Jakarta (ANTARA) - Kondisi atau kualitas udara di DKI Jakarta terus memprihatinkan. Jika merujuk pada US Air Quality Index (AQI), udara yang dihirup oleh masyarakat Ibu Kota sudah berada pada level tidak sehat.

Data yang dikeluarkan oleh AirVisual pada hari Minggu sekitar pukul 08.00 WIB menunjukkan kualitas udara di Ibu Kota berada pada angka 189 dan masuk dalam kategori tidak sehat dengan parameter PM2.5 konsentrasi 128,5 ug/m3.

Artinya, saat masyarakat Jakarta tengah asyik melakukan rutinitas car free day (CFD), tanpa sadar mereka menghirup udara yang kotor yang tidak sehat. Bahkan, kondisi tersebut lebih parah pada pukul 06.04 WIB dengan mencapai angka 195.

Baca juga: Kualitas udara Jakarta masih kategori tidak sehat

Terdapat beragam persoalan yang mengakibatkan kualitas udara di Ibu Kota terus memburuk. Hal itu di antaranya terkait dengan jumlah kendaraan pribadi maupun umum, industri, debu jalanan, rumah tangga, pembakaran sampah sembarangan, pembangunan konstruksi bangunan, dan aktivitas di Pelabuhan Tanjung Priok.

Selain beberapa contoh itu, masih banyak faktor lain yang turut memperburuk kualitas udara di Jakarta. Namun, walaupun kualitas udara berada pada level tidak sehat, sejumlah masyarakat di Ibu Kota sepertinya tidak begitu peduli.

Mereka memilih tetap melaksanakan rutinitas CFD di sepanjang Jalan M.H. Thamrin hingga Sudirman dengan berbagai aktivitas olahraga, di antaranya maraton, bersepeda, dan senam.

"Mau bagaimana lagi? Saya bersama keluarga tidak punya banyak pilihan terkait lokasi car free day," kata warga Jakarta Selatan Gusben (37) di sela-sela aktivitas olahraganya.

Apalagi, CFD merupakan salah satu momen bersama keluarga untuk berolahraga di tengah kesibukan rutinitas sehari-hari. Meski tidak mengetahui persis kondisi udara di Jakarta, dia berharap pemerintah bisa mengatasi polusi udara tersebut.

Ia berharap hal itu dapat diwujudkan pemerintah dengan langkah memperbanyak ruang terbuka hijau sehingga dapat menghasilkan oksigen yang baik untuk mengatasi persoalan kualitas udara.

Hal senada diutarakan oleh Azar (24), warga asal Jakarta Utara, yang mengaku harus melaksanakan rutinitas CFD di pusat ibu kota dengan kualitas udara tidak sehat karena tidak ada pilihan lain.

Ia mengikuti CFD dari Jalan M.H. Thamrin hingga Sudirman hampir setiap minggu dengan kondisi langit Jakarta yang terus diselimuti gumpalan-gumpalan kelabu.

Menurut dia, persoalan polusi udara tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi masyarakat juga harus bisa dan berani bertanggung jawab dalam menekan berbagai penyebab pecemaran udara tersebut.

Baca juga: Semua demi udara bersih di Ibu Kota

Sebagai contoh, masyarakat tidak lagi membakar sampah, kemudian menggunakan moda transportasi umum, tidak merokok di fasilitas publik, dan berbagai hal lain yang bisa memperbaiki kualitas udara di Jakarta.

"Ya, sekarang efeknya belum terasa. Namun, beberapa tahun ke depan bisa saja kita terserang penyakit atau gangguan pernapasan," katanya.

Berbeda dengan Gusben dan Azar, Rita pengunjung CFD dari daerah Cirendeu mengaku prihatin melihat kualitas udara Jakarta yang sudah dalam kategori tidak sehat. Apalagi, tujuan utama dari CFD adalah berolahraga. Namun, kenyataannya masyarakat harus melaksanakan kegiatan tersebut dalam keadaan udara kotor.

Keadaan tersebut diyakininya terus mengancam kesehatan masyarakat yang melakukan aktivitas di jalanan, seperti CFD. Meskipun mengetahui kondisi udara dalam kategori tidak sehat, masyarakat terus saja beramai-ramai melaksanakan CFD setiap akhir pekan tiba.

Standar WHO

Terkait dengan polusi udara di ibu kota yang terus berubah-ubah dan memprihatinkan, Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) mengatakan bahwa Jakarta pernah dinobatkan sebagai kota dengan pencemaran udara tertinggi ketiga dunia setelah Meksiko dan Bangkok pada tahun 1994 hingga 1995.

Namun, setahun belakangan kondisi ibu kota malah memburuk dengan makin seringnya Jakarta menyandang gelar sebagai kota paling tercemar di dunia. Akibat kualitas udara tersebut, muncul berbagai ancaman di sektor kesehatan mulai dari ISPA, iritasi mata dan kulit, alergi jantung koroner, kanker, gangguan fungsi ginjal, hingga kematian dini.

