Ramallah (ANTARA) - Warga Palestina di Tepi Barat dan Gaza, yang diduduki Israel, pada Kamis (3/6) sebagian besar mengabaikan perubahan dalam pemerintahan Israel, dengan mengatakan pemimpin nasionalis pengganti Perdana Menteri Benjamin Netanyahu kemungkinan akan melancarkan agenda yang sama.

Naftali Bennett, mantan kepala organisasi pemukim utama Israel di Tepi Barat, akan menjadi pemimpin baru negara itu di bawah koalisi yang dibentuk pada Rabu (2/6).

Bennett sangat menyalahkan warga Palestina atas konflik selama ini. 

“Kebenaran harus diberitahukan: Perjuangan nasional antara Israel dan Palestina bukanlah atas wilayah. Orang-orang Palestina tidak mengakui keberadaan kami di sini, dan tampaknya ini akan terjadi untuk beberapa waktu,” katanya kepada stasiun televisi Israel, Channel 12.

Bassem Al-Salhi, perwakilan dari Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), mengatakan penunjukan Perdana Menteri Naftali Bennett tidak kalah ekstrem dari Netanyahu.

"Dia akan memastikan untuk mengungkapkan betapa ekstremnya dia di pemerintahan."

Sentimen serupa disuarakan di tempat lain. "Tidak ada perbedaan antara satu pemimpin Israel dan yang lain," kata Ahmed Rezik, 29, seorang pegawai pemerintah di Gaza.

"Mereka baik atau buruk bagi bangsa mereka. Dan ketika menyangkut kami, mereka semua jahat, dan mereka semua menolak untuk memberikan hak dan tanah orang-orang Palestina."

Hamas, kelompok Islam yang menguasai Jalur Gaza, mengatakan tidak ada bedanya siapa yang memerintah Israel.

Palestina telah melihat banyak pergantian pemerintah Israel sepanjang sejarah, baik yang beraliran kanan, kiri, maupun tengah, begitu mereka menyebutnya. Tapi, semua pemerintahan itu bersikap penuh permusuhan ketika menyangkut hak-hak rakyat Palestina dan mereka semua memiliki kebijakan ekspansionisme yang bermusuhan, kata juru bicara Hamas Hazem Qassem.
 
Koalisi pemerintahan Israel itu pertama kalinya akan mencakup partai Islamis yang dipilih oleh anggota 21 persen minoritas Arab Israel, yang merupakan warga Palestina berdasarkan budaya dan warisan serta Israel berdasarkan kewarganegaraan.
 
Pemimpin koalisi, Mansour Abbas, mengatakan perjanjian koalisi akan membawa lebih dari 16 miliar dolar AS atau Rp229 triliun untuk meningkatkan infrastruktur dan memerangi kejahatan kekerasan di kota-kota Arab.

Tapi, Mansour Abbas telah dikritik di Tepi Barat dan Gaza karena berpihak pada Israel yang dilihat sebagai musuh.

"Dia pengkhianat. Apa yang akan dia lakukan ketika mereka memintanya untuk memilih meluncurkan perang baru di Gaza?" kata Badri Karam, 21 tahun, di Gaza.

"Apakah dia akan menerimanya, menjadi bagian dari pembunuhan warga Palestina?"

Bennett telah menjadi pendukung kuat untuk mencaplok bagian-bagian Tepi Barat, yang direbut dan diduduki Israel dalam perang 1967.

Namun dalam pernyataan publik pertamanya tentang masalah ini dalam beberapa hari terakhir, ia tampaknya mengusulkan kelanjutan status quo, dengan beberapa pelonggaran kondisi bagi warga Palestina.

"Pemikiran saya dalam konteks ini adalah untuk meredakan konflik. Kami tidak akan menyelesaikannya. Tapi di mana pun kami bisa (memperbaiki kondisi) - lebih banyak titik persimpangan, lebih banyak kualitas hidup, lebih banyak bisnis, lebih banyak industri - kami akan melakukannya."

Sumber : Reuters

Baca juga: Oposisi Israel umumkan pemerintahan baru, siap gulingkan Netanyahu

Baca juga: Delegasi Israel kunjungi Mesir untuk bahas pertukaran tahanan Hamas

Baca juga: Intelijen Mesir, Hamas adakan pembicaraan gencatan senjata di Gaza


 

Menlu Retno: Sudah terlalu lama hak-hak Palestina digerogoti Israel

Penerjemah: Azis Kurmala
Editor: Tia Mutiasari
Copyright © ANTARA 2021