Jakarta (ANTARA) - Putri almarhum Penyair WS Rendra, Clara Sinta Rendra, mengatakan puisi berjudul 'Kesaksian Akhir Abad' memiliki pesan moral yang relevan dengan masa sekarang, terkait realitas kehidupan sosial, politik, dan ekonomi di Indonesia serta kegaduhan dan riuhnya era Cybernetic.

Selain itu, terselip pula cita-cita kemerdekaan rakyat yang ingin diwujudkan secara bijaksana, dengan cara negara menghormati hak-hak birokrasi dan tidak mengekang hak-hak tersebut untuk semata-mata kepentingan penguasa.

"Rendra secara kritis dan mendalam menyampaikan rakyat memiliki kedudukan dan menjadi bagian penting dalam kedaulatan rakyat dan kedaulatan politik," kata Clara dalam rilis yang diterima di Jakarta, Jumat.

Baca juga: WS Rendra dalam kenangan sang buah hati

WS Rendra, penyair kelahiran Solo, 7 November 1935 telah mengingatkan bahwa rakyat harus memiliki hak politik yang independen tanpa kehilangan kemerdekaannya.

.... Dan partai-partai politik
menganggap rakyat hanya abdi partai yang dinamakan masa politik partai!
Atau kawula partai! ...

Menurut putri almarhum WS Rendra, Clara Sinta Rendra, itulah mengapa acara 'Rindu Rendra' ke-2 tahun 2020 mengambil tema 'Kesaksian Akhir Abad'.

"Tema itu dipilih untuk mengingatkan kembali mengenai substansi daya hidup rakyat yang tetap bertahan dalam kedaulatan rakyat dan kedaulatan politik dalam dimensi peradaban kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Republik Indonesia," kata Clara.

Clara menilai apa yang tertulis di dalam puisi Rendra berjudul 'Kesaksian Akhir Abad' menjadi kritik yang berdaya guna, berdaya hidup, dan berdaya moral yang konstruktif bagi kemerdekaan daya hidup dan daya kehidupan masyarakat Indonesia.

Clara mengatakan panitia 'Rindu Rendra 2020' pun mengadakan lomba video baca puisi tingkat nasional yang total diikuti lebih dari 300 video peserta dalam gelaran tahun ini.

"Antusiasme peserta lomba video baca puisi Rendra tahun ini memang luar biasa dan sangat responsif. Panitia telah menerima dan menyeleksi lebih dari 300 video peserta lomba baca puisi Rendra yang berasal dari 34 Provinsi di Indonesia," kata Clara.

Baca juga: Seni dan jalan hidup WS Rendra

Putri penyair WS Rendra itu menambahkan, video para pemenang akan disiarkan secara langsung melalui streaming YouTube Komunitas Burung Merak Rendra, Sabtu, (7/11) pukul 19.00-22.00 WIB.

Adapun penentuan pemenang dilakukan oleh Tim Juri yang terdiri dari Jose Rizal Manua, Uji Bayu Sedjati dan Clara Sinta Rendra sendiri, akan menyeleksi secara ketat, memberikan penilaian, dan menentukan video baca puisi Rendra yang menjadi Juara I, Juara II, Juara III dan Juara Favorit.

"Panitia telah menyediakan piala serta hadiah dan piagam untuk para pemenang lomba. Di antaranya, Juara I mendapatkan Piala Rendra, uang Rp 5 Juta dan piagam, Juara II mendapatkan Piala Rendra, uang Rp3,5 Juta dan Piagam, Juara III mendapatkan Piala Rendra, uang Rp 2,5 Juta dan Piagam, Juara Favorit mendapatkan piala Rendra, uang Rp 2,5 Juta dan Piagam," kata Clara.

Selain kegiatan seni dan budaya tersebut, lanjut Clara, panitia juga akan menghadirkan diskusi yang menghadirkan para narasumber, di antaranya Wakil Ketua DPR RI Muhaimin Iskandar (Cak Imin) dan akademisi Rocky Gerung.

"Mereka akan berdiskusi dan memperbincangkan berbagai pemikiran penyair WS Rendra yang kritis terhadap kehidupan sosial politik, ekonomi, budaya, peradaban teknologi informasi dan sebagainya," ujar Clara menandaskan.

