Jakarta (ANTARA News) - Kesatuan Pelaut Indonesia (KPI) prihatin atas kondisi sektor pelayaran Indonesia yang masih memakai aturan pelayaran produk kolonial Belanda pada abad 18, untuk diterapkan saat ini. "Pemerintah harus segera mengganti aturan tersebut karena selain tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman juga membahayakan keselamatan pelayaran," kata Presiden KPI Hanafi Rustandi dalam siaran pers di Jakarta, Jumat. Dia menilai sungguh memalukan jika pada abad ke-21 Indonesia masih menggunakan aturan pelayaran yang dibuat pada abad 18. Hanafi mempertanyakan kebijakan syahbandar yang mengizinkan kapal KM Acita III berlayar padahal jumlah penumpangnya 203 orang atau jauh melebihi kapasitas kapal, sehingga terjadi bencana di laut. KM Acita III tenggelam di Sulawesi Tenggara pada 18 Oktober 2007 dan musibah itu menewaskan 31 penumpang. Kecelakaan itu terjadi akibat jumlah penumpang kapal kayu berbobot 30 ton tersebut jauh melebihi kapasitas yang diizinkan. Dalam kecelakaan ini dilaporkan 31 penumpang tewas, 169 selamat dan tiga lainnya belum ditemukan ketika tim SAR menghentikan pencarian korban pada 25 Oktober 2007. Hanafi menduga syahbandar menggunakan acuan SOSV 35, yakni aturan pelayaran yang dibuat zaman kolonial Belanda untuk kapal-kapal kayu berbobot di bawah 150 ton. Dalam peraturan itu disebutkan izin berlayar untuk kapal berbobot 150 ton ke atas berupa "pas putih" yang berlaku setahun dan bisa diperpanjang. Untuk kapal di bawah 150 ton izinnya berupa "pas biru" yang hanya berlaku selama tiga bulan. Kapal ini hanya diizinkan berpenumpang maksimal 30 orang dan berlayar maksimal 60 mil. "Nakhodanya bisa bermodalkan ijazah MPT (Mualim Pelayaran Terbatas). Untuk kasus KM Acita 3 ini mungkin nakhoda hanya memiliki SKK (Surat Keterangan Kecakapan)," kata Hanafi. Dikatakannya, kapal di bawah 500 ton belum terkena aturan konvensi International Maritim Organization (IMO) tentang Safety Of Life At Sea (SOLAS). Ia tidak mengerti mengapa SOVS 35 yang sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi saat ini masih dipertahankan, bahkan masih termuat dalam UU Pelayaran. "Pemerintah tidak tanggap, kalau aturan ini tetap dipertahankan, kecelakaan akan terus terjadi dan korban juga semakin banyak," katanya. Karena itu KPI mendesak pemerintah segera mengganti SOVS 35 dengan peraturan yang sesuai kondisi sekarang dan masa mendatang, karena masih banyak kapal kayu yang digunakan untuk angkutan penumpang. "Aturan harus jelas dengan sanksi hukum yang tegas," katanya. Desakan itu juga dikaitkan dengan belum adanya aturan pelayaran untuk kapal-kapal di bawah 500 ton. Termasuk kapal-kapal pelayaran rakyat (Pelra) dan kapal tradisional yang sebenarnya praktis disebut perahu. "Malu kalau pihak internasional tahu kita ternyata masih menggunakan aturan pelayaran produk kolonial Belanda," katanya. KM Tri Star Di sisi lain, Hanafi memuji sikap tegas Administrator Pelabuhan Tanjung Priok yang melarang KM Tri Star berlayar ke Pangkal Balam, Bangka, karena penumpangnya melebihi ketentuan. Pihak berwenang juga harus melakukan investigasi dan menindak tegas operator kapal yang menjual tiket jauh melebihi kapasitas angkut kapal, serta menelantarkan penumpangnya selama 12 jam di pelabuhan Tanjung Priok. Dikatakannya, daya tampung KM Tri Star hanya 500 penumpang dan bisa mengangkut 650 orang setelah mendapat dispensasi 30 persen dari Adpel. Dengan menjual 1.200 tiket, perusahaan pelayaran tersebut berspekulasi untuk mengejar keuntungan besar tanpa mempedulikan aturan keselamatan pelayaran. "Kalau kapal dengan 1.200 penumpang diberangkatkan dikhawatirkan akan terjadi kecelakaan seperti tenggelamnya KM Senopati beberapa waktu lalu." ujarnya. Dia menduga, kemarahan penumpang yang sudah menunggu 12 jam tapi belum diberangkatkan dengan merusak fasilitas terminal, merupakan tindakan provokasi perusahaan untuk menekan Adpel agar segera diberangkatkan meski kapasitas kapal melebihi ketentuan. Meski akhirnya seluruh penumpang diberangkatkan setelah pihak perusahaan mencarter KM Levina II, Hanafi minta pihak berwajib tetap mengusut dan menindak tegas agar menimbulkan efek jera bagi perusahaan bersangkutan dan lainnya yang berusaha melanggar aturan keselamatan pelayaran. "Sanksi tegas juga perlu dijatuhkan kepada pejabat yang tidak menegakkan aturan," katanya. (Tz.E007/C/M007) (T.E007/B/M007/M007) 26-10-2007 13:27:12 NNNN

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007