Nunukan (ANTARA) - Masyarakat adat dari enam desa di Kecamatan Lumbis, Kabupaten Nunukan, Kaltara meminta DPRD membentuk panitia khusus (pansus), yakni menuntaskan permasalah lahan mereka yang digunakan perusahaan sawit.

"Guna menuntaskan masalah ini kami setuju bentuk Pansus," kata Ketua Komisi I DPRD Nunukan Andi Krilina di Nunukan, Kamis 

Ia menyatakan menyetujui usulan tersebut setelah mendengarkan paparan permasalahan yang terjadi antara kedua belah pihak.

Permasalahan itu melibatkan masyarakat adat di enam desa dengan PT. Bulungan Hijau Perkasa (BHP).

Sedangkan warga adat di enam desa itu menamakan dirinya Kelompok Patal.

Andi Krilina  menyatakan menyetujui usulan tersebut setelah mendengarkan paparan permasalahan yang terjadi antara kedua belah pihak.

"Kita akan langsung membahas pembentukan pansus secara internal setelah mendengarkan paparan masyarakat adat terkait keberadaan PT BHP di Kecamatan Lumbis," ujar dia saat rapat dengar pendapat (RDP) dengan masyarakat adat dari enam desa itu.

Komisi I DPRD Nunukan meminta kepada masyarakat adat agar bersedia memberikan data-data lengkap.

Hal itu  sebagai acuan saat turun ke lapangan melakukan monitoring. 

Begitu pula dengan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait di jajaran Pemkab Nunukan seperti Dinas Pertanian dan Kehutanan, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Bagian Ekonomi dan Dinas Perizinan.

Persetujuan pembentukan pansus juga diamini anggota DPRD Nunukan lainnya. 

Misalnya Gat Kaleb yang mengatakan sangat sepekat dibentuk pansus atas usulan masyarakat adat tersebut berdasarkan uraian dari berbagai permasalahan yang dialami dari ulah PT BHP.

"Saya sangat setuju apabila dibentuk pansus supaya bisa mendapatkan penjelasan yang terang benderang sekaitan dengan permasalahan masyarakat adat ini," ungkap dia.

Usulan dari perwakilan masyarakat adat Kecamatan Lumbis disampaikan oleh Darsono, salah satu kepala desa (kades) dari enam desa yang tergabung dalam Kelompok Patal yang menuntut hak-haknya terhadap perusahaan itu.

Darsono menjelaskan banyak hak-hak masyarakat adat yang tidak dipenuhi oleh perusahaan PT BHP di antaranya tidak adanya perkebunan plasma.

Padahal itu menjadi kewajiban bagi sebuah perusahaan minimal 20 persen dari total luas lahan yang dimiliki.

Selanjutnya, kewajiban pertanggungan jawaban sosial/coorporate social responsibility (CSR) yang dibayarkan kepada masyarakat melalui desa masing-masing tidak sesuai dengan ketentuan. 

PT BHP membayar CSR secara bergilir kepada enam desa tersebut dengan nilai hanya Rp200 juta setahun.

Padahal, sesuai ketentuan dalam perundang-undangan yang berlaku PT BHP seharusnya membayar CSR kepada keenam desa setiap tahunnya untuk mensejahterakan masyarakat setempat.

Lalu, PT BHP juga tidak mengakomodir tenaga kerja lokal. 

"Kalau ada yang mendaftar selalu dipsesulit," ungkap Darsono. 

Kemudian, lahan garapan PT BHP sudah masuk di kawasan hutan milik masyarakat adat.

Baca juga: DPRD Nunukan ingatkan arah kebijakan 2021-2024
Baca juga: Pansus DPRD Nunukan minta maksimal bantuan COVID-19
Baca juga: DPRD Nunukan minta pemda awasi pengiriman barang SOA ke Krayan

Pewarta : Rusman
Editor : Iskandar Zulkarnaen
Copyright © ANTARA 2024