Jakarta (ANTARA News) - Deputi Gubernur Bank Indonesia, Dody Waluyo, menilai pertumbuhan ekonomi kemungkinan tidak akan terkoreksi secara signifikan setelah keputusan peningkatan suku bunga acuan (7-Day Reverse Repo Rate) sebanyak dua kali pada Mei 2018.

"Dalam hitungan kami mungkin terkoreksi sedikit ke bawah dari proyeksi kami, namun tidak akan mengubah besar daripada jangka menengah panjang," kata dia, dalam diskusi di Kantor Center for Strategic and International Studies (CSIS), Jakarta, Rabu.

Pernyataan dia menanggapi pandangan sebagian kalangan yang menilai langkah peningkatan suku bunga tidak pro-growth atau kurang mencerminkan dukungan pada pertumbuhan ekonomi. BI selama Mei 2018 telah dua kali menaikkan suku bunga acuan masing-masing sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 4,75 persen.

Terakhir, Bank Indonesia menaikkan suku bunga acuan pada Rapat Dewan Gubernur tambahan, Rabu (30/5), untuk mengantisipasi risiko eksternal terutama perkiraan kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral AS The Federal Reserve pada 13 Juni 2018.

Dody menilai depresiasi nilai tukar justru akan menuju level yang sangat tinggi (overshooting) apabila tidak dilakukan peningkatan suku bunga acuan sebesar 50 bps.

Dengan struktur ekonomi Indonesia yang memiliki kandungan impor lebih besar, studi BI menunjukkan bahwa guncangan  akibat overshooting akan lebih signifikan dibandingkan dari kenaikan suku bunga karena impor dan kewajiban valas khusunya utang luar negeri akan meningkat.

"Dan hitungannya adalah relatif tidak menguntungkan terhadap pertumbuhan, bahkan kecenderungan menjadi lebih negatif. Sementara dengan kenaikan suku bunga, kita punya time lag antara empat dan enam triwulan," ujar Waluyo.

Pewarta: Roberto Basuki
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2018