Jakarta (ANTARA News) - Sekira tiga bulan menjelang hari pemungutan suara Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres), masa kampanye calon presiden dan calon wakil presiden memasuki tahapan debat.

Menjelang pelaksanaan debat perdana, pada 17 Januari mendatang, polemik terkait pemberian daftar pertanyaan debat oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) kepada kedua tim sukses pasangan calon bermunculan.

KPU mengklaim kebijakannya tersebut bertujuan untuk memudahkan para peserta Pilpres dalam menyampaikan visi dan misi mereka kepada masyarakat melalui debat.

Debat sendiri merupakan salah satu dari sekian banyak metode kampanye Pilpres, yang diatur dalam Peraturan KPU Nomor 23 Tahun 2018 tentang Kampanye Pemilihan Umum, yang telah diubah menjadi PKPU Nomor 28 Tahun 2018.

PKPU dalam pasal 1 ayat 30 mendefinisikan iklan kampanye sebagai penyampaian esan kampanye melalui media cetak, media elektronik, media dalam jaringan, media sosial, dan lembaga penyiaran, yang berbentuk tulisan, gambar, animasi, promosi, suara, peragaan, sandiwara, debat dan bentuk lainnya; yang dimaksudkan untuk memperkenalkan Peserta Pemilu atau meyakinkan Pemilih memberi dukungan kepada Peserta Pemilu.

Sebagai salah satu metode iklan kampanye, KPU beranggapan bahwa debat merupakan sarana bagi pasangan capres-cawapres untuk meyakinkan masyarakat calon pemilih.

KPU menilai substansi debat oleh para peserta Pilpres adalah dengan menyampaikan ide atau gagasan mereka dalam membangun bangsa, yang dituangkan dalam visi, misi dan program kerja.

Esensi debat, seperti dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti "pembahasan dan pertukaran pendapat mengenai suatu hal dengan saling memberi alasan untuk mempertahankan pendapat masing-masing", diabaikan oleh KPU.

Seharusnya, debat menjadi ajang bagi masing-masing kubu pasangan capres-cawapres untuk mempertahankan argumen mereka mengenai visi, misi dan program kerja dalam menyelesaikan persoalan dan membangun bangsa.


Uji Kemampuan Capres-Cawapres

Pemberian bocoran soal-soal debat pilpres dapat merusak tatanan sistem demokrasi di Indonesia. Pasalnya, kemampuan berargumen dari masing-masing capres-cawapres itu menjadi salah satu hal yang paling ditunggu masyarakat dalam pemilu.

Dalam kontestasi lima tahunan sekali, momen debat antarpasangan capres-cawapres tersebut menjadi penting bagi masyarakat untuk menentukan pemimpin pilihan mereka.

Dari debat itu, kemampuan masing-masing capres dan cawapres dalam menghadapi persoalan bangsa akan terlihat dari jawaban spontan mereka. Debat berfungsi untuk mengukur sejauh mana pengetahuan kedua pasangan capres-cawapres itu dalam menanggapi masalah di negeri ini.

Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang juga Ketua Dewan Pengarah Tim Kampanye Nasional (TKN) pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin, menilai pemberian bocoran soal-soal debat pilpres tidak sesuai dengan hakikat demokrasi melalui pemilu.

JK, yang sudah tiga kali mengikuti kontestasi debat pilpres pada Pemilu 2004, 2009 dan 2014, mengatakan pertanyaan-pertanyaan debat seharusnya dijawab secara spontan seperti pada pilpres sebelumnya. Yang perlu disampaikan kepada peserta Pilpres hanyalah tema besar dari debat itu sendiri.

"Kita setiap kali terjadi (debat) begitu, ya tiba-tiba saja. Pertanyaannya cuma judulnya saja (misalnya) masalah ekonomi tentang apa, jadi kita sendiri (capres-cawapres) harus menjawabnya. Banyak hal yang perlu ditanggapi langsung oleh yang bersangkutan, agar rakyat mempunyai pilihan dan jelas," katanya.

Apabila pertanyaan debat diberikan sebelumnya, maka tim sukses dari masing-masing pasangan calon akan mempersiapkan jawaban tersebut. Akhirnya, bukan capres atau cawapres yang layak untuk dipilih menjadi pemimpin, melainkan tim sukses itu sendiri yang pantas menjadi presiden atau wakil presiden, kata JK.

Akibatnya, kualitas kemampuan capres dan cawapres akan berkurang karena tidak dapat menjawab pertanyaan debat pilpres secara spontan dan disaksikan oleh masyarakat secara langsung.


Kampanye Tidak Efektif

Pemberian "bocoran" pertanyaan debat, yang dianggap KPU untuk mempermudah penyampaian visi dan misi capres-cawapres, sebenarnya merupakan dampak dari kampanye yang tidak efektif selama tiga bulan terakhir.

Sejak ditetapkannya masa kampanye, pada 23 September 2018 lalu, kedua pasangan capres-cawapres tidak ada yang mengutamakan visi, misi dan program kerja mereka secara intensif kepada publik. Para peserta pilpres justru sibuk mengutarakan hal-hal yang bersifat remeh serta saling responsif dalam menanggapi "serangan" dari kubu lawan.

JK pun selaku Ketua Dewan Pengarah TKN mengakui bahwa pasangan Jokowi-Ma'ruf belum optimal dalam mengenalkan visi dan misi kepada masyarakat.

Meskipun petahana, lanjut JK, pasangan Jokowi-Ma'ruf tetap harus menggenjot kampanye visi dan misi mereka supaya masyarakat lebih mengenal pasangan tersebut. Terlebih lagi, Jokowi kini menggandeng "orang baru" dalam kontestasi lima tahunan sekali ini.

"Walaupun tentu 'incumbent' Pak Jokowi itu dikenal, tapi yang lain-lainnya kan perlu dikenalkan lebih jauh lagi. Kalau sudah dikenal, maka harus menonjolkan kemampuan supaya disukai," ujar Kalla.

Sementara dari kubu pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Badan Pemenangan Nasional (BPN) bahkan sempat mengajukan revisi visi dan misi ke KPU beberapa saat sebelum debat dimulai.

Hal itu menunjukkan kedua pasangan capres-cawapres tersebut tidak memanfaatkan waktu kampanye dengan baik untuk mengenalkan visi, misi dan program kerja mereka kepada masyarakat calon pemilih.

Padahal, sebagai pemilih masyarakat berhak tahu konsep pemerintahan seperti apa yang ditawarkan kedua pasangan capres-cawapres tersebut. Kini, dengan bocoran kisi-kisi pertanyaan debat, masyarakat seolah disajikan pertunjukan berskenario visi-misi yang sudah dirancang sebelumnya.

KPU pun seolah mengabaikan hak masyarakat untuk menilai dan mempertimbangkan pilihan mereka terhadap kedua pasangan calon peserta Pilpres 2019. Sebanyak 20 pertanyaan debat telah dikirimkan KPU kepada masing-masing tim sukses pasangan calon, tepat sepekan sebelum debat perdana dimulai.

Debat pilpres yang seharusnya menjadi momen untuk saling berargumen secara spontan dalam mempertahankan pendapat masing-masing paslon, kini hanya merupakan ajang untuk memaparkan gagasan yang sudah dipersiapkan sebelumnya.

Pewarta: Fransiska Ninditya
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2019