Jakarta (ANTARA) - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengembangkan daya saing industri fesyen muslim dengan mendorong para pelakunya memiliki sertifiasi halal.
Industri fesyen muslim halal dinilai memiliki potensi besar dalam memacu perekonomian nasional. Apalagi, Indonesia memiliki peluang emas untuk menjadi produsen dan eksportir produk halal terbesar di dunia lantaran didukung dengan sumber daya yang dimiliki, termasuk dari daya saing sektor industrinya.
“Industri fesyen muslim memiliki potensi yang besar mengingat konsumsi fesyen muslim di Indonesia meningkat dari tahun ke tahun, dengan pertumbuhan rata-rata 3,2 persen per tahun. Pada tahun 2020, Indonesia berada di urutan kelima konsumen fesyen muslim dunia,” kata Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita dalam keterangannya pada Selasa.
Guna mencapai sasaran tersebut, Indonesia sudah punya Masterplan Ekonomi Syariah Indonesia 2019-2024. Salah satu strateginya adalah penguatan rantai nilai halal yang terdiri dari industri makanan dan minuman halal, industri pariwisata halal, industri fesyen muslim, industri media dan rekreasi halal, industri farmasi dan kosmetik halal serta industri energi terbarukan.
Baca juga: "Shades of Rotua" hingga "Odyssey" di MUFFEST 2021
Baca juga: Keindahan Sekar Jagad dalam rancangan busana
Di samping itu, Indonesia juga menjadi eksportir terbesar kelima di negara anggota OKI, dengan proporsi 9,3 persen. Nilai ini jika dilihat secara global baru berkisar 3,8 persen dari total pasar produk halal dunia. Oleh karenanya, perlu dioptimalkan lagi.
“Tidak hanya peluang pasar global yang diproyeksikan mencapai 1.84 miliar penduduk muslim di dunia pada tahun 2023, kebutuhan produk halal dalam negeri pun masih terbuka luas dengan populasi penduduk muslim 87,2 persen dari total penduduk Indonesia,” papar Menperin.
Dalam upaya mendukung proyeksi produk fesyen halal tersebut, tidak kurang dari 800 peserta dari berbagai kalangan seperti industri tekstil dan produk tesktil (TPT), asosiasi, Pemerintah Daerah, civitas akademisi, lembaga penguji, kementerian dan lembaga terkait, serta Pusat Kajian Halal berkumpul bersama secara virtua dalam acara TEXTalk yang mengangkat tema “Perspektif Halal dalam Tekstil dan Fashion”. Acara ini diinisiasi oleh Balai Besar Tekstil (BBT), satuan kerja di bawah Badan Standardisasi dan Kebijakan Jasa Industri (BSKJI) Kementerian Perindustrian (Kemenperin).
Kepala BSKJI Doddy Rahadi dalam sambutannya menyebutkan, kegiatan tersebut dilaksanakan seiring menyambut upaya pemulihan ekonomi nasional yang tengah menunjukkan perkembangan yang positif. Misalnya, tercemin dari capaian Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur Indonesia pada Mei 2021 yang berada pada nilai tertinggi sepanjang sejarah, yaitu pada angka 55,3.
Doddy menegaskan, pihaknya mendukung upaya peningkatan daya saing industri dalam negeri untuk menghasilkan produk yang berkualitas dan berkesinambungan. Jaminan kepastian mutu produk yang dihasilkan industri tersebut menjadi hal penting yang harus dipertahankan dan ditingkatkan.
“Di sektor industri fesyen muslim, hingga saat ini, telah diterbitkan beberapa Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk lini produk tekstil yang digunakan untuk beribadah, yakni mukena (SNI 8856:2020), kain ihram (SNI 8767:2019), karpet (SNI 7116:2019), kerudung (SNI 8098:2017), kaus kaki (SNI 7131:2017),” paparnya.
Selain itu, telah diterbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 39 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal yang merupakan regulasi turunan dari Undang-Undang (UU) Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Dalam regulasi tersebut juga diamanatkan kewajiban sertifikasi halal Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) yang masuk dalam kategori Barang Gunaan (sandang, penutup kepala, dan aksesoris, perlengkapan peribadatan bagi umat islam) akan diberlakukan pada rentang 17 Oktober 2021 sampai 17 Oktober 2026.
Kepala BBT Cahyadi menyatakan kesiapan dan komitmen BBT dalam membantu para pemangku kepentingan dalam menyiapkan ekosistem halal dari rangkaian proses produksi sektor hulu ke hilir. “Kami membuka kolaborasi lintas stakeholder untuk bersama-sama menyempurnakan kajian penentuan titik kritis kontaminasi kandungan non-halal di industri TPT,” ujarnya.
Hal tersebut diharapkan dapat memberikan rekomendasi untuk Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama dalam melakukan proses penilaian kesesuaian untuk sektor Barang Gunaan khususnya tekstil dan produk tekstil.
“Selain mendukung program sertifikasi halal, BBT Bandung juga memiliki kompetensi penguatan Industri TPT melalui penerapan SNI, Sertifikasi Industri Hijau, Laboratorium Pengujian dan Kalibrasi terakreditasi, sertifikasi masker kain dan pengujian masker medis serta mampu memberikan layanan pengembangan Teknologi bagi Industri TPT nasional,” imbuhnya.
