Banda Aceh (ANTARA) - Bau menyengat sangat terasa saat melintasi jalanan Gampong (desa) Jawa Kecamatan Kutaraja Kota Banda Aceh menuju lokasi wisata pantai yang terhubung langsung ke pelabuhan Ulee Lheue.

Aroma tak sedap itu muncul dari gunungan sampah Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) yang berada persis di pinggir jalanan hitam tempat lalu-lalang warga kota gemilang (sebutan lain kota Banda Aceh saat ini) kala ingin menikmati wisata pantai.

Sekitar 500 meter dari pintu gerbang TPA menuju ke arah pantai, atau persis di penghujung pagar berdiri tugu titik nol kilometer Banda Aceh, tempat di mana asal mulanya keberadaan ibu kota Provinsi Aceh itu.

Di atas monumen tertulis "Disini cikal bakal Kota Banda Aceh, tempat awal mulai kerajaan Aceh Darussalam didirikan oleh Sultan Johansyah pada 1 Ramadan 601 hijriah (22 April 1205 masehi)."

Tepat di hadapan tugu titik nol Banda Aceh tersebut, sebuah proyek Pembangunan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) yang sempat terhenti itu sedang dikerjakan kembali.
​​
Tugu titik nol Banda Aceh yang berada di kawasan pembangunan proyek IPAL, Banda Aceh, Sabtu (20/3/2021) (ANTARA/Rahmat Fajri)


Proyek IPAL Banda Aceh di kawasan bersejarah yakni Gampong Pande Kecamatan Kutaraja itu dibangun dengan dana Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) melalui Direktorat Jenderal Cipta Karya, pekerjaannya sejak 2015.

Anggaran yang dialokasikan pada proyek IPAL ini mencapai Rp107,3 miliar, bersumber dari APBN sebesar Rp 105 miliar dan APBD sebesar Rp2,3 miliar.

Bangunan tempat pembuangan tinja itu sempat dihentikan pada 2017 lalu karena adanya penemuan benda bersejarah, seperti nisan kuno milik yang diduga milik ulama dan raja-raja Aceh masa lampau.

Penghentian bangunan IPAL bukan karena keinginan pemerintah semata, melainkan karena protes dari berbagai unsur masyarakat setelah ditemukan banyak situs sejarah di lokasi tersebut.

Bahkan, Gubernur Aceh Irwandi Yusuf saat itu ikut meminta agar dihentikan dan segera memindahkan bangunan IPAL yang berada diantara Gampong Pande dan Gampong Kecamatan Kutaraja Banda Aceh tersebut.

“Kami sudah minta proyek itu agar dihentikan dalam pertemuan dengan DPR-RI beberapa waktu lalu saat berkunjung ke Aceh, jadi akan dihentikan dan pindah ke lokasi lain” kata Irwandi Yusuf usai meninjau langsung lokasi penemuan situs sejarah tersebut.

Setelah mendapatkan protes hingga tekanan dari Gubernur Aceh. Akhirnya proyek dihentikan dalam rapat dengar pendapat antara pemerintah, DPRK Banda Aceh bersama masyarakat peduli sejarah dan warga Gampong Pande, di ruang sidang paripurna dewan setempat, Rabu (13/9/2017) tiga tahun lalu.

Baca juga: Ombudsman investigasi prosedur pembangunan ipal di Aceh

Dilanjutkan

Meski sempat dihentikan, Pemerintah Kota Banda Aceh kembali melanjutkan proyek pembangunan IPAL di Gampong Pande tersebut. Alasan yang disebarkan ke masyarakat tetap menjaga segala bentuk situs sejarah jika ditemukan selama proses pengerjaan.

Kepala Dinas PUPR Banda Aceh T Jalaluddin mengatakan, keputusan melanjutkan pembangunan IPAL itu setelah dilakukan rapat bersama antara pemerintah kota dengan DPRK, Tim Arkeologi Universitas Syiah Kuala (USK), Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Aceh, Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Aceh, Kepala Desa Pande, para pewaris kerajaan Aceh dan tokoh masyarakat lainnya.

"Adanya kesepakatan bersama, dan disepakati dengan tetap menjaga situs sejarah yang ada di lokasi pembangunan," kata Jalaluddin.

Diterangkan, kesimpulan menyetujui pembangunan IPAL dan jaringan air limbah domestik Banda Aceh dengan terlebih dahulu disosialisasikan kepada masyarakat sekitar lokasi.

Jalaluddin menyampaikan, pada kelanjutan pembangunan proyek IPAL itu juga dipersyaratkan untuk melakukan review desain dengan memperhatikan keberadaan situs cagar budaya.

“Memperhatikan lingkungan sekitar terhadap dampak dari pelaksanaan lanjutan pembangunan dan jaringan perpipaan air limbah Kota Banda Aceh,” ujarnya.

Kemudian, selama proses pengerjaan nantinya juga mendapatkan pendampingan khusus dari Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Aceh untuk memantau keberadaan situs bersejarah.

Hal tersebut dilakukan apabila pada saat pekerjaan pembangunan berlangsung ditemui kembali situs arkeologi baru, maka seluruh instansi terkait, baik dari Pemerintah Pusat maupun pemerintah kota siap menyelamatkan setiap arkeologi.

Aminullah Usman melalui program wali kota menjawab memberikan jawaban, dirinya berkomitmen melestarikan situs sejarah dan cagar budaya di wilayah yang ia pimpin saat ini.

