Penggunaan energi fosil dalam banyak proyek pembangunan nasional itu menjadikan Indonesia masuk ke dalam peringkat lima besar penghasil karbon dioksida terbesar di dunia
Jakarta (ANTARA) - Guru Besar Ekonomi Universitas Indonesia Emil Salim mengatakan energi fosil, yang dipakai dalam revolusi industri di Indonesia, mendorong peningkatan produksi karbon dioksida (CO2) dan emisi gas rumah kaca.

"Kunci dari revolusi industri adalah energi dan energi yang mendorong terjadinya karbon dioksida dan green house gas adalah fosil fuel. Batu bara, minyak bumi, gas alam adalah kunci dari sumber energi yang dipakai dalam industrialisasi menjadi dominan di dalam pembangunan Indonesia," kata Emil Salim di Jakarta, Jumat.

Penggunaan energi fosil dalam banyak proyek pembangunan nasional itu menjadikan Indonesia masuk ke dalam peringkat lima besar penghasil karbon dioksida terbesar di dunia.

Emil Salim menyarankan agar strategi pembangunan berbasis energi fosil diganti dengan energi terbarukan.

Baca juga: Satya Yudha: Perlu kesepakatan untuk perkiraan waktu puncak emisi

Menurutnya, perubahan iklim akibat penggunaan energi fosil menyebabkan pemanasan global yang berdampak terhadap kenaikan muka air laut dan efeknya banyak pulau-pulau kecil akan tenggelam di masa depan.

"Strategi energi berbasis fosil fuel yakni minyak bumi, batu bara, gas alam dan sebagainya harus kita ganti," kata Emil.

Lebih lanjut Emil menyarankan Matahari menjadi sumber utama untuk menghasilkan listrik, karena Indonesia berbasis kepulauan.

Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sektor mineral dan batu bara telah mencapai Rp22,34 triliun hingga Mei 2021.

Pencapaian itu setara 54,5 persen dari target PNBP minerba yang ditetapkan tahun 2021 sebesar Rp39,1 triliun.

Pemerintah masih menempatkan posisi batu bara sebagai energi prioritas hingga tahun 2040, melalui dokumen Grand Strategi Energi Nasional yang saat ini sedang digodok guna menjamin ketersediaan energi yang cukup di masa depan.

Penyusunan rencana strategis itu mengedepankan aspek kebutuhan energi dalam negeri dan peningkatan nilai tambah komoditas batu bara melalui proyek gasifikasi.

Pada 2050, meskipun bauran energi hijau diproyeksikan bisa menekan porsi pemanfaatan batu bara hingga 25 persen, namun volume kesetaraan justru meningkat jika dibandingkan tahun 2025.

Melalui skenario hilirisasi batu bara menjadi dimetil eter, metanol, dan berbagai produk kimia lainnya, pemerintah berupaya memperpanjang masa pemanfaatan batu bara sebagai energi primer kala dunia sudah terikat komitmen memperbaiki iklim yang tertuang dalam perjanjian Paris Agreement.

Perusahaan-perusahaan pertambangan batu bara yang melakukan hilirisasi mendapatkan karpet merah berupa insentif istimewa.

Mereka akan diberikan royalti harga batu bara nol persen, perpanjangan IUP mengikuti nilai keekonomian, mendapatkan tax holiday, pembebasan PPN jasa pengelolaan, pembebasan PPN EPC kandungan lokal, dan berbagai insentif lainnya mengikuti pola-pola yang dikembangkan dalam kawasan ekonomi khusus.

Baca juga: DEN dorong pengembangan energi rendah karbon
Baca juga: Emil Salim ingatkan Indonesia berkepentingan cegah perubahan iklim

Pewarta: Sugiharto Purnama
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2021