Baca juga: Menperin: IKM produk muslim RI berpeluang besar masuk pasar dunia
Baca juga: Rosie Rahmadi memaknai peristiwa dalam keheningan lewat "Serein"
Baca juga: Kebohongan putih di tangan Lisa Fitria
Industri fesyen muslim halal dinilai memiliki potensi besar dalam memacu perekonomian nasional. Apalagi, Indonesia memiliki peluang emas untuk menjadi produsen dan eksportir produk halal terbesar di dunia lantaran didukung dengan sumber daya yang dimiliki, termasuk dari daya saing sektor industrinya.
“Industri fesyen muslim memiliki potensi yang besar mengingat konsumsi fesyen muslim di Indonesia meningkat dari tahun ke tahun, dengan pertumbuhan rata-rata 3,2 persen per tahun. Pada tahun 2020, Indonesia berada di urutan kelima konsumen fesyen muslim dunia,” kata Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita dalam keterangannya pada Selasa.
Guna mencapai sasaran tersebut, Indonesia sudah punya Masterplan Ekonomi Syariah Indonesia 2019-2024. Salah satu strateginya adalah penguatan rantai nilai halal yang terdiri dari industri makanan dan minuman halal, industri pariwisata halal, industri fesyen muslim, industri media dan rekreasi halal, industri farmasi dan kosmetik halal serta industri energi terbarukan.
Baca juga: "Shades of Rotua" hingga "Odyssey" di MUFFEST 2021
Baca juga: Keindahan Sekar Jagad dalam rancangan busana
Di samping itu, Indonesia juga menjadi eksportir terbesar kelima di negara anggota OKI, dengan proporsi 9,3 persen. Nilai ini jika dilihat secara global baru berkisar 3,8 persen dari total pasar produk halal dunia. Oleh karenanya, perlu dioptimalkan lagi.
“Tidak hanya peluang pasar global yang diproyeksikan mencapai 1.84 miliar penduduk muslim di dunia pada tahun 2023, kebutuhan produk halal dalam negeri pun masih terbuka luas dengan populasi penduduk muslim 87,2 persen dari total penduduk Indonesia,” papar Menperin.
Dalam upaya mendukung proyeksi produk fesyen halal tersebut, tidak kurang dari 800 peserta dari berbagai kalangan seperti industri tekstil dan produk tesktil (TPT), asosiasi, Pemerintah Daerah, civitas akademisi, lembaga penguji, kementerian dan lembaga terkait, serta Pusat Kajian Halal berkumpul bersama secara virtua dalam acara TEXTalk yang mengangkat tema “Perspektif Halal dalam Tekstil dan Fashion”. Acara ini diinisiasi oleh Balai Besar Tekstil (BBT), satuan kerja di bawah Badan Standardisasi dan Kebijakan Jasa Industri (BSKJI) Kementerian Perindustrian (Kemenperin).
Kepala BSKJI Doddy Rahadi dalam sambutannya menyebutkan, kegiatan tersebut dilaksanakan seiring menyambut upaya pemulihan ekonomi nasional yang tengah menunjukkan perkembangan yang positif. Misalnya, tercemin dari capaian Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur Indonesia pada Mei 2021 yang berada pada nilai tertinggi sepanjang sejarah, yaitu pada angka 55,3.
Doddy menegaskan, pihaknya mendukung upaya peningkatan daya saing industri dalam negeri untuk menghasilkan produk yang berkualitas dan berkesinambungan. Jaminan kepastian mutu produk yang dihasilkan industri tersebut menjadi hal penting yang harus dipertahankan dan ditingkatkan.
“Di sektor industri fesyen muslim, hingga saat ini, telah diterbitkan beberapa Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk lini produk tekstil yang digunakan untuk beribadah, yakni mukena (SNI 8856:2020), kain ihram (SNI 8767:2019), karpet (SNI 7116:2019), kerudung (SNI 8098:2017), kaus kaki (SNI 7131:2017),” paparnya.
Selain itu, telah diterbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 39 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal yang merupakan regulasi turunan dari Undang-Undang (UU) Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Dalam regulasi tersebut juga diamanatkan kewajiban sertifikasi halal Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) yang masuk dalam kategori Barang Gunaan (sandang, penutup kepala, dan aksesoris, perlengkapan peribadatan bagi umat islam) akan diberlakukan pada rentang 17 Oktober 2021 sampai 17 Oktober 2026.
Kepala BBT Cahyadi menyatakan kesiapan dan komitmen BBT dalam membantu para pemangku kepentingan dalam menyiapkan ekosistem halal dari rangkaian proses produksi sektor hulu ke hilir. “Kami membuka kolaborasi lintas stakeholder untuk bersama-sama menyempurnakan kajian penentuan titik kritis kontaminasi kandungan non-halal di industri TPT,” ujarnya.
Hal tersebut diharapkan dapat memberikan rekomendasi untuk Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama dalam melakukan proses penilaian kesesuaian untuk sektor Barang Gunaan khususnya tekstil dan produk tekstil.
“Selain mendukung program sertifikasi halal, BBT Bandung juga memiliki kompetensi penguatan Industri TPT melalui penerapan SNI, Sertifikasi Industri Hijau, Laboratorium Pengujian dan Kalibrasi terakreditasi, sertifikasi masker kain dan pengujian masker medis serta mampu memberikan layanan pengembangan Teknologi bagi Industri TPT nasional,” imbuhnya.
Baca juga: Menperin: IKM produk muslim RI berpeluang besar masuk pasar dunia
Baca juga: Rosie Rahmadi memaknai peristiwa dalam keheningan lewat "Serein"
Baca juga: Kebohongan putih di tangan Lisa Fitria
Pewarta: Ida Nurcahyani
Editor: Maria Rosari Dwi Putri