Surabaya (ANTARA) - Lembaga Pengembangan Sumber Daya Nahdatul Ulama menyiapkan program pembinaan terhadap 1.000 majelis taklim dan yasin tahlil yang tersebar di kawasan Kota Surabaya dan Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur.

Wakil Ketua Lembaga Pengembangan Sumber Daya Nahdatul Ulama (Lakpesdam NU) Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) Andi Budi, di Surabaya, Senin, mengatakan peristiwa Sibolga, Sumatera Utara menjadi alarm pengingat bahwa penganut islam radikal di Indonesia belum sepenuhnya bisa diatasi.

"Sehingga kami mendorong masyarakat mentradisikan budaya majelis taklim dan yasin tahlil," kata Ketua Bidang Penggalangan Keagamaan dan ormas Agama DPP Partai Golkar ini.

Menurut Andi Budi yang kerap dipanggil Gus Andi ini, dengan cara saling berkumpul dalam majelis taklim atau yasin tahlil, masyarakat ikut berperan dalam menjaga lingkungan sosialnya agar tetap kondusif.  

"Harus peka terhadap tetangga, jangan dimusuhi, diajak bicara. Pencegahannya masing-masing lingkungan harus peka terahdap lingkungannya. Kegiatan ini positif yang bisa diikuti oleh siapa saja, dibudayakan dan ditradisikan serta dikembangkan," ujar Caleg DPR RI dari Partai Golkar Nomor 2 Daerah Pemilihan Jatim 1 (Surabaya-Sidoarjo) ini.

Gus Andi mengatakan kegiatan majelis taklim dan yasin tahlil yang diadakan di rumah-rumah warga atau di luar masjid dan mushola ini akan berdampak pada kehidupan sosial yang harmonis. Hal ini karena mereka akan bersinergi untuk memantau lingkungan.

"Kalau lingkungannya tidak kondusif masyarakat yang akan rugi sendiri," katanya.

Ia menegaskan ajakan memerangi radikalisme dengan media majelis taklim dan yasin tahlil ini sejalan dengan nilai-nilai ahlus sunnah wal jamaah (aswaja) "an-nahdliyah" yang memiliki empat prinsip dasar yakni "tawasuth" (tengah-tengah), "tawazun" (seimbang), "ta'adul" (tegak lurus atau adil), dan "tasamuh" (toleransi).

Nilai "tawasuth mengajarkan masyarakat agar tidak terjebak kepada paham yang esktrem kanan dan ekstrem kiri. Menurut Gus Andi, aliran yang berhaluan kiri cenderung tidak mengakui pancasila, sedangkan yang berhaluan kanan identik dengan ajaran islam yang ekstrem.

"Sedangkan 'tawazun' itu berimbang. Kita punya pedoman al-quran dan al-hadits, ijma’ dan qiyas, kita juga harus pakai akal sehat. Menghardik orang tua tidak boleh, lebih dari itu akal sehat kita tidak boleh, misal membunuh orang tua. Akal sehat ini bisa mengimbangi dalam hidup dan bernegara," katanya.

Alumnus Fakultas Hukum Universitas Airlangga ini menjelaskan nilai toleransi dan adil dalam berbangsa dan bernegara juga tidak kalah pentingnya. Apalagi Indonesia negara yang dipenuhi dengan berbagai suku, agama, ras dan bahasa yang berbeda.

"Maka tasamuh (toleransi) ini penting. Karena banyak ras, suku, dan agama, supaya tetap rukun tidak mudah terpancing oleh provokasi," katanya. 


Baca juga: Ma'ruf : Pilpres bukan perang tapi cari pemimpin terbaik
Baca juga: Mar'uf Amin ngaku jadi cawapres karena pilihan ulama
 

Pewarta: Abdul Hakim
Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2019