Jakarta (ANTARA) - Masih terus terjadinya penangkapan kepala daerah dengan tuduhan korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), seharusnya menjadi perhatian serius pemerintah. Perlu diambil kebijakan konkret untuk mengatasi situasi ini.
“Dua hal penting menurut saya, yakni menetapkan gaji yang tinggi untuk kepala daerah, dan kebijakan larangan kepada parpol untuk ikut dalam pilkada, ketika kadernya yang kepala daerah tersangkut kasus korupsi,” kata Direktur Eksekutif Brand Politika Eko Satiya Hushada, Senin (17/1/2022).
Usulan ini diungkapkan Eko, terkait tertangkapnya Bupati Penajam Paser Utara (PPU) Abdul Gafur Mas’ud (AGM), dalam operasi tangkap tangan (OTT) di sebuah mall di Jakarta Selatan, Kamis (13/1/2022). AGM tertangkap bersama sejumlah pejabat PPU, bendahara DPD Demokrat Balikpapan dan orang dekatnya.
Eko mengaku miris dengan masih terus terjadinya penangkapan kepala daerah oleh KPK. Sebelumnya Bupati PPU AGM, Walikota Bekasi Rahmat Effendi juga ditangkap KPK dalam operasi tangkap tangan (OTT), pada Rabu (5/1/2022) lalu. “Kok nggak kapok, udah banyak kepada daerah yang tertangkap?! Ini kan harus diatasi, karena sudah kronis persoalannya,” tegas Eko.
Jika ditarik ke belakang, menurut direktur eksekutif lembaga survei dan konsultan politik ini, korupsi terjadi karena biaya pilkada memang tinggi. Sehingga ketika menjabat, dimanfaatkan untuk mencari peluang mengembalikan dana yang sudah dikeluarkan untuk pilkada.
“Biaya pilkada mahal ini juga harus jadi perhatian. Ini juga dosa parpol yang membebankan dana yang tidak sedikit kepada mereka yang perlu perahu parpol untuk bisa mencalonkan. Belum lagi biaya operasional hingga politik uang untuk belanja suara. Memang kronis persoalannya,” tegas Eko.
Untuk mencegah terjadinya korupsi oleh kepala daerah, Eko mengusulkan dua hal yang bisa dilakukan pemerintah. Pertama, yakni memberi gaji yang tinggi kepada gubernur, walikota dan bupati. Dengan gaji yang tinggi, diharapkan kepala daerah tidak lagi punya nafsu untuk korupsi. Namun jika tetap terjadi korupsi, maka beri hukuman yang tinggi pula.
“Beri gaji, misalnya Rp500 juta atau bahkan Rp1 miliar per bulan, bersih. Dituntut untuk fokus urus daerah, urus rakyat. Gaji sebesar itu lebih dari cukup. Jangan korupsi lagi. Kalau masih juga korupsi, beri hukuman yang tinggi juga, seumur hidup bahkan bisa hukuman mati,” ujar Eko.
Saat ini, menurut Eko, gaji kepala daerah tidak masuk akal. Ini diatur di dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2000, Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1980 Tentang Hak Keuangan/Administratif Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dan Bekas Kepala Daerah/Bekas Wakil Kepala Daerah Serta Janda/Dudanya Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1993.
Dalam PP tersebut diatur, gaji pokok gubernur adalah sebesar Rp3 juta. Sementara wakil gubernur sebesar Rp2,4 juta. Sedangkan Walikota/bupati sebesar 2,1 juta, dan wakilnya sebesar 1,8 juta.
Selain gaji pokok, kepala daerah juga menerima tunjangan jabatan. Untuk gubernur Rp5,4 juta, wagub Rp4,3 juta, walikota/bupati Rp3,7 juta dan wakilnya sebesar Rp3,2 juta. “Di luar gaji pokok dan tunjangan jabatan, ada lagi tunjangan operasional. Besarnya biaya penunjang operasional Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Provinsi ditetapkan berdasarkan klasifikasi Pendapatan Asli Daerah. Tapi ini bukan full untuk kepala daerah,” ujar Eko.
