Jakarta (ANTARA) - Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Perkumpulan Gerakan Kebangsaan (PGK) Bursah Zarnubi meminta pemerintah dan masyarakat belajar dari kegagalan penerapan tatanan kehidupan normal baru di Korea Selatan.
"Kita harus memetik pelajaran dari Korea Selatan ini. Tentu kita mesti hati-hati betul, karena COVID-19 ini belum berhenti betul. Itu artinya COVID-19 ini kemungkinan akan muncul kembali," ujar Bursah, melalui pernyataan tertulisnya, di Jakarta, Sabtu (30/5) malam.
Bursah menyampaikannya saat memberikan pengantar pada web seminar (Webinar) halal bihalal millenials talk bertajuk "Catatan Kaum Muda untuk New Normal".
Negeri Ginseng tersebut, katanya, kini tengah dilanda virus corona atau COVID-19 gelombang II sehingga terpaksa kembali menutup lebih dari 200 sekolah hanya beberapa hari setelah dibuka.
Menanggapi rencana pemerintah yang bakal menerapkan tatanan kenormalan baru, menurut dia, normal baru memang harus dilaksanakan, meskipun hal itu menuai pro dan kontra di tengah masyarakat.
Ia menyebutkan kehidupan normal baru merupakan paradigma baru tentang bagaimana masyarakat belajar hidup nyaman dalam suatu sistem sosial masyarakat selama pandemi COVID-19 tidak sirna di bumi Indonesia, karena belum ada indikasi bahwa pandemi ini akan berakhir.
"Karena itu kehidupan juga tidak boleh berhenti. Semua aktivitas ekonomi, bernegara, dan lain-lain harus berjalan dan kita harus selamat dari ancaman COVID-19 ini. Artinya, perlu ada pengendalian, perlu ada protokol-protokol kesehatan dan lainnya yang bisa mengurangi serbuan COVID-19 ini," kata Bursah.
Bursah berharap penerapan kehidupan normal baru tidak menimbulkan gejolak sehingga protokol kesehatan dan fasilitas rumah sakit di seluruh Indonesia, terutama RS di daerah yang menjadi sentrum perkembangan penyebaran COVID-19, harus dipersiapkan.
"Sebab, kalau tidak, kita akan menghadapi bencana yang bisa lebih besar kalau kita tidak siap," ujarnya.
Baca juga: Korsel kembali berlakukan karantina, Dubes RI keluarkan imbauan
Selain itu, Bursah juga meminta masyarakat mematuhi protokol kesehatan dan dengan penerapan tatanan kenormalan baru nanti masyarakat harus terus membudayakan pola hidup yang sehat, yang sebelumnya belum pernah diterapkan.
"Kita mulai akrab dengan hand sanitizer, menggunakan masker, cuci tangan, dan jaga jarak, minum vitamin C, E dan D, karena itu akan menjadi budaya panjang. Kalaupun misalnya COVID-19 ini selesai dua tahun lagi, kita tetap menggunakan hand sanitizer dan masker, jaga jarak, dan cuci tangan. Sebab, kalau tidak kita rentan terkena virus," katanya.
Baca juga: Korsel konfirmasi 79 kasus tambahan COVID-19, tertinggi sejak 5 April
Di sisi lain, Bursah juga meminta kaum milenial membangun rasa optimisme dalam penerapan tatanan kehidupan normal baru, apalagi dengan jumlah kaum milenial saat ini yang mencapai 92 juta orang.
Baca juga: Cara Korea Selatan dan Vietnam perangi COVID-19
"Mereka harus menjadi tauladan dan mengedukasi masyarakat luas dengan cara mengikuti protokol kesehatan itu sendiri," katanya.
Pembicara webinar yang dikemas dengan halal bihalal itu adalah pengamat hukum Chrisman Damanik, Presiden Pemuda Asia Afrika Beni Pramula, Pendiri Rumah Milenial Indonesia Sahat Martin Philip Sinurat, pengamat pendidikan Lidya Natalia Sartono, mantan Ketua Umum PB HMI Mulyadi P Tamsir, dan Mantan Ketua Umum PB PII Munawar Khalil.
Dari Tempat Hiburan
Otoritas kesehatan Korea Selatan sedang menyelidiki penyebaran virus corona dari sejumlah klub malam di Seoul, dan berupaya mengendalikan infeksi saat negara tersebut mulai melonggarkan langkah pembatasan sosial yang ketat.
Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Korea Selatan (KCDC) pada Jumat menyatakan sedikitnya 15 orang telah terinfeksi virus yang terkait dengan klub-klub di Itaewon, sebuah lingkungan yang populer bagi warga Korea maupun warga asing di kota itu.
Korea Selatan telah melaporkan hanya sedikit kasus dalam beberapa hari terakhir, yang mayoritas adalah orang yang baru kembali dari luar negeri.
Penyebaran di klub malam, meskipun masih sedikit, diperkirakan akan meningkat dan muncul pada saat negara itu telah mengurangi pembatasan sosial.
"Tempat-tempat ini memiliki kondisi berbahaya yang paling kami khawatirkan," kata Direktur KCDC Jeong Eun-kyeong, merujuk pada lokasi yang penuh sesak.
"Kami pikir penting untuk memperkuat pengelolaan di tempat-tempat tersebut, dan kami mendesak Anda untuk sebisa mungkin tidak mengunjungi fasilitas itu."
Baca juga: Mulai 6 Mei, Korea Selatan longgarkan lagi aturan "social distancing"
Pejabat kota Seoul mengatakan mereka telah mendaftar sekitar 1.500 orang yang mengunjungi klub, dan lebih banyak kasus telah dikonfirmasi di kota-kota lain di mana pasien tinggal atau bepergian.
Pihak berwenang telah meminta siapa pun yang mengunjungi klub selama akhir pekan untuk diuji dan mengisolasi diri selama 14 hari.
Rangkaian infeksi juga menimbulkan kontroversi mengenai kemungkinan efek samping yang tidak diinginkan dari pelacakan besar-besaran yang dilakukan Korea Selatan, dan pengungkapan beberapa informasi pasien kepada publik.
Ketika beberapa media lokal mengidentifikasi klub malam sebagai "klub gay," muncul kritik bahwa pengungkapan dan liputan media bisa mengarah pada diskriminasi terhadap individu lesbian, gay, biseksual, transgender, dan queer (LGBTQ), jika tidak seizin mereka.
Gay dan Itaewon corona menjadi istilah yang paling populer di portal pencarian situs Korea Selatan, Naver, setelah laporan tersebut.
Beberapa pengguna media sosial khawatir bahwa ketakutan akan pengungkapan kepada publik dapat menghalangi beberapa pengunjung klub untuk diuji, dan membandingkan klaster dengan wabah terbesar di negara itu, yang menginfeksi ribuan anggota gereja rahasia.
Baca juga: Pakai masker, siswa Korea Selatan kembali ke sekolah
Laporan tersebut mencakup usia, jenis kelamin, lokasi, dan pergerakan individu pertama yang dites positif setelah mengunjungi klub-klub tersebut, serta jenis pekerjaan mereka, menurut Solidaritas untuk Hak Asasi Manusia LGBT di Korea.
"Tidak hanya tidak membantu untuk mengungkapkan informasi tentang gerakan individu untuk upaya pencegahan, tetapi juga pelanggaran hak asasi manusia yang serius yang mengganggu privasi individu dan mengungkapkannya ke masyarakat," kata kelompok pembela hak asasi manusia itu.
Beberapa media lokal kemudian mengubah berita utama dengan menghapus referensi ke bar gay tetapi tidak membuat permintaan maaf resmi.
Homoseksualitas tidak dianggap ilegal di Korea Selatan, dan ada peningkatan penerimaan publik atas hubungan LGBTQ.
Namun, diskriminasi masih tersebar luas dan beberapa orang gay menderita kejahatan rasial, kata para pembela hak asasi manusia.
Untuk memerangi wabah virus corona, Korea Selatan telah menerapkan pendekatan teknologi tinggi untuk melacak kontak, yang dapat mencakup mengakses data lokasi ponsel pasien, rekaman kamera pengintai, laporan kartu kredit, dan informasi lainnya.
Peringatan pada ponsel otomatis kemudian dikirim ke siapa pun yang diduga berada di area yang sama dengan kasus yang dikonfirmasi. Otoritas kesehatan sering kali mengungkapkan rincian tentang jenis kelamin, usia, keberadaan, dan kadang-kadang tempat kerja seseorang, dalam upaya melacak kasus baru.
Sumber: Reuters
"Kita harus memetik pelajaran dari Korea Selatan ini. Tentu kita mesti hati-hati betul, karena COVID-19 ini belum berhenti betul. Itu artinya COVID-19 ini kemungkinan akan muncul kembali," ujar Bursah, melalui pernyataan tertulisnya, di Jakarta, Sabtu (30/5) malam.
Bursah menyampaikannya saat memberikan pengantar pada web seminar (Webinar) halal bihalal millenials talk bertajuk "Catatan Kaum Muda untuk New Normal".
Negeri Ginseng tersebut, katanya, kini tengah dilanda virus corona atau COVID-19 gelombang II sehingga terpaksa kembali menutup lebih dari 200 sekolah hanya beberapa hari setelah dibuka.
Menanggapi rencana pemerintah yang bakal menerapkan tatanan kenormalan baru, menurut dia, normal baru memang harus dilaksanakan, meskipun hal itu menuai pro dan kontra di tengah masyarakat.
Ia menyebutkan kehidupan normal baru merupakan paradigma baru tentang bagaimana masyarakat belajar hidup nyaman dalam suatu sistem sosial masyarakat selama pandemi COVID-19 tidak sirna di bumi Indonesia, karena belum ada indikasi bahwa pandemi ini akan berakhir.
"Karena itu kehidupan juga tidak boleh berhenti. Semua aktivitas ekonomi, bernegara, dan lain-lain harus berjalan dan kita harus selamat dari ancaman COVID-19 ini. Artinya, perlu ada pengendalian, perlu ada protokol-protokol kesehatan dan lainnya yang bisa mengurangi serbuan COVID-19 ini," kata Bursah.
Bursah berharap penerapan kehidupan normal baru tidak menimbulkan gejolak sehingga protokol kesehatan dan fasilitas rumah sakit di seluruh Indonesia, terutama RS di daerah yang menjadi sentrum perkembangan penyebaran COVID-19, harus dipersiapkan.
"Sebab, kalau tidak, kita akan menghadapi bencana yang bisa lebih besar kalau kita tidak siap," ujarnya.
Baca juga: Korsel kembali berlakukan karantina, Dubes RI keluarkan imbauan
Selain itu, Bursah juga meminta masyarakat mematuhi protokol kesehatan dan dengan penerapan tatanan kenormalan baru nanti masyarakat harus terus membudayakan pola hidup yang sehat, yang sebelumnya belum pernah diterapkan.
"Kita mulai akrab dengan hand sanitizer, menggunakan masker, cuci tangan, dan jaga jarak, minum vitamin C, E dan D, karena itu akan menjadi budaya panjang. Kalaupun misalnya COVID-19 ini selesai dua tahun lagi, kita tetap menggunakan hand sanitizer dan masker, jaga jarak, dan cuci tangan. Sebab, kalau tidak kita rentan terkena virus," katanya.
Baca juga: Korsel konfirmasi 79 kasus tambahan COVID-19, tertinggi sejak 5 April
Di sisi lain, Bursah juga meminta kaum milenial membangun rasa optimisme dalam penerapan tatanan kehidupan normal baru, apalagi dengan jumlah kaum milenial saat ini yang mencapai 92 juta orang.
Baca juga: Cara Korea Selatan dan Vietnam perangi COVID-19
"Mereka harus menjadi tauladan dan mengedukasi masyarakat luas dengan cara mengikuti protokol kesehatan itu sendiri," katanya.
Pembicara webinar yang dikemas dengan halal bihalal itu adalah pengamat hukum Chrisman Damanik, Presiden Pemuda Asia Afrika Beni Pramula, Pendiri Rumah Milenial Indonesia Sahat Martin Philip Sinurat, pengamat pendidikan Lidya Natalia Sartono, mantan Ketua Umum PB HMI Mulyadi P Tamsir, dan Mantan Ketua Umum PB PII Munawar Khalil.
Dari Tempat Hiburan
Otoritas kesehatan Korea Selatan sedang menyelidiki penyebaran virus corona dari sejumlah klub malam di Seoul, dan berupaya mengendalikan infeksi saat negara tersebut mulai melonggarkan langkah pembatasan sosial yang ketat.
Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Korea Selatan (KCDC) pada Jumat menyatakan sedikitnya 15 orang telah terinfeksi virus yang terkait dengan klub-klub di Itaewon, sebuah lingkungan yang populer bagi warga Korea maupun warga asing di kota itu.
Korea Selatan telah melaporkan hanya sedikit kasus dalam beberapa hari terakhir, yang mayoritas adalah orang yang baru kembali dari luar negeri.
Penyebaran di klub malam, meskipun masih sedikit, diperkirakan akan meningkat dan muncul pada saat negara itu telah mengurangi pembatasan sosial.
"Tempat-tempat ini memiliki kondisi berbahaya yang paling kami khawatirkan," kata Direktur KCDC Jeong Eun-kyeong, merujuk pada lokasi yang penuh sesak.
"Kami pikir penting untuk memperkuat pengelolaan di tempat-tempat tersebut, dan kami mendesak Anda untuk sebisa mungkin tidak mengunjungi fasilitas itu."
Baca juga: Mulai 6 Mei, Korea Selatan longgarkan lagi aturan "social distancing"
Pejabat kota Seoul mengatakan mereka telah mendaftar sekitar 1.500 orang yang mengunjungi klub, dan lebih banyak kasus telah dikonfirmasi di kota-kota lain di mana pasien tinggal atau bepergian.
Pihak berwenang telah meminta siapa pun yang mengunjungi klub selama akhir pekan untuk diuji dan mengisolasi diri selama 14 hari.
Rangkaian infeksi juga menimbulkan kontroversi mengenai kemungkinan efek samping yang tidak diinginkan dari pelacakan besar-besaran yang dilakukan Korea Selatan, dan pengungkapan beberapa informasi pasien kepada publik.
Ketika beberapa media lokal mengidentifikasi klub malam sebagai "klub gay," muncul kritik bahwa pengungkapan dan liputan media bisa mengarah pada diskriminasi terhadap individu lesbian, gay, biseksual, transgender, dan queer (LGBTQ), jika tidak seizin mereka.
Gay dan Itaewon corona menjadi istilah yang paling populer di portal pencarian situs Korea Selatan, Naver, setelah laporan tersebut.
Beberapa pengguna media sosial khawatir bahwa ketakutan akan pengungkapan kepada publik dapat menghalangi beberapa pengunjung klub untuk diuji, dan membandingkan klaster dengan wabah terbesar di negara itu, yang menginfeksi ribuan anggota gereja rahasia.
Baca juga: Pakai masker, siswa Korea Selatan kembali ke sekolah
Laporan tersebut mencakup usia, jenis kelamin, lokasi, dan pergerakan individu pertama yang dites positif setelah mengunjungi klub-klub tersebut, serta jenis pekerjaan mereka, menurut Solidaritas untuk Hak Asasi Manusia LGBT di Korea.
"Tidak hanya tidak membantu untuk mengungkapkan informasi tentang gerakan individu untuk upaya pencegahan, tetapi juga pelanggaran hak asasi manusia yang serius yang mengganggu privasi individu dan mengungkapkannya ke masyarakat," kata kelompok pembela hak asasi manusia itu.
Beberapa media lokal kemudian mengubah berita utama dengan menghapus referensi ke bar gay tetapi tidak membuat permintaan maaf resmi.
Homoseksualitas tidak dianggap ilegal di Korea Selatan, dan ada peningkatan penerimaan publik atas hubungan LGBTQ.
Namun, diskriminasi masih tersebar luas dan beberapa orang gay menderita kejahatan rasial, kata para pembela hak asasi manusia.
Untuk memerangi wabah virus corona, Korea Selatan telah menerapkan pendekatan teknologi tinggi untuk melacak kontak, yang dapat mencakup mengakses data lokasi ponsel pasien, rekaman kamera pengintai, laporan kartu kredit, dan informasi lainnya.
Peringatan pada ponsel otomatis kemudian dikirim ke siapa pun yang diduga berada di area yang sama dengan kasus yang dikonfirmasi. Otoritas kesehatan sering kali mengungkapkan rincian tentang jenis kelamin, usia, keberadaan, dan kadang-kadang tempat kerja seseorang, dalam upaya melacak kasus baru.
Sumber: Reuters
Pewarta: Zuhdiar Laeis
Penerjemah: Yashinta Difa Pramudyani
Editor: Tia Mutiasari
Editor: Masuki M. Astro