Surabaya (ANTARA) - Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, menegaskan kedatangannya ke kampus-kampus untuk menggugah kesadaran politik sekaligus memantik pemikiran kaum terdidik dan para cendekiawan agar terbangun suasana kebatinan sama.

"Yaitu, memikirkan bagaimana Indonesia ke depan lebih baik, bagaimana Indonesia bisa menjadi negara seperti dicita-citakan para pendiri yang tertuang dalam nilai-nilai Pancasila dan pembukaan Undang-Undang Dasar 1945," ujarnya di Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Selasa.

Mantan Ketua Umum KADIN Jatim tersebut juga menjadi pembicara kunci pada seminar dan "Focus Group Discussion" (FGD) bertajuk Gagasan Amandemen V UUD NKRI 1945 : Penghapusan Ambang Batas Pencalonan Presiden dan Membuka Calon Presiden Perorangan.

"Mengapa saya datang ke kampus-kampus untuk diskusi? Mungkin ada yang bertanya, ada apa ketua DPD RI bicara konstitusi, bukannya sebagai wakil daerah yang harus fokus memperjuangkan kepentingan daerah?" ucap dia.

Sejak dilantik sebagai ketua DPD RI pada Oktober 2019, senator asal Jatim itu memutuskan turun langsung ke daerah untuk melihat dan mendengar aspirasi serta permasalahan yang dihadapi daerah.

Hingga hari ini, LaNyalla sudah keliling ke 32 provinsi di Indonesia, atau hanya kurang dua daerah, yakni Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah.

Baca juga: Ketua DPD RI sebut empat implikasi dampak dari Presidential Threshold

Baca juga: Ketua DPD RI tekankan pentingnya amendemen kelima UUD 1945


"Dari perjalanan itu saya menyimpulkan hampir semua permasalahan di daerah sama, mulai dari persoalan sumber daya alam terkuras hingga kemiskinan yang jauh dari kata mandiri. Ternyata akar persoalannya ada di hulu, bukan di hilir," katanya.

Mantan Ketua Umum PSSI itu menjelaskan, akar persoalan di hulu adalah ketidakadilan sosial, padahal merupakan tujuan hakiki dari lahirnya negara ini, seperti dicita-citakan para pendiri bangsa dan menjadi sila pamungkas dari Pancasila.

Dikatakan LaNyalla, undang-undang dan konstitusi memang dibuka ruang terjadinya tindakan menguasai dan menguras kekayaan negara.

Sehingga, kata dia, pembenahan atau koreksi atas hal itu harus dilakukan di hulu, bukan di hilir.

"Bukan sibuk melakukan kritik terhadap pemerintah atau presiden. Karena presiden hanya menjalankan konstitusi dan peraturan perundang-undangan. Meskipun presiden bersama DPR membentuk undang-undang, bahkan presiden juga bisa menerbitkan peraturan pengganti undang-undang," tutur dia.

Alumnus Universitas Brawijaya Malang ini, juga menyampaikan bahwa dua persoalan demokrasi yang dialami bangsa, yaitu ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold, serta peluang calon presiden perorangan atau non-partai politik.

Pewarta: Fiqih Arfani
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2021