Sebagaimana diatur pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 tahun 2000 tentang kedudukan keuangan kepala daerah dan wakil kepala daerah disebutkan, biaya penunjang operasional dipergunakan untuk koordinasi, penanggulangan kerawanan sosial masyarakat, pengamanan dan kegiatan khusus lainnya guna mendukung pelaksanaan tugas Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Untuk gubernur dan wakilnya, masih menurut PP 109/2000, ditetapkan berdasarkan klasifikasi Pendapatan Asli Daerah (PAD), dengan rincian, PAD sampai dengan Rp15 miliar, maka tunjangan operasionalnya paling rendah Rp150 juta dan paling tinggi sebesar 1,75%;
Sementara jika PAD nya di atas Rp15 miliar hingga Rp50 miliar, maka tunjangan operasionalnya paling rendah rendah Rp262.5 juta dan paling tinggi sebesar 1%. Untuk PAD di atas Rp50 miliar sampai Rp100 miliar, maka tunjangan operasionalnya paling rendah Rp500 juta dan paling tinggi sebesar 0.75%;
Sementara PAD di atas Rp 100 miliar hingga Rp250 miliar, maka tunjangan operasionalnya paling rendah Rp750 juta dan paling tinggi sebesar 0,40%; Untuk PAD di atas Rp250 miliar hingga Rp500 miliar, tunjangan operasionalnya paling rendah Rp 1 miliar dan paling tinggi sebesar 0,25%; Terakhir, jika PAD nya di atas Rp500 miliar, maka tunjangan operasionalnya paling rendah Rp 1,25 miliar dan paling tinggi sebesar 0,15%.
Lantas, bagaimana aturan besaran tunjangan operasional untuk walikota/bupati dan wakilnya? Masih menurut PP 109/2000, jika PAD nya sampai dengan Rp 5 miliar, maka tunjangan operasionalnya paling rendah Rp125 juta dan paling tinggi sebesar 3%;
Sementara untuk PAD di atas Rp 5 miliar hingga Rp 10 miliar, tunjangan operasionalnya paling rendah Rp150 juta dan paling tinggi sebesar 2%; PAD di atas Rp10 miliar hingga Rp 20 miliar, maka tunjangan operasionalnya paling rendah Rp200 juta dan paling tinggi sebesar 1,50%;
Sedangkan PAD di atas Rp20 miliar hingga Rp50 miliar, tunjangan operasionalnya paling rendah Rp300 juta dan paling tinggi sebesar 0,80%. PAD di atas Rp50 miliar sampai Rp150 miliar, tunjangan operasionalnya paling rendah Rp400 juta dan paling tinggi sebesar 0,40%. Terakhir, PAD di atas Rp 150 miliar, maka tunjangan operasionalnya paling rendah Rp600 juta dan paling tinggi sebesar 0,15%.
Baca juga: Telaah - Ugensi berzakat melalui lembaga pengelola zakat
Baca juga: Catatan Hendry Ch Bangun - Wartawan tidak bisa menulis?
“Yang paling penting itu, besaran gaji. Tunjangan operasional itu bukan untuk kepala daerah, tapi digunakan untuk mendukung operasional kedinasan. Silahkan ada tunjangan ini itu. Wajar, sepanjang itu untuk mendukung jalannya organisasi,” ujar Eko.
Yang paling penting saat ini, menurut mantan Ketua Komisi Informasi Provinsi (KIP) Kaltim ini, yakni menaikkan gaji kepala daerah agar tidak lagi korupsi. “ Aneh kan, kepala daerah gajinya kecil sekali. Tujuannya apa coba? Beri gaji tinggi, tuntut tanggung jawab yang tinggi juga, urus daerah, urus rakyat, jangan korupsi. Kalau masih korupsi, tangkap, hukum setinggi-tingginya,” ujar Eko.
Selain soal gaji, Eko juga mengusulkan agar pemerintah membuat peraturan yang melarang parpol ikut pilkada, jika kadernya yang kepala daerah tersangkut kasus korupsi. Ini akan memberi efek jerah kepada parpol, agar benar-benar menciptakan pilkada yang berbiaya rendah, serta menjaga kadernya untuk tidak korupsi.
Usulan ini sebenarnya sudah pernah dimunculkan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Oktober 2021 lalu. Melalui Wakil Ketua Umum DPP PPP Arsul Sani, partai berlambang Ka’bah itu mengusulkan hukuman tegas untuk parpol yang kadernya tersangkut kasus korupsi. Hukuman atau sanksi bisa berupa larangan bagi partai politik untuk mengikuti pilkada dan pemilu legislatif DPRD setempat.