KESAKSIAN AKHIR ABAD

Karya: WS Rendra
 
Ratap tangis menerpa pintu kalbuku. Bau anyir darah mengganggu tidur malamku.
O, tikar tafakur! O, bau sungai tohor yang kotor! Bagaimana aku akan bisa membaca keadaan ini?
O, Di atas atap kesepian nalar pikiran yang digalaukan oleh lampu-lampu kota yang bertengkar dengan malam, aku menyerukan namamu:
Wahai, para leluhur Nusantara! O, Sanjaya! Leluhur dari kebudayaan tanah! O, Purnawarman! Leluhur dari kebudayaan air! Kedua wangsamu telah mampu mempersekutukan budaya tanah dan air!
O, Resi Kuturan! O, Resi Nirarta! Empu-empu tampan yang penuh kedamaian! Telah kamu ajarkan tatanan hidup yang aneka dan sejahtera, yang dijaga oleh dewan hukum adat. O, bagaimana mesti aku mengerti bahasa bising dari bangsaku kini?
O, Kajao Laliddo! Bintang cemerlang Tana Ugi! Negarawan yang pintar dan bijaksana! Telah kamu ajarkan aturan permainan di dalam benturan-benturan keinginan yang berbagai ragam di dalam kehidupan: ade, bicara, rapang, dan wari.
O, lihatlah wajah-wajah berdarah dan rahim yang diperkosa muncul dari puing-puing tatanan hidup yang porak-poranda.
Kejahatan kasat mata tertawa tanpa pengadilan. Kekuasaan kekerasan berak  dan berdahak di atas bendera kebangsaan.
O, anak cucuku di jaman cybernetic! Bagaimana akan kalian baca prasasti  dari jaman kami? Apakah kami akan mampu menjadi ilham kesimpulan ataukah kami justru menjadi sumber masalah di dalam kehidupan?
Dengan puisi ini aku bersaksi. Bahwa rakyat Indonesia belum merdeka. Rakyat yang tanpa hak hukum bukanlah rakyat merdeka. Hak hukum yang tidak dilindungi oleh lembaga pengadilan yang mandiri adalah hukum yang ditulis di atas air!
Bagaimana rakyat bisa merdeka bila polisi menjadi aparat pemerintah. Dan tidak menjadi aparat hukum yang melindungi hak warga negara?
Bagaimana rakyat bisa merdeka bila birokrasi negara tidak menjadi abdi rakyat, melainkan menjadi abdi pemerintah yang berkuasa?
Bagaimana rakyat bisa merdeka bila  hak pilih mereka dipasung tidak boleh memilih secara langsung wakil-wakil mereka di dewan perwakilan, dan juga tidak boleh memilih secara langsung camat mereka, bupati, walikota, gubernur, dan presiden mereka?
Dan partai-partai politik menganggap rakyat hanya abdi partai yang dinamakan masa politik partai! Atau kawula partai!
Bagaiman rakyat bisa merdeka bila  pemerintah melecehkan perdagangan antardaerah dan mengembangkan merkantilisme Daendels sehingga rela menekan kesejahteraan buruh, petani, nelayan, guru dan serdadu berpangkat rendah?
Bagaimana rakyat bisa merdeka bila  propinsi-propinsi sekedar menjadi tanah jajahan pemerintah pusat?
Tidak boleh mengatur ekonominya sendiri, tatanan  hidupnya sendiri, dan juga keamanannya sendiri?
Ayam, serigala, macan, ataupun gajah, semuanya peka pada wilayahnya. Setiap orang juga ingin berdaulat di dalam rumahtangganya.
Setiap penduduk ingin berdaulat di dalam kampungnya. Dan kehidupan berbangsa. Tidak perlu merusak daulat kedaerahan.
Hasrat berbangsa dan naluri rakyat untuk  menjalin ikatan dayacipta antarsuku, yang penuh keanekaan kehidupan, dan memaklumkan wilayah pergaulan yang lebih luas untuk merdeka bersama.
Tetapi lihatlah selubung kabut saait ini! Penjajahan tatanan uang penjajahan modal, penjajahan kekeraan senjata, dan penjajahan oleh partai-partai politik, masih merajalela di dalam negara!
Dengan puisi ini aku bersaksi bahwa sampai saat puisi ini aku tandatangani para elit politik yang berkedudukan ataupun yang masih berjalan, tidak pernah memperjuangkan sarana-sarana kemerdekaan rakyat.
Mereka hanya rusuh dan gaduh memperjuangkan kedaulatan golongan dan partainya sendiri.
Mereka hanya bergulat untuk posisi sendiri. Mereka tidak peduli kepada posisi hukum, posisi polisi, ataupun posisi birokrasi.
Dengan picik mereka  akan mendaur-ulang malapetaka bangsa dan negara yang telah terjadi!
O, Indonesia! Ah, Indonesia! Negara yang kehilangan makna! Rakyat sudah dirusak tatanan hidupnya. Berarti sudah dirusak dasar peradabannya. Dan akibatnyaa dirusak pula kemanusiaannya.
Maka sekarang negara tinggal menjadi peta. Itupun peta yang lusuh dan  hampir sobek pula. Pendangkalan kehidupan bangsa telah terjadi. Tata nilai rancu. Dusta, pencurian, penjarahan, dan kekerasan halal.
Manusia sekedar semak belukar yang  gampang dikacau dan dibakar. Paket-paket pikiran mudah dijajakan. Penalaran amanah yang salah mendorong  rakyat terpecah belah.
Negara tak mungkin kembali diutuhkan tanpa  rakyatnya dimanusiakan. Dan manusia tak mungkin menjadi manusia. Tanpa dihidupkan hatinuraninya.
Hati nurani adalah hakim adil untuk diri kita sendiri. Hatinurani adalah sendi dari kesadaran akan kemerdekaan pribadi.
Dengan puisi ini aku bersaksi bahwa  hatinurani itu meski dibakar tidak bisa menjadi abu. Hatinurani senantiasa bisa bersemi meski  sudah ditebang putus di batang.
Begitulah fitrah manusia ciptaan  Tuhan Yang maha Esa.




Baca juga: Lakon "Panembahan Reso" masih relevan, kata Bambang Soesatyo

 

Pewarta: Abdu Faisal
Editor: Joko Susilo


Pewarta : Redaksi
Editor : Iskandar Zulkarnaen
Copyright © ANTARA 2025