Mendeteksi tsunami dengan menggunakan sensor di dasar laut
Jakarta (ANTARA) - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) memperkuat sistem peringatan dini tsunami Indonesia atau InaTEWS (Indonesia Tsunami Early Warning System) dengan menggunakan teknologi Tsunami Buoy (InaBuoy) dan teknologi kabel optik bawah laut (InaCBT).

"Kita bisa mendeteksi tsunami dengan menggunakan sensor di dasar laut dan peletakannya bisa di mana saja," kata Pelaksana tugas Kepala Pusat Teknologi Elektronika Organisasi Riset Pengkajian dan Penerapan Teknologi Michael Andreas Purwoadi dalam Webinar Talk to Scientists: Riset dan Inovasi untuk Indonesia Tangguh Bencana di Jakarta, Kamis.

Perekayasa Michael menuturkan pada InaBuoy, sensor-sensor tekanan diletakkan di dasar laut di kedalaman lebih dari 600 meter.

Posisi dari sensor itu harus bisa menangkap gelombang tsunami kira-kira 60 kilometer dari sumbernya supaya bisa terdeteksi kurang dari 5 menit, tetapi tidak boleh juga terlalu dekat dengan patahan agar tidak membahayakan sensor itu sendiri.

Pertama kali yang dideteksi sensor tersebut adalah gelombang gempa yang terjadi di permukaan dasar laut. Kemudian, jika ada potensi tsunami, sensor akan menangkap gelombang tsunami setelah gempa tersebut. Sesuai kesepakatan nasional, peringatan dini tsunami diberikan maksimum 5 menit setelah gempa terjadi.

Pada konsep buoy, sensor diletakkan di dasar laut, yang disebut OBU. Algoritma deteksi tsunami diletakkan di sensor. Ketika ada gelombang tsunami, sensor akan menangkapnya, lalu mengirimkan sinyal peringatan ke buoy yang ada di permukaan air laut.

Baca juga: Cadangan sistem peringatan dini tsunami ditempatkan di Bali

Baca juga: Teknologi belum mampu prediksi gempa secara akurat


Kemudian, buoy mengirimkan peringatan tsunami (alert tsunami) ke stasiun di darat yang disebut Read Down Station (RDS). Selanjutnya, dengan menggunakan satelit, peringatan itu dikirim ke pusat data Organisasi Riset Pengkajian dan Penerapan Teknologi yang terintegrasi dengan pusat data milik Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) untuk memantau tsunami.

Sensor bekerja menggunakan baterai sehingga umur pakai hanya berkisar dua tahun.

Sementara pada konsep InaCBT atau teknologi kabel optik bawah laut (Indonesia-Cable Based Tsunameter), sensor-sensor yang terletak di dasar laut dihubungkan dengan kabel optik.

Melalui kabel itu, juga dapat disalurkan listrik dari stasiun (landing station) di pantai menuju sensor-sensor yang ada di dasar laut tersebut.

Sensor-sensor menangkap gelombang tsunami lalu mengirimkannya ke landing station melalui kabel optik. Selanjutnya, sinyal itu dikirimkan ke RDS melalui kabel optik atau satelit.

Sensor terpasang bisa lebih banyak, dan menggunakan listrik dari daratan sehingga umur pakai lebih lama yakni lebih dari 10 tahun.

Konsep buoy memiliki lebar pita atau bandwidth sangat kecil sehingga data yang dikirim terkait deteksi gelombang tsunami memang sangat terbatas. Sementara pada kabel optik, transmisi data bisa sangat banyak, dan berbagai macam sensor bisa digabungkan dalam satu alat tersebut.

Selain itu, umur pakai kabel optik lebih panjang karena menggunakan energi listrik yang berasal dari landing station di daratan. Sementara, InaBuoy menggunakan energi dari baterai.

Baca juga: BMKG akan manfaatkan sirene tsunami dengan teknologi lebih sederhana

Baca juga: BMKG luncurkan sistem informasi tsunami berbasis radio dan Android

Pewarta: Martha Herlinawati Simanjuntak
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2021