Jakarta,  (ANTARA News) - Beberapa hari yang lalu, pemerintah melalui Kementerian Keuangan baru saja menaikkan tarif Pajak Penghasilan (PPh) terhadap barang konsumsi impor.

Hal tersebut dilakukan sebagai salah satu upaya untuk mengendalikan defisit neraca transaksi berjalan yang disebut sudah `lampu kuning` alias pemerintah patut mulai berhati-hati.

Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), defisit transaksi berjalan pada triwulan II-2018 tercatat 8 miliar dolar AS atau 3,04 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), lebih tinggi dibandingkan defisit triwulan sebelumnya sebesar 5,7 miliar dolar AS atau 2,21 persen dari PDB. Kendati pada triwulan kedua defisit transaksi berjalan sudah mencapai batas maksimal yang dianggap aman yaitu 3 persen, namun jika dihitung per semester I-2018, defisit transaksi berjalan baru mencapai 2,6 persen dari PDB.

Sementara itu, dalam sepekan terakhir, nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS terus melemah hingga nyaris menembus Rp15.000 per dolar AS dan membuat panik banyak pihak karena dibanding-bandingkan dengan kondisi krisis ekonomi 1998. Padahal depresiasi Rupiah terhadap dolar AS masih lebih baik dibandingkan negara berkembang lainnya.

Pada seminggu lalu, kurs tengah BI menunjukkan Rupiah bergerak kisaran Rp14.700-an hingga Rp14.900-an, sebelum berada pada level Rp14.884 per dolar AS pada akhir pekan. Di pasar spot sendiri Rupiah ditutup Rp14.820 per dolar AS setelah adanya intervensi dari BI.

Dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI pekan lalu, Gubernur BI Perry Warjiyo secara tegas juga menyebutkan langkah fundamental untuk menstabilkan kurs Rupiah adalah dengan menurunkan defisit neraca transaksi berjalan.

Neraca transaksi berjalan adalah salah satu komponen dasar dalam neraca pembayaran yang mencakup ekspor dan impor barang dan jasa, pendapatan primer dan pendapatan sekunder. Secara lebih sederhana, neraca transaksi berjalan menjadi indikator untuk melihat pasokan dan permintaan valuta asing atau valas dari kegiatan perdagangan internasional dan jasa suatu negara. Apabila neraca transaksi berjalan defisit, maka pasokan valas dari aktivitas tersebut tidak cukup untuk mendanai kebutuhan valasnya.

Defisit neraca transaksi berjalan sudah terjadi sejak triwulan IV-2011 yaitu sebesar 1,6 miliar dolar AS atau 0,7 persen dari PDB. Saat itu, defisit transaksi berjalan dipicu oleh meningkatnya permintaan domestik, terutama untuk kebutuhan investasi, yang menyebabkan impor masih tumbuh relatif tinggi dikala permintaan global terhadap komoditas ekspor Indonesia melemah dan harga komoditas nonmigas menurun lebih dalam.

Disamping itu, produksi minyak mentah yang terus berkurang, di tengah masih tingginya konsumsi bahan bakar minyak (BBM) dan meningkatnya harga minyak di pasar internasional, mengakibatkan nilai impor minyak semakin membesar waktu itu. Tak pelak, kebutuhan akan dolar juga semakin meningkat, padahal pasokan dolar relatif terbatas.

Defisit neraca transaksi berjalan biasanya ditutupi oleh dana investasi asing yang masuk ke Indonesia atau disebut "capital inflow" melalui pasar Surat Utang Negara (SUN) atau pasar saham, yang kemudian menambah likuiditas valas domestik. Namun, di tengah ketidakpastian global, investor cenderung akan memilih tempat investasi yang risikonya lebih kecil alias lebih aman dengan memindahkan dananya ke Amerika Serikat sehingga negara-negara berkembang termasuk Indonesia ekonominya pun menjadi goyang dan mata uangnya pun melemah.

Dengan kata lain, selama neraca transaksi berjalan masih defisit, nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS masih rentan terhadap guncangan. Hal itu pun diakui oleh Gubernur BI Periode 2013-2018 Agus Martowardojo, yang menilai agar Rupiah lebih stabil maka neraca transaksi berjalan tidak boleh defisit disamping inflasi yang terkendali. Ia mengakui, saat masa jabatannya, Rupiah telah melemah dari Rp9.700 per dolar AS menjadi Rp14.100 per dolar AS, salah satunya karena faktor domestik yang tidak bisa dihindari, yaitu defisit neraca transaksi berjalan.

Dari sisi moneter, bank sentral menyebutkan kenaikan suku bunga acuan BI atau BI 7-Days Reverse Repo Rate (BI-7DRR), merupakan salah satu cara untuk menurunkan defisit transaksi berjalan dari sisi permintaan. Sejak Mei hingga Agustus 2018, secara total BI sudah menaikkan suku bunga acuan sebesar 125 basis poin, dari 4,25 persen menjadi 5,5 persen.

Kendati demikian, apabila suku bunga acuan kembali dinaikkan oleh BI, hal tersebut dinilai tidak akan mampu menahan tren pelemahan Rupiah terhadap dolar AS. Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Abra Talattov menuturkan, kenaikan BI-7DRR tidak efektif meredam gejolak Rupiah. Bahkan, BI juga masih tetap harus menguras cadangan devisa.

Menurut Abra, dalam kondisi saat ini, otoritas moneter justru harus mengirimkan sinyal bahwa BI akan medukung target pertumbahan ekonomi dengan cara mendorong penyaluran kredit perbankan di sektor riil dengan menjaga tingkat suku bunga kredit, sehingga akan tetap mempertahankan daya saing produk ekspor Indonesia. Peningkatan ekspor tersebut diharapkan akan membantu memperkecil defisit transaksi berjalan.

Selain itu, bank sentral pun juga harus terus melakukan pendalaman pasar keuangan sehingga pasar lebih likuid dan lebih tahan apabila terjadi guncangan akibat arus modal keluar (capital outflow).

Sementara itu, dari sisi suplai, pemerintah berperan dalam mengendalikan sektor riil. Selain pengendalian terhadap impor barang konsumsi, pemerintah mengkaji ulang proyek-proyek infrastruktur yang memiliki konten impor tinggi dan mengimplementasikan penggunaan Biodiesel (B-20) untuk mengurangi impor bahan bakar solar.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, penerapan B-20 dapat memperkecil defisit transaksi berjalan sekaligus menghemat devisa negara hingga 2 miliar dolar AS untuk tahun ini karena impor minyak berkurang.

Sedangkan terkait upaya pengendalian impor barang konsumsi, yang juga ditujukan untuk memperbaiki defisit transaksi berjalan, diharapkan dapat disampaikan secara baik kepada para investor. Jangan sampai kebijakan tersebut dibaca sebagai bentuk proteksi yang berlebihan sehingga justru memantik tindakan balasan atau retaliasi dari para mitra dagang.*

Baca juga: Darmin Nasution katakan perlambatan ekspor sebabkan defisit transaksi berjalan

Baca juga: DPR dukung pemerintah atasi defisit transaksi berjalan, tapi ada syaratnya


 

Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2018