Mengenai IPAL, Aminullah menjelaskan pembangunan tempat pengolahan limbah itu dilakukan sejak 2015 dan pelaksanaannya 2016. Artinya, sebelum dirinya menjabat, dan mungkin sebelumnya sudah dikaji.

“Dalam hal ini kita hanya melanjutkan saja proyek ini, dengan sudah melakukan survei yang melibatkan semua elemen dari pemerintahan, para warga, tim arkeologi, tim ahli cagar budaya dan BPCB Aceh,” katanya.

Sejarawan dan Arkeolog Aceh Husaini Ibrahim mengatakan bahwa bangunan proyek IPAL Gampong Pande Kota Banda Aceh tidak dibangun pada zona inti pertama situs sejarah, melainkan zona kedua.

"Jadi itu masuk zona inti dua, bukan zona inti satu. Kalau zona inti satu masih luas termasuk rawa-rawa di kawasan tambak itu," katanya

Berdasarkan hasil penelitian pihaknya, di kawasan IPAL tersebut terdapat zona inti satu, dengan luas sampai ratusan hektare. Namun, pembangunan itu tidak berada pada zona inti satu, tetapi di kawasan zona dua. Artinya tidak terlalu banyak ditemukan situs sejarahnya.

Baca juga: Wali Kota Banda Aceh diminta hentikan proyek IPAL di lokasi bersejarah

Protes

Berbagai macam penjelasan yang disampaikan oleh Pemerintah Kota Banda Aceh ternyata belum dapat diterima banyak pihak, dan tetap memprotes hingga menolak kelanjutan pembangunan proyek tinja tersebut.

Anggota DPRK Banda Aceh Tuanku Muhammad menyatakan, dasarnya menolak karena berada di lokasi bersejarah dan berdampingan dengan titik nol kilometer Banda Aceh, serta banyak kuburan raja telah ditemukan. Apalagi yang dibangun IPAL.

Menurut Tuanku, pembangunan proyek IPAL itu pada dasarnya baik untuk suatu kota karena bertujuan membuat sanitasi besar mengingat penduduk di Banda Aceh sudah mulai padat.

Hanya saja lokasi yang diambil di kawasan yang memiliki nilai histori serta banyaknya peninggalan situs sejarah masa kerajaan Aceh.

"Kita ketahui bersama bahwa Gampong Pande merupakan cikal bakal dari kerajaan Aceh Darussalam atau yang dikenal dengan nama Daruddunya," katanya.

Hal senada juga disampaikan senator DPD RI asal Aceh M Fadhil Rahmi mengingatkan Pemerintah Banda Aceh tidak merusak peninggalan sejarah hanya karena pembangunan IPAL.

"Sebagai bangsa yang besar, kita semestinya tetap melestarikan peninggalan leluhur. Tak seharusnya proyek tinja itu dibangun di atas makam leluhur," kata Fadhil.

Dia meminta Pemko Banda Aceh mencari lahan lain untuk kelanjutan pembangunan proyek IPAL tersebut. Ia sendiri juga akan mengirim surat ke Kementerian PUPR agar proyek dialihkan.
Tim Ombudsman RI Perwakilan Aceh menemukan masih adanya nisan raja Aceh di lokasi pembangunan IPAL Banda Aceh, Sabtu (27/3/2021) (ANTARA/HO/Dok.Ombudsman RI Aceh)


Sementara itu, masyarakat yang berkediaman di sekitar lokasi telah membentuk Forum Masyarakat Penyelamat Situs Sejarah Gampong Pande (Formasigapa), dan langsung menyurati Menteri PUPR. Mereka menyatakan penolakan dan meminta pembangunan IPAL tersebut dihentikan.

Ahmad Nawawi yang bertindak sebagai Ketua Formasigapa menyampaikan kawasan itu merupakan kota tua yang terbenam sejarah masa lalu. Terbukti setelah adanya benda-benda bersejarah yang muncul pasca tsunami Aceh.

Terakhir, sekelompok pemuda berteriak lewat aksi di depan gedung Balai Kota Banda Aceh, mereka menuntut Aminullah Usman menghentikan lanjutan proyek IPAL di lokasi penemuan situs sejarah itu.

Baca juga: Pemerhati surati Menteri PUPR terkait proyek IPAL di situs sejarah

Situs sejarah

Situs sejarah di Gampong Pande merupakan salah satu yang tertua serta menjadi wilayah islam pertama di Asia Tenggara.

Dari segi namanya, Pande itu bisa diartikan orang pintar atau sebuah bengkel dengan kata lain tempat pandai besi, batu hingga emas.

"Banyak peninggalan lainnya di kawasan tersebut seperti makam sultan, ulama, keluarga raja hingga rakyat biasa juga dimakamkan di sana," kata Sejarawan dan Arkeolog Aceh Husaini Ibrahim.

Dia menjelaskan sebelum lahirnya Kerajaan Aceh Darussalam, di Aceh terdapat dua dinasti yaitu Meukuta Alam dan dinasti Darul Kamal.

Posisinya, Darul Kamal berada di sebelah selatan krueng (sungai) Aceh. Sedangkan Dinasti Meukuta Alam berada di sebelah utara krueng Aceh, termasuk kawasan Gampong Pande tersebut.

Kemudian, setelah masa kesultanan Sultan Ali Mughayat Syah, dua dinasti tersebut disatukan menjadi Kerajaan Aceh Darussalam.

Jadi di situ termasuk pusat pemerintahan, kegiatan, pusat bengkel, dan lainnya. Karenanya di kawasan itu banyak ditemukan peninggalan situs bersejarah.*

Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2021