"Harus ada proses hukum yang tegas. Tidak hanya terhadap kader, tetapi partai politik dipinalti. Misalnya, kader di daerah itu buruk, maka dipinalti di daerah itu tidak boleh ikut pemilu atau pilkada," kata Arsul di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (21/10).
Menurutnya, sanksi juga bisa berlaku tegas jika korupsi dilakukan di level nasional. Partai terkait dilarang ikut dalam pemilu level nasional.
Namun, Arsul menyatakan proses hukum itu bisa diterapkan jika sudah ada pembenahan terkait sistem pendanaan partai politik. Menurut dia, sejauh ini, belum ada pembenahan dana parpol dari pemerintah.
Wacana kenaikan dana parpol sempat mencuat ketika Tjahjo Kumolo menjadi Menteri Dalam Negeri. Namun, sampai saat ini wacana tersebut tak kunjung terealisasi. (*)
(*Eko Satiya Hushada,
Direktur Eksekutif Brand Politika,)
Baca juga: Catatan Ilham Bintang - Sehari bersama Artis Lagendaris
Baca juga: Di balik Catatan Perjalanan Lima Benua: Granada Menangislah...
“Dua hal penting menurut saya, yakni menetapkan gaji yang tinggi untuk kepala daerah, dan kebijakan larangan kepada parpol untuk ikut dalam pilkada, ketika kadernya yang kepala daerah tersangkut kasus korupsi,” kata Direktur Eksekutif Brand Politika Eko Satiya Hushada, Senin (17/1/2022).
Usulan ini diungkapkan Eko, terkait tertangkapnya Bupati Penajam Paser Utara (PPU) Abdul Gafur Mas’ud (AGM), dalam operasi tangkap tangan (OTT) di sebuah mall di Jakarta Selatan, Kamis (13/1/2022). AGM tertangkap bersama sejumlah pejabat PPU, bendahara DPD Demokrat Balikpapan dan orang dekatnya.
Eko mengaku miris dengan masih terus terjadinya penangkapan kepala daerah oleh KPK. Sebelumnya Bupati PPU AGM, Walikota Bekasi Rahmat Effendi juga ditangkap KPK dalam operasi tangkap tangan (OTT), pada Rabu (5/1/2022) lalu. “Kok nggak kapok, udah banyak kepada daerah yang tertangkap?! Ini kan harus diatasi, karena sudah kronis persoalannya,” tegas Eko.
Jika ditarik ke belakang, menurut direktur eksekutif lembaga survei dan konsultan politik ini, korupsi terjadi karena biaya pilkada memang tinggi. Sehingga ketika menjabat, dimanfaatkan untuk mencari peluang mengembalikan dana yang sudah dikeluarkan untuk pilkada.
“Biaya pilkada mahal ini juga harus jadi perhatian. Ini juga dosa parpol yang membebankan dana yang tidak sedikit kepada mereka yang perlu perahu parpol untuk bisa mencalonkan. Belum lagi biaya operasional hingga politik uang untuk belanja suara. Memang kronis persoalannya,” tegas Eko.
Untuk mencegah terjadinya korupsi oleh kepala daerah, Eko mengusulkan dua hal yang bisa dilakukan pemerintah. Pertama, yakni memberi gaji yang tinggi kepada gubernur, walikota dan bupati. Dengan gaji yang tinggi, diharapkan kepala daerah tidak lagi punya nafsu untuk korupsi. Namun jika tetap terjadi korupsi, maka beri hukuman yang tinggi pula.
“Beri gaji, misalnya Rp500 juta atau bahkan Rp1 miliar per bulan, bersih. Dituntut untuk fokus urus daerah, urus rakyat. Gaji sebesar itu lebih dari cukup. Jangan korupsi lagi. Kalau masih juga korupsi, beri hukuman yang tinggi juga, seumur hidup bahkan bisa hukuman mati,” ujar Eko.
Saat ini, menurut Eko, gaji kepala daerah tidak masuk akal. Ini diatur di dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2000, Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1980 Tentang Hak Keuangan/Administratif Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dan Bekas Kepala Daerah/Bekas Wakil Kepala Daerah Serta Janda/Dudanya Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1993.
Dalam PP tersebut diatur, gaji pokok gubernur adalah sebesar Rp3 juta. Sementara wakil gubernur sebesar Rp2,4 juta. Sedangkan Walikota/bupati sebesar 2,1 juta, dan wakilnya sebesar 1,8 