Jakarta (ANTARA) - Membayar zakat merupakan satu-satunya rukun umat Islam yang secara tersurat memiliki sifat sebagai ibadah sosial. Sayangnya, zakat sebagai instrumen menyejahterakan delapan golongan penerima zakat yang dhuafa (lemah) hingga saat ini masih dianaktirikan.

Zakat merupakan pemberian sedekah wajib bagi Muslim yang mampu dengan pembayaran berupa jumlah tertentu dari harta seseorang yang telah mencapai kadar minimal (nishab) dan waktu kepemilikan minimal (haul). Penyaluran zakat diberikan kepada delapan golongan pemerima zakat (asnaf).

Umat Islam masih cenderung menganaktirikan zakat. Dari lima rukun Islam, rukun zakat tampaknya belum dipraktikkan secara optimal dibanding syahadat, shalat, puasa dan haji.

Zakat adalah rukun Islam yang mendorong penganutnya melakukan ibadah sosial, sedangkan empat rukun lainnya cenderung bersifat personal seorang umat dengan Allah SWT. Padahal Islam memerintahkan umatnya agar secara seimbang dalam hal ibadah pribadi dan sosial sekaligus.

Singkat kata, selalu ada hak bagi golongan penerima zakat (mustahik) dari harta yang dimiliki oleh Muslim yang mampu.

Ketua Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) periode 2015-2020 Bambang Sudibyo mengatakan rukun Islam ada lima pilar. Pilar zakat secara umum posisinya masih kalah dengan empat rukun lainnya.

"Kita bisa lihat, zakat jadi rukun Islam yang banyak diabaikan, paling sering terabaikan," kata dia.

Bambang menengarai umat Islam banyak yang mengabaikan membayar zakat sebagaimana nampak dari data pengumpulan zakat yang belum optimal.

Lembaga Pusat Kajian Strategis (Puskas) BAZNAS merilis data potensi zakat di Indonesia mencapai Rp233,8 triliun. Sementara itu, penghimpunan zakat melalui organisasi pengelola zakat (OPZ) mencapai Rp10 triliun atau baru 5,2 persen dari total potensi zakat.

Kendati begitu, tidak dipungkiri terdapat dana zakat yang tidak tercatat karena ada kecenderungan masyarakat yang lebih suka memberi langsung kepada penerima.

Memang diberikan secara langsung itu boleh saja dilakukan karena sifatnya juga meringankan beban dhuafa. Akan tetapi, merujuk pada kata bijak "Memberi pancing lebih baik daripada memberi ikan" tentu sangat relevan. Pemberian langsung itu, seperti memberi ikan kepada seseorang, sementara menyalurkan zakat kepada OPZ resmi, laksana memberi pancing kepada sasaran zakat.

Memberi ikan bisa membuat penerima kenyang makan dalam sehari saja, tetapi memberi kail akan memicu seseorang untuk bisa makan sepanjang hari karena sifatnya memberdayakan, memandirikan dan berkelanjutan.

Analogi tersebut juga berlaku bagi OPZ. Kinerja OPZ itu sebagaimana memberi kail kepada penerima dengan adanya program-program pengentasan kemiskinan yang terukur dibanding memberi donasi langsung kepada penerima yang sifatnya tidak berkelanjutan.

Sebuah kisah nyata terkait pemberdayaan program OPZ, dapat disimak pada buku "Mengantar Mustahik menjadi Muzzaki" terbitan BAZNAS. Pada halaman 33-36 tertulis cerita berjudul "Halimah, Sang Tulang Punggung Keluarga".

Halimah adalah ibu rumah tangga yang harus menjadi tulang punggung ekonomi keluarga setelah suaminya selaku penopang penghasilan utama menderita stroke pada 2018. Stroke tersebut membuat sang suami tidak bisa mengais rezeki lagi.

Halimah akhirnya mendapatkan pembiayaan modal dari BAZNAS Microfinance yang berangsur membuatnya bisa mengembangkan usaha secara berkelanjutan untuk memproduksi dan berjualan kue di Desa Jabon Mekar, Kecamatan Parung, Bogor.

"Awal menjalankan usaha, saya hanya bisa menerima pesanan, hingga pada akhirnya setelah saya mendapat pembiayaan modal usaha dari BAZNAS Microfinance, saya mulai berani membuka lapak di depan rumah," kata dia.

Lain halnya dengan Halimah, warga Lombok, Sabrun Jamil, menggunakan fasilitas BAZNAS Microfinance Desa (BMD) Gunung Sari untuk memberdayakan warga setempat setelah gempa besar melanda Nusa Tenggara Barat pada 2018.

Pembiayaan dari BAZNAS itu tidak hanya membantu ekonomi warga, tetapi juga membantu warga dua desa, yaitu Langko dan Kuripan untuk bisa terlepas dari pinjaman rentenir yang bersifat riba atau bertentangan dengan syariat Islam.

Kisah nyata Sabrun itu juga tertuang dalam buku "Mengantar Mustahik menjadi Muzzaki" halaman 219-224 berjudul "Membangun Geliat Ekonomi Umat Pasca-Gempa".

"Banyak masyarakat apatis dan tidak percaya. Mana ada lembaga keuangan yang mau memberikan pembiayaan tanpa bunga?" kata Sabrun.

"Ini menjadi sisi dakwah luar biasa bagi saya. Hampir 100 persen mitra kami di Desa Langko dan Desa Kuripan mulai meninggalkan kebiasaan meminjam di "bank subuh" (rentenir)," kata dia.


Tantangan OPZ

Sepak terjang BAZNAS dan LAZ memiliki payung hukum Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Regulasi tersebut menjadi kepastian hukum bagi kinerja amil zakat di Indonesia agar tetap diawasi, profesional dan terpercaya, sehingga tujuan utamanya mengentaskan kemiskinan dapat tercapai serta terukur.

Kajian Puskas BAZNAS Tahun 2020 menyebut 535 OPZ nasional memberi manfaat mengentaskan 126.704 penerima zakat (mustahik). Zakat juga mentransformasi 9.024 jiwa dari mustahik menjadi pemberi zakat (muzaki).

Pengentasan kemiskinan bagi 126.704 jiwa itu dilakukan dengan penggunaan dana zakat Rp6,4 triliun atau hanya 1,6 persen dari total dana pengentasan kemiskinan pemerintah.

Melihat manfaat zakat bagi kesejahteraan umat dan masyarakat, Ketua BAZNAS masa bakti 2020-2025 Noor Achmad mengatakan BAZNAS selaku OPZ memiliki banyak tantangan ke depan.

"Tantangan ke depan semakin banyak dan berat," kata dia.

Menurut dia, target pengumpulan zakat menjadi sebesar Rp50 triliun oleh BAZNAS RI, BAZNAS provinsi, BAZNAS kabupaten/kota dan LAZ jika terealisasi pada 2025 akan berdampak signifikan bagi kehidupan mustahik.

Direktur Utama BAZNAS Arifin Purwakananta mengatakan OPZ dituntut kreativitasnya dalam merancang program zakat, terutama di era Revolusi Industri 4.0. Terlebih saat ini, teknologi finansial (fintek) sangat dibutuhkan umat dan masyarakat di masa pandemi yang menuntut pengurangan intensitas pertemuan tatap muka.

Arifin mengatakan BAZNAS menggandeng sejumlah fintek, marketplace dan berbagai saluran digital untuk mengumpulkan donasi masyarakat, terutama zakat.

Menurut dia, berkreasi melalui program zakat digital merupakan keniscayaan. Perlahan tapi pasti melalui pengenalan saluran digital kepada umat dan masyarakat akan semakin memudahkan serta mendekatkan zakat kepada masyarakat.

"Semakin banyak saluran digital maka semakin baik karena pilihan pembayaran zakat semakin bervariasi sehingga pengumpulan zakat semakin gencar dan bisa mengakselerasi pengentasan kemiskinan," kata dia.

Sementara itu, Puskas BAZNAS merangkum sejumlah tantangan dan solusi pengelolaan zakat, terutama di masa pandemi COVID-19.

Pertama, OPZ perlu melakukan transformasi model bisnis untuk terus bertahan mengelola zakat, baik dari segi kreativitas kampanye program maupun saluran pengumpulan. Kedua, agar ada penguatan basis data muzaki (termasuk pemberi infak/munfik) agar dapat memperkuat layanan.

Ketiga, OPZ agar dapat menjaga kepercayaan muzaki dengan meningkatkan kualitas tata kelola organisasi. Keempat, OPZ agar melakukan publikasi kegiatan secara berkala mengenai kegiatan pengelolaan zakat melalui kanal digital, terutama di masa pandemi.

Mengelola zakat berarti merancang sebuah kemakmuran sehingga manajemennya harus profesional. Program menyejahterakan lekat dengan mengubah suatu kondisi tidak berdaya menjadi berdaya sehingga yang miskin menjadi kaya, bodoh menuju pintar serta keterbelangan bertransformasi pada kemajuan. Peran OPZ yang optimal, profesional dan terpercaya terus ditunggu oleh umat dan masyarakat.

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2021