Direktur KPBB Ahmad Safrudin meminta pemerintah menerapkan standar baku mutu kualitas udara sebagaimana yang diterapkan oleh World Health Organization (WHO) atau Badan Kesehatan Dunia.

"Setidaknya setara dengan standar kesehatan yang diterapkan WHO," katanya.

Baca juga: Bus listrik dan harapan udara bersih Jakarta

Selama ini, Pemerintah dinilai masih memaksakan diri untuk menggunakan indeks standar pencemar udara (ISPU) yang sudah out of date atau tertinggal dari perkembangan zaman yang merupakan produk SK Menteri Lingkungan Hidup pada tahun 1972.

Dalam mengukur kualitas udara, masyarakat sipil menggunakan acuan US AQI sehingga terdapat perbedaan dalam mengukur kualitas udara dengan pemerintah.

Ketika menggunakan acuan US AQI, hasil analisis pencemaran udara untuk parameter PM2.5 dengan konsentrasi 0 s.d. 10 ug/m3 termasuk kategori sedang, dan 36 s.d. 55 ug/m3 masuk dalam kategori tidak sehat untuk kalangan tertentu.

Mulai 56 hingga 65 ug/m3 adalah kategori tidak sehat, 66 s.d. 100 ug/m3 kategori sangat tidak sehat, dan 100 ug/m3 ke atas masuk dalam kategori berbahaya. Sementara itu, acuan ISPU hasil analisis lebih longgar.

Baca juga: Atasi polusi, harusnya Jakarta bercermin ke kota besar dunia

Konsentrasi PM2.5 rentang 0 s.d. 65 ug/m3 adalah kategori baik, 66 s.d. 100 ug/m3 termasuk kategori sedang. Selanjutnya, 101 s.d. 150 ug/m3 masuk dalam kategori tidak sehat, 151 s.d. 200 ug/m3 kategori sangat tidak sehat, dan 200 ug/m3 ke atas termasuk kategori berbahaya.

"Pemerintah pusat dan Pemerintah DKI Jakarta harus mengikuti teknologi terkini," kata dia.


Kualitas Udara
Sejumlah warga beraktifitas di sekitar kawasan Bundaran Hotel Indonesia saat car free day. (Foto: Muhammad Zulfikar)


Meskipun kualitas udara di Jakarta masuk dalam kategori tidak sehat, data itu dapat terus berubah-ubah. Terkait dengan hal itu, setidaknya terdapat lima aspek yang bisa dilakukan pemerintah untuk terus memperbaikinya dalam jangka panjang.

Pertama, Pemerintah harus mulai menggunakan energi bersih, yaitu BBM dengan jenis kualitas baik atau minim timbal, contohnya pertamax dan pertamax turbo serta bahan bakar gas (BBG).

Penggunaan BBM dengan kualitas baik atau minim timbal akan membantu dalam mengurangi emisi kendaraan di Ibu Kota.

Kedua, Pemerintah didorong menggunakan kendaraan teknologi bersih, seperi bus Euro 4 dengan emisi rendah.

Baca juga: Jakarta harus tiru manajemen pengendalian polusi udara Beijing

"Emisi moda transportasi Euro 4 ialah 10 persen lebih rendah sehingga bagus untuk menekan polusi udara di Jakarta," ujarnya.

Selanjutnya, memaksimalkan tata guna lahan dan manajemen transportasi. Pada aspek ini pemerintah pusat maupun Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus memperbanyak RTH.

Minimal, Jakarta memiliki 20 persen RTH publik dan 10 persen RTH pribadi atau pekarangan rumah masyarakat. Sementara ini, hanya ada 7 persen RTH publik dan 9 persen RTH privat.

"Jadi, kita masih butuh 14 persen RTH lagi di Jakarta untuk membantu menyerap emisi atau polusi udara," katanya.

RTH berperan penting membantu menyerap emisi hasil kendaraan maupun industri sehingga saat hujan turun dapat meluruhkannya ke tanah.

Selain itu, Pemerintah perlu segera menyetarakan standar baku mutu kualitas udara sebagaimana yang diterapkan oleh WHO. Pasalnya, saat ini Indonesia masih memaksakan penggunaan ISPU yang telah tertinggal dari perkembangan zaman.

Baca juga: Ini dia salah satu upaya urai polusi udara Jakarta

Terakhir, Pemerintah harus komitmen dalam penegakan hukum, terutama terhadap pabrik atau industri yang mencemari udara di Ibu Kota. Jika perlu, hal itu diterapkan hingga di tingkat RT/RW yang telah diatur dalam Perda Nomor 3 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Sampah.

"Kita masih menemukan banyak masyarakat yang membakar sampah sembarangan sehingga menambah polusi udara. Hal ini harus ditindak," ujarnya.

Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2019