Jakarta (ANTARA) - Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR Said Abdullah menyoroti dampak yang dapat muncul dari kebijakan larangan ekspor batu bara selama Januari 2022, baik bagi pemerintah maupun pelaku usaha.
"Akibat kebijakan pelarangan ekspor ini, kita tidak bisa menikmati berkah devisa. Padahal peluang devisa yang kita dapatkan dari ekspor batu bara 3 miliar dolar AS per bulan," kata Said dalam keterangan di Jakarta, Selasa.
Hal itu, lanjut Said, belum menghitung pendapatan pajak dan bukan pajak yang didapatkan oleh pemerintah. Padahal dari sisi fiskal pendapatan negara, penerimaan devisa hasil ekspor tersebut dibutuhkan pada 2022 untuk membenahi fiskal akibat terkoreksi oleh beban pembiayaan utang yang besar akibat pandemi COVID-19.
Selain itu, Said menilai pelarangan ekspor batu bara juga akan menjadi beban bagi para perusahaan perkapalan.
"Menurut hitungan para pelaku perkapalan, perusahaan akan terkena biaya tambahan penambahan waktu pemakaian atau demurrage yang cukup besar yaitu 20.000 dolar AS - 40.000 dolar AS per hari per kapal, yang akan membebani perusahaan-perusahaan pengekspor," kata Said.
Said menyampaikan, reputasi dan kehandalan Indonesia sebagai pemasok batu bara dunia pun akan dipertanyakan. Berbagai komitmen pembelian batu bara dari Indonesia akan dipertanyakan dan eksportir batu bara pasti akan kena penalti akibat kebijakan penghentian pengiriman.
"Alih alih menikmati berkah kenaikan batu bara, mereka malah kena getah penalti dari buyer di luar negeri," ujar Said.
Konsumsi batu bara PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) dan sejumlah produsen listrik swasta disadari memang naik pada 2021, sebab kegiatan sektor riil mulai meningkat seiring dengan stabilnya angka COVID-19 di Tanah Air.
Bila pada 2020 konsumsi batu bara PLN bisa di bawah 100 juta ton, dan pada 2021 meningkat manjadi 115,6 juta ton, PLN memperkirakan kebutuhan batu bara pada 2022 mencapai 119 juta ton.
"Pemerintah perlu memastikan ketersediaan cadangan batu bara nasional melalui sejumlah produsen batu bara besar. Langkah ini penting untuk memastikan kelangsungan suplai listrik nasional," kata Said.
Said berharap agar larangan kebijakan ekspor batu bara tidak berlangsung lama karena dinilai kurang baik bagi iklim usaha. Padahal, Presiden Joko Widodo rela melakukan banyak hal agar iklim usaha tumbuh subur.
"Kebijakan seperti ini kita minta tidak terulang lagi di masa mendatang," kata Said.
Baca juga: PLN dapat tambahan pasokan 3,2 juta ton batu bara untuk pembangkit
Baca juga: Kemenkeu sebut larangan ekspor batu bara tidak berdampak ke penerimaan
Baca juga: Presiden tegaskan perusahaan tambang wajib penuhi DMO batu bara
Baca juga: Anggota DPR minta pemerintah tinjau ulang pelarangan ekspor batu bara
"Akibat kebijakan pelarangan ekspor ini, kita tidak bisa menikmati berkah devisa. Padahal peluang devisa yang kita dapatkan dari ekspor batu bara 3 miliar dolar AS per bulan," kata Said dalam keterangan di Jakarta, Selasa.
Hal itu, lanjut Said, belum menghitung pendapatan pajak dan bukan pajak yang didapatkan oleh pemerintah. Padahal dari sisi fiskal pendapatan negara, penerimaan devisa hasil ekspor tersebut dibutuhkan pada 2022 untuk membenahi fiskal akibat terkoreksi oleh beban pembiayaan utang yang besar akibat pandemi COVID-19.
Selain itu, Said menilai pelarangan ekspor batu bara juga akan menjadi beban bagi para perusahaan perkapalan.
"Menurut hitungan para pelaku perkapalan, perusahaan akan terkena biaya tambahan penambahan waktu pemakaian atau demurrage yang cukup besar yaitu 20.000 dolar AS - 40.000 dolar AS per hari per kapal, yang akan membebani perusahaan-perusahaan pengekspor," kata Said.
Said menyampaikan, reputasi dan kehandalan Indonesia sebagai pemasok batu bara dunia pun akan dipertanyakan. Berbagai komitmen pembelian batu bara dari Indonesia akan dipertanyakan dan eksportir batu bara pasti akan kena penalti akibat kebijakan penghentian pengiriman.
"Alih alih menikmati berkah kenaikan batu bara, mereka malah kena getah penalti dari buyer di luar negeri," ujar Said.
Konsumsi batu bara PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) dan sejumlah produsen listrik swasta disadari memang naik pada 2021, sebab kegiatan sektor riil mulai meningkat seiring dengan stabilnya angka COVID-19 di Tanah Air.
Bila pada 2020 konsumsi batu bara PLN bisa di bawah 100 juta ton, dan pada 2021 meningkat manjadi 115,6 juta ton, PLN memperkirakan kebutuhan batu bara pada 2022 mencapai 119 juta ton.
"Pemerintah perlu memastikan ketersediaan cadangan batu bara nasional melalui sejumlah produsen batu bara besar. Langkah ini penting untuk memastikan kelangsungan suplai listrik nasional," kata Said.
Said berharap agar larangan kebijakan ekspor batu bara tidak berlangsung lama karena dinilai kurang baik bagi iklim usaha. Padahal, Presiden Joko Widodo rela melakukan banyak hal agar iklim usaha tumbuh subur.
"Kebijakan seperti ini kita minta tidak terulang lagi di masa mendatang," kata Said.
Baca juga: PLN dapat tambahan pasokan 3,2 juta ton batu bara untuk pembangkit
Baca juga: Kemenkeu sebut larangan ekspor batu bara tidak berdampak ke penerimaan
Baca juga: Presiden tegaskan perusahaan tambang wajib penuhi DMO batu bara
Baca juga: Anggota DPR minta pemerintah tinjau ulang pelarangan ekspor batu bara
Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Ahmad Buchori