Tasikmalaya (ANTARA) - Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Republik Indonesia (BNPT RI) bersama Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Jawa Barat menggandeng mahasiswa dan sivitas akademika Universitas Siliwangi berikrar mencegah penyebaran intoleransi dan radikalisme.
Hal itu terungkap pada Dialog Publik Pelibatan Sivitas Akademika Dalam Pencegahan Terorisme Melalui FKPT Jawa Barat di Aula Universitas Siliwangi Kabupaten Tasikmalaya, Selasa (18/8/2020).
Kegiatan yang digelar secara daring (online) dan luring (offline) ini merupakan kerjasama Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme (BNPT), Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Jawa Barat, dan Universitas Siliwangi Tasikmalaya.
Diskusi menghadirkan pembicara pakar dan pemerhati terorime Irjen Pol (Purn) Ir Hamli, mantan narapidana terorisme Kurnia Widodo, dosen Unsil Acep Joni Saeful Mubarok, dan peneliti LIPI Amir Mudzakkir. Kegiatan dibuka Rektor Unsil Prof Dr Rudi Priyadi, MS dan Ketua FKPT Jabar Yaya Sunarya.
Plt Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Moch Chairil Anwar pidato kuncinya menyampaikan bahwa seluruh komponen masyarakat, termasuk seluruh sivitas akademika di lingkungan lembaga pendidikan tinggi harus dapat mencegah penyalahgunaan rumah ibadah sebagai tempat persemaian dan penyebaran intoleransi yang pada gilirannya berujung pada faham radikalisme dan terorisme.
Lanjut Chairil, gerakan terorisme dan radikalisme telah merongrong bangsa ini dari masa ke masa.
“Mereka sudah menjalankan aksinya pada era Orde Lama, Orde Baru, bahkan juga setelah Reformasi. Tidak ada strategi tunggal yang mereka jalankan. Kelompok radikal ini selalu beradaptasi dengan dinamika yang terhadi dalam lingkup regional, nasional, dan global. Di sinilah pentingnya kesadaran kolektif semua komponen bangsa untuk selalu mewaspadai gerakan intoleransi dalam masyarakat”.
Hasil riset yang dilakukan beberapa lembaga yang menunjukkan bahwa kempus perguruan tinggi justru menjadi persemaian faham intoleransi karena penyalahgunaan fungsi rumah ibadah di dalamnya.
“Gerakan teror berawal dari intoleransi yang kemudian mengarah pada radikalisasi, persekusi, dan kemudian ujungnya adalah terorisme. Oleh karena itu, harus ada perhatian khusus dari semua pemangku kepentingan kampus agar mencegah tindakan penyalagunaan rumah ibadah sebagai tempat memupuk intoleransi,” tegasnya.
Sedangkan, Pengamat terorisme Hamli mengungkapkan saat ini narasi-narasi berpotensi radikal masih menjadi bagian dari kehidupan sosial masyarakat. Hal ini mengarah dan mengajak pada tindakan terorisme.
“Narasi-narasi itu adalah tentang militansi yang menanamkan kebencian pada orang lain, kemudian narasi keterancaman. Narasi tentang teori konspirasi, ada juga narasi umat yang diperlakukan tidak adil, dan narasi intoleransi terkait sentimen keagamaan. Hal ini ternyata paralel dengan riset tentang motif aksi teror yaitu ideologi agama, solidaritas komunal, mentalitas, balas dendam, situasional, dan separatisme,” beber Hamli.
Dalam kegiatan yang sama alumni Negara Islam Indonesia (NII), Kurnia Widodo menyampaikan pengalaman hidupnya yang sempat menjadi bagian dari jaringan kelompok terorisme.
“Sebelum saya sadar dan kembali kepada masyarakat, saya sempat terpengaruh dan terlibat dalam jaringan terorisme. Saya bahkan belajar merakit bom dan mencoba meledakkannya di berbagai tempat. Bersyukur saya akhirnya sadar dan bisa kembali kepada masyarakat,” ungkap Kurnia yang sempat menempuh studi di kampus perguruan tinggi negeri ternama.
Ia menegaskan bahwa faktor utama faham radikal adalah ideologi yang telanjur ada dalam benak orang yang mempercayai faham ini. “Sedangkan faktor lain seperti kemiskinan, kesenjangan sosial, ketidakadilan, keluarga, atau dendam adalah faktor tambahan saja. Yang utama adalah ideologi. Buktinya, faham radikal bisa menerpa siapa saja dari berbagai kalangan, birokrat, lulusan pendidikan kedinasan, bahkan dari unsur aparat keamanan negara. Semua bisa terpapar,” ujar Kurnia yang juga mantan anggota jaringan terorisme.
Di sisi lain, Rudi Priyadi menegaskan keprihatinan dengan fakta bahwa beberapa pelaku terorisme berasal dari lingkungan perguruan tinggi. Bagaimanapun, kampus yang berperan untuk mendorong mahasiswa berpikir kritis dan idealisme yang kuat berbasis kebebasan akademik malah berujung pada fakta sebaliknya.
“Untuk itu, saya berpesan kepada sivitas akademika Universitas Siliwangi harus menjadi bagian dari solusi penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan, memperkuat bangsa dalam menghadapi ancaman, tantangan, dan gangguan bak dari dalam dan luar,” katanya menguraikan.
Ketua FKPT Jabar Yaya Sunarya mengungkapkan bahwa FKPT di daerah adalah bentuk konkret sinergi pemerintah dan masyarakat dalam upaya membendung terorisme yang mengancam keutuhan bangsa dan negara.
Baca juga: Cegah Radikalisme dengan Bijak Bermedia Sosial
Baca juga: Menpan-RB tanggapi inovasi penanganan radikalisme ASN
Baca juga: BNPT imbau pencegahan terorisme di lingkungan
Hal itu terungkap pada Dialog Publik Pelibatan Sivitas Akademika Dalam Pencegahan Terorisme Melalui FKPT Jawa Barat di Aula Universitas Siliwangi Kabupaten Tasikmalaya, Selasa (18/8/2020).
Kegiatan yang digelar secara daring (online) dan luring (offline) ini merupakan kerjasama Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme (BNPT), Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Jawa Barat, dan Universitas Siliwangi Tasikmalaya.
Diskusi menghadirkan pembicara pakar dan pemerhati terorime Irjen Pol (Purn) Ir Hamli, mantan narapidana terorisme Kurnia Widodo, dosen Unsil Acep Joni Saeful Mubarok, dan peneliti LIPI Amir Mudzakkir. Kegiatan dibuka Rektor Unsil Prof Dr Rudi Priyadi, MS dan Ketua FKPT Jabar Yaya Sunarya.
Plt Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Moch Chairil Anwar pidato kuncinya menyampaikan bahwa seluruh komponen masyarakat, termasuk seluruh sivitas akademika di lingkungan lembaga pendidikan tinggi harus dapat mencegah penyalahgunaan rumah ibadah sebagai tempat persemaian dan penyebaran intoleransi yang pada gilirannya berujung pada faham radikalisme dan terorisme.
Lanjut Chairil, gerakan terorisme dan radikalisme telah merongrong bangsa ini dari masa ke masa.
“Mereka sudah menjalankan aksinya pada era Orde Lama, Orde Baru, bahkan juga setelah Reformasi. Tidak ada strategi tunggal yang mereka jalankan. Kelompok radikal ini selalu beradaptasi dengan dinamika yang terhadi dalam lingkup regional, nasional, dan global. Di sinilah pentingnya kesadaran kolektif semua komponen bangsa untuk selalu mewaspadai gerakan intoleransi dalam masyarakat”.
Hasil riset yang dilakukan beberapa lembaga yang menunjukkan bahwa kempus perguruan tinggi justru menjadi persemaian faham intoleransi karena penyalahgunaan fungsi rumah ibadah di dalamnya.
“Gerakan teror berawal dari intoleransi yang kemudian mengarah pada radikalisasi, persekusi, dan kemudian ujungnya adalah terorisme. Oleh karena itu, harus ada perhatian khusus dari semua pemangku kepentingan kampus agar mencegah tindakan penyalagunaan rumah ibadah sebagai tempat memupuk intoleransi,” tegasnya.
Sedangkan, Pengamat terorisme Hamli mengungkapkan saat ini narasi-narasi berpotensi radikal masih menjadi bagian dari kehidupan sosial masyarakat. Hal ini mengarah dan mengajak pada tindakan terorisme.
“Narasi-narasi itu adalah tentang militansi yang menanamkan kebencian pada orang lain, kemudian narasi keterancaman. Narasi tentang teori konspirasi, ada juga narasi umat yang diperlakukan tidak adil, dan narasi intoleransi terkait sentimen keagamaan. Hal ini ternyata paralel dengan riset tentang motif aksi teror yaitu ideologi agama, solidaritas komunal, mentalitas, balas dendam, situasional, dan separatisme,” beber Hamli.
Dalam kegiatan yang sama alumni Negara Islam Indonesia (NII), Kurnia Widodo menyampaikan pengalaman hidupnya yang sempat menjadi bagian dari jaringan kelompok terorisme.
“Sebelum saya sadar dan kembali kepada masyarakat, saya sempat terpengaruh dan terlibat dalam jaringan terorisme. Saya bahkan belajar merakit bom dan mencoba meledakkannya di berbagai tempat. Bersyukur saya akhirnya sadar dan bisa kembali kepada masyarakat,” ungkap Kurnia yang sempat menempuh studi di kampus perguruan tinggi negeri ternama.
Ia menegaskan bahwa faktor utama faham radikal adalah ideologi yang telanjur ada dalam benak orang yang mempercayai faham ini. “Sedangkan faktor lain seperti kemiskinan, kesenjangan sosial, ketidakadilan, keluarga, atau dendam adalah faktor tambahan saja. Yang utama adalah ideologi. Buktinya, faham radikal bisa menerpa siapa saja dari berbagai kalangan, birokrat, lulusan pendidikan kedinasan, bahkan dari unsur aparat keamanan negara. Semua bisa terpapar,” ujar Kurnia yang juga mantan anggota jaringan terorisme.
Di sisi lain, Rudi Priyadi menegaskan keprihatinan dengan fakta bahwa beberapa pelaku terorisme berasal dari lingkungan perguruan tinggi. Bagaimanapun, kampus yang berperan untuk mendorong mahasiswa berpikir kritis dan idealisme yang kuat berbasis kebebasan akademik malah berujung pada fakta sebaliknya.
“Untuk itu, saya berpesan kepada sivitas akademika Universitas Siliwangi harus menjadi bagian dari solusi penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan, memperkuat bangsa dalam menghadapi ancaman, tantangan, dan gangguan bak dari dalam dan luar,” katanya menguraikan.
Ketua FKPT Jabar Yaya Sunarya mengungkapkan bahwa FKPT di daerah adalah bentuk konkret sinergi pemerintah dan masyarakat dalam upaya membendung terorisme yang mengancam keutuhan bangsa dan negara.
Baca juga: Cegah Radikalisme dengan Bijak Bermedia Sosial
Baca juga: Menpan-RB tanggapi inovasi penanganan radikalisme ASN
Baca juga: BNPT imbau pencegahan terorisme di lingkungan