPA yang bermigrasi ke dalam pangan telah diatur dalam Peraturan Kepala Badan POM No HK.03.1.23.07.11.6664 tentang Pengawasan Kemasan Pangan Tahun 2011, ditetapkan bahwa batas maksimum migrasi BPA untuk botol minum/galon/peralatan makan-minum lainnya 0,6 ppm.

“Hasil uji kemasan pangan dari plastik PC, sampai saat ini kadar BPA-nya masih memenuhi syarat ambang batas dan aman untuk digunakan,” ujar Direktur Pengawasan Pangan Risiko Tinggi dan Teknologi Baru BPOM, Ema Setyawati R baru-baru ini. Dia mencontohkan seperti yang ada pada produk galon guna ulang.

Karenanya, kata Ema, BPOM telah menerbitkan syarat migrasi kemasan. Untuk PET, migrasinya acetaldehyde, sedangkan untuk PC, migrasinya BPA. Kata Ema, semua jenis migrasi tentu bahaya, karenanya diatur batas maksimalnya. Jadi bukan hanya BPA yang bahaya, Acetaldehyde yang ada di galon sekali pakai juga bahaya kalau migrasinya melewati batas maksimalnya.

Maka, untuk menjamin galon/kemasan air minum dalam kemasarab (AMDK) yang beredar sesuai dengan syarat, BPOM melakukan pengawasan post market, salah satunya dengan melakukan sampling dan pengujian kemasan tersebut. Dalam data BPOM, sampai saat ini kemasan tersebut masih memenuhi syarat dan aman untuk digunakan.

Oleh karena itu, masyarakat dituntut untuk semakin cerdas mengolah informasi yang didapatkan sehingga tidak terjebak untuk percaya pada kabar bohong terkait produk makanan atau minuman yang dikonsumsi. Pastikan semuanya memiliki logo SNI, karena SNI adalah satu hal yang amat penting untuk jaminan mendapatkan produk terbaik di masa pandemi.

Logo SNI

Logo SNI menjadi hal yang utama yang menunjukkan bahwa masyarakat mendapatkan jaminan produk yang sesuai standar.

Badan Standardisasi Nasional (BSN) misalnya melalui Keputusan Kepala BSN Nomor 58/KEP/BSN/3/2017 tentang Penetapan Standar Nasional Indonesia 7626-1:2017 juga mengatur mengenai cara uji migrasi zat kontak pangan dari kemasan pangan plastik Policarbonat (PC) dan migrasi BPA.

Sebagaimana disampaikan Direktur Pengembangan Standar Agro, Kimia, Kesehatan dan Halal BSN, Wahyu Purbowasito, bahwa produk yang sudah memiliki logo SNI sudah melalui pemeriksaan (audit), baik dari sisi kesesuaian produk terhadap SNI yang ada maupun konsistensinya, termasuk parameter yang melindungi konsumen dari bahaya akibat penggunaan produk tersebut.

“Jadi bisa dipastikan kemasan yang sudah ber-SNI itu aman untuk kesehatan,” katanya.

Masyarakat pun diharapkan untuk selalu memastikan bahwa seluruh produk untuk kebutuhan sehari-hari telah memiliki logo SNI.

Sebab di negara mana pun di dunia, setiap negara memiliki standar khusus bagi produk yang akan dikonsumsi oleh warga negaranya. Hal itu penting terlebih di tengah pandemi sebagai standar yang menjamin kehidupan masyarakat lebih berkualitas.

Meskipun standar di setiap negara pada umumnya berbeda-beda. Tapi di Indonesia, SNI menjadi satu-satunya instrumen yang memiliki kekuatan hukum mengikat dan berlaku secara nasional di wilayah hukum Republik Indonesia, atas produk-produk yang diperdagangkan di wilayah republik.

SNI merupakan dokumen standar teknis yang disusun oleh perwakilan produsen, konsumen, regulator, akademisi, praktisi, asosiasi, dan lain-lain yang diwadahi dalam suatu Komite Teknis, sehingga standar ini dapat digunakan untuk menilai dan menguji suatu produk yang dimiliki oleh pelaku usaha atau pemilik merek dagang.

Tercatat ada dua jenis SNI yakni yang pertama yang bersifat wajib, dan jenis yang kedua adalah yang bersifat sukarela. Meskipun prinsip penerapan SNI sesungguhnya bersifat sukarela.

Namun untuk tujuan tertentu seperti perlindungan konsumen, tenaga kerja yang membuat produk, dan masyarakat dari aspek keselamatan, keamanan, dan kesehatan, pertimbangan keamanan negara, tuntutan perkembangan ekonomi dan kelancaran iklim usaha dan persaingan yang sehat, atau pelestarian fungsi lingkungan hidup, maka pemerintah menetapkan produk-produk tertentu yang wajib memiliki SNI sebelum diedarkan di masyarakat.

Oleh karena itu jangan pernah sesekali meremehkan logo SNI.

Baca juga: Produk kantong plastik diharapkan penuhi SNI
Baca juga: BSN dorong kantong plastik ber-SNI ramah lingkungan

Baca juga: Teten sebut penerapan SNI tingkatkan daya saing produk UMKM

Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2021