Tarakan (ANTARA) - "Pertarungan" deradikalisasi kontra radikalisme dan terorisme hakikatnya setiap hari terus terjadi, terutama di dunia maya (cyber space).
Tentu ini tidak terlepas dari perkembangan teknologi komunikasi begitu cepat di era revolusi industri 4.0.
Riset "platform" manajemen media sosial HootSuite dan agensi marketing sosial We Are Social bertajuk "Global Digital Reports 2020" mencatat, penguna internet di Indonesia mencapai 175,4 juta orang.
Jumlah itu hampir 64 persen dari total penduduk Indonesia 272,1 juta jiwa.
Dari laporan itu, data yang tak kalah menariknya, ternyata ada 160 juta pengguna aktif media sosial.
Sementara itu, hasil survei BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) belum lama ini menunjukkan skor pencarian informasi seputar agama di internet mencapai 39,89 dari skala penilaian 0-100.
Ini tergolong tinggi dan ada kerawanan, yakni tidak semua informasi keagamaan di internet mengajarkan kedamaian.
Ibarat sebilah pisau, kemajuan teknologi informasi itu bisa dimanfaatkan untuk memotong roti namun bisa jika untuk melukai orang lain.
Dampak negatif kemajuan teknologi informasi, termasuk di antaranya menjadi media penyebaran radikalisme dan terorisme.
Penyebaran radikalisme dan rekruitmen anggota (propaganda) kini banyak menggunakan "cyber space".
Sementara hoaks menjadi strategi dalam menghasut menggunakan deksi untuk membenci.
Termasuk pula stategi "media framing" dalam mengemas pemberitaan untuk kepentingan kelompok radikalis dan teroris.
Kepala Subdirektorat Pemberdayaan Masyarakat BNPT Andi Intang Dulung menyebut sebaran konten radikal di media sosial menunjukkan grafik peningkatan.
Data Kominfo menunjukan dari 2017 hingga Maret 2019 ada 13.032 konten bermuatan radikal yang ditangani.
Ini baru data yang ditemukan, dilaporkan, dan ditangani, sedangkan yang belum tersentuh masih banyak.
Banyaknya konten radikal di media sosial bisa menjadi indikasi, yakni ada agenda dari jaringan pelaku teror untuk menyebarluaskan ideologinya dengan memanfaatkan internet.
Peran penceramah agama
Terkait "perang" antara radikalisme kontra deradikalisasi, Ketua FKPT (Forum Komunikasi Pencegahan Terorisme) Kalimantan Utara Datu Iskandar Zulkarnaen menilai perlu kehadiran optimal para ulama dan penceramah di dunia maya.
Hal itu disampaikan dalam acara "Penguatan Kompetensi Penceramah Agama di Kanwil Agama Kalimantan Utara 2020" untuk Kabupaten Bulungan di Hotel Luminor Tanjung Selor, Senin (26/10/2020).
Penceramah memiliki peran penting dalam deradikalisasi tidak hanya pada acara tatap muka namun di dunia maya.
Deradikalisasi adalah upaya preventif kontra terorisme atau stratregi untuk menetralisir paham-paham radikal agar kembali kejalan pemikiran moderat.
Iskandar yang juga Kepala Biro Perum LKBN Antara Kaltara itu menyebutkan fenomena transformasi teknologi dan digital banyak dimanfaatkan untuk menyebar radikalisme.
Namun, sayangnya jika diamati di medsos belum berimbang antara postingan radikalisme dengan deradikalisasi.
Iskandar yang juga Ketua PWI Kaltara itu menjelaskan salah satu
strategi kelompok radikalis untuk mempengaruhi orang adalah menggunakan diksi membenci melalui hadist-hadist palsu.
Persoalannya, orang awan cenderung mudah dipengaruhi jika dikaitkan atas nama agama, apalagi ada dasar hukumnya (hadist palsu).
Orang awam tentu sulit membedakan hadist shahih atau palsu.
Maka di sini peran penceramah sangat dibutuhkan untuk memberikan pencerahan ajaran Islam yang benar.
Penceramah dengan ketokohan dan ilmu mereka tentu sangat berpengaruh dalam memberikan pencerahan kepada publik tentang ajaran Islam yang "rahmatan lil alamin".
"Dengan bekal ilmu dan ketokohannya, maka peran mereka begitu strategis dalam kontra terorisme atau deradikalisasi di dunia maya," ujarnya dalam acara dengan moderator H. Sapriansyah Alie (Kabid Pendidikan Islam Kanwil Kemenag Kaltara).
Ia mencontohkan menjelang Lebaran pada Mei 2020, saat "searching" kesulitan menemukan hukum zakat Idul Fitri tanpa ijab kabul terkait "physical distancing" protokol kesehatan.
Ini salah satu contoh bahwa masih terbatasnya keterlibatan penceramah atau mereka yang paham hukum Islam dalam dunia digital untuk memberikan pencerahan.
Dua dunia
Data menarik lain dari riset "Global Digital Reports 2020" yang dirilis akhir Januari tahun ini, yakni pengguna internet di Indonesia 2019 yang berusia 16 hingga 64 tahun memiliki waktu rata-rata selama 7 jam 59 menit per hari untuk berselancar di dunia maya.
Angka tersebut melampaui rata-rata global, yakni menghabiskan waktu 6 jam 43 menit untuk bercengkrama di internet per harinya.
Kelompok usia remaja ini yang juga paling rawan menerima berbagai disinformasi dan misinformasi.
"Jadi perkembangan anak harus selalu dipantau. Hakikatnya saat ini hidup di dua dunia, yakni dunia nyata dan di dunia maya" kata Iskandar dalam acara penguatan kompetensi penceramah agama di Bulungan itu.
Penceramah diharapkan juga membantu mengingatkan orangtua tentang ciri-ciri anak yang kemungkinan terparpapar radikalisme.
Ciri itu antara lain, mendadak anti sosial, perubahan sikap emosional ketika berbicara, berkumpul dengan komunitas yang dirahasiakan, memutus komunikasi dengan orang tua dan keluarga, serta menampakkan sikap, pandangan dan tindakan yang berbeda.
Peran ulama juga dibutuhkan dalam penguatan jiwa nasionalisme dengan
mensosialisasikan empat konsensus dasar bangsa indonesia, yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika.
Terutama ikut menetralisir media-media yg menyebarkan berita bohong (hoaks) terkait dengan idiologi jihad.
Pemahaman jihad banyak yang dimaknai secara keliru, yakni sebagai jalan dan tindakan kekerasan.
Frasa jihad mengalami sebuah distorsi yang cukup parah akibat kegagalan memahami maknanya yang hakiki.
Makna jihad harusnya tidak bisa terlepas dari konteks sejarah, hukum, syarat dan etika jihad.
Padahal dalam Islam, pengertian jihad sangat mulia karena untuk menghidupkan bukan untuk mematikan.
Dalam perjuangan, jihad (perjuangan dengan fisik) tidak terpisah dengan ijtihad (perjuangan dengan nalar), dan mujahadah (perjuangan dengan kekuatan rohani).
Melihat fakta ini, maka sudah saatnya keterlibatan ulama atau penceramah harus lebih aktif menghadapi "peperangan" antara deradikalisasi kontra radikalisme dan terorisme di dunia maya.
Baca juga: Perempuan rentan direkrut jadi anggota teroris
Baca juga: Milisi Irak dianggap organisasi teroris asing
Tentu ini tidak terlepas dari perkembangan teknologi komunikasi begitu cepat di era revolusi industri 4.0.
Riset "platform" manajemen media sosial HootSuite dan agensi marketing sosial We Are Social bertajuk "Global Digital Reports 2020" mencatat, penguna internet di Indonesia mencapai 175,4 juta orang.
Jumlah itu hampir 64 persen dari total penduduk Indonesia 272,1 juta jiwa.
Dari laporan itu, data yang tak kalah menariknya, ternyata ada 160 juta pengguna aktif media sosial.
Sementara itu, hasil survei BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) belum lama ini menunjukkan skor pencarian informasi seputar agama di internet mencapai 39,89 dari skala penilaian 0-100.
Ini tergolong tinggi dan ada kerawanan, yakni tidak semua informasi keagamaan di internet mengajarkan kedamaian.
Ibarat sebilah pisau, kemajuan teknologi informasi itu bisa dimanfaatkan untuk memotong roti namun bisa jika untuk melukai orang lain.
Dampak negatif kemajuan teknologi informasi, termasuk di antaranya menjadi media penyebaran radikalisme dan terorisme.
Penyebaran radikalisme dan rekruitmen anggota (propaganda) kini banyak menggunakan "cyber space".
Sementara hoaks menjadi strategi dalam menghasut menggunakan deksi untuk membenci.
Termasuk pula stategi "media framing" dalam mengemas pemberitaan untuk kepentingan kelompok radikalis dan teroris.
Kepala Subdirektorat Pemberdayaan Masyarakat BNPT Andi Intang Dulung menyebut sebaran konten radikal di media sosial menunjukkan grafik peningkatan.
Data Kominfo menunjukan dari 2017 hingga Maret 2019 ada 13.032 konten bermuatan radikal yang ditangani.
Ini baru data yang ditemukan, dilaporkan, dan ditangani, sedangkan yang belum tersentuh masih banyak.
Banyaknya konten radikal di media sosial bisa menjadi indikasi, yakni ada agenda dari jaringan pelaku teror untuk menyebarluaskan ideologinya dengan memanfaatkan internet.
Peran penceramah agama
Terkait "perang" antara radikalisme kontra deradikalisasi, Ketua FKPT (Forum Komunikasi Pencegahan Terorisme) Kalimantan Utara Datu Iskandar Zulkarnaen menilai perlu kehadiran optimal para ulama dan penceramah di dunia maya.
Hal itu disampaikan dalam acara "Penguatan Kompetensi Penceramah Agama di Kanwil Agama Kalimantan Utara 2020" untuk Kabupaten Bulungan di Hotel Luminor Tanjung Selor, Senin (26/10/2020).
Penceramah memiliki peran penting dalam deradikalisasi tidak hanya pada acara tatap muka namun di dunia maya.
Deradikalisasi adalah upaya preventif kontra terorisme atau stratregi untuk menetralisir paham-paham radikal agar kembali kejalan pemikiran moderat.
Iskandar yang juga Kepala Biro Perum LKBN Antara Kaltara itu menyebutkan fenomena transformasi teknologi dan digital banyak dimanfaatkan untuk menyebar radikalisme.
Namun, sayangnya jika diamati di medsos belum berimbang antara postingan radikalisme dengan deradikalisasi.
Iskandar yang juga Ketua PWI Kaltara itu menjelaskan salah satu
strategi kelompok radikalis untuk mempengaruhi orang adalah menggunakan diksi membenci melalui hadist-hadist palsu.
Persoalannya, orang awan cenderung mudah dipengaruhi jika dikaitkan atas nama agama, apalagi ada dasar hukumnya (hadist palsu).
Orang awam tentu sulit membedakan hadist shahih atau palsu.
Maka di sini peran penceramah sangat dibutuhkan untuk memberikan pencerahan ajaran Islam yang benar.
Penceramah dengan ketokohan dan ilmu mereka tentu sangat berpengaruh dalam memberikan pencerahan kepada publik tentang ajaran Islam yang "rahmatan lil alamin".
"Dengan bekal ilmu dan ketokohannya, maka peran mereka begitu strategis dalam kontra terorisme atau deradikalisasi di dunia maya," ujarnya dalam acara dengan moderator H. Sapriansyah Alie (Kabid Pendidikan Islam Kanwil Kemenag Kaltara).
Ia mencontohkan menjelang Lebaran pada Mei 2020, saat "searching" kesulitan menemukan hukum zakat Idul Fitri tanpa ijab kabul terkait "physical distancing" protokol kesehatan.
Ini salah satu contoh bahwa masih terbatasnya keterlibatan penceramah atau mereka yang paham hukum Islam dalam dunia digital untuk memberikan pencerahan.
Dua dunia
Data menarik lain dari riset "Global Digital Reports 2020" yang dirilis akhir Januari tahun ini, yakni pengguna internet di Indonesia 2019 yang berusia 16 hingga 64 tahun memiliki waktu rata-rata selama 7 jam 59 menit per hari untuk berselancar di dunia maya.
Angka tersebut melampaui rata-rata global, yakni menghabiskan waktu 6 jam 43 menit untuk bercengkrama di internet per harinya.
Kelompok usia remaja ini yang juga paling rawan menerima berbagai disinformasi dan misinformasi.
"Jadi perkembangan anak harus selalu dipantau. Hakikatnya saat ini hidup di dua dunia, yakni dunia nyata dan di dunia maya" kata Iskandar dalam acara penguatan kompetensi penceramah agama di Bulungan itu.
Penceramah diharapkan juga membantu mengingatkan orangtua tentang ciri-ciri anak yang kemungkinan terparpapar radikalisme.
Ciri itu antara lain, mendadak anti sosial, perubahan sikap emosional ketika berbicara, berkumpul dengan komunitas yang dirahasiakan, memutus komunikasi dengan orang tua dan keluarga, serta menampakkan sikap, pandangan dan tindakan yang berbeda.
Peran ulama juga dibutuhkan dalam penguatan jiwa nasionalisme dengan
mensosialisasikan empat konsensus dasar bangsa indonesia, yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika.
Terutama ikut menetralisir media-media yg menyebarkan berita bohong (hoaks) terkait dengan idiologi jihad.
Pemahaman jihad banyak yang dimaknai secara keliru, yakni sebagai jalan dan tindakan kekerasan.
Frasa jihad mengalami sebuah distorsi yang cukup parah akibat kegagalan memahami maknanya yang hakiki.
Makna jihad harusnya tidak bisa terlepas dari konteks sejarah, hukum, syarat dan etika jihad.
Padahal dalam Islam, pengertian jihad sangat mulia karena untuk menghidupkan bukan untuk mematikan.
Dalam perjuangan, jihad (perjuangan dengan fisik) tidak terpisah dengan ijtihad (perjuangan dengan nalar), dan mujahadah (perjuangan dengan kekuatan rohani).
Melihat fakta ini, maka sudah saatnya keterlibatan ulama atau penceramah harus lebih aktif menghadapi "peperangan" antara deradikalisasi kontra radikalisme dan terorisme di dunia maya.
Baca juga: Perempuan rentan direkrut jadi anggota teroris
Baca juga: Milisi Irak dianggap organisasi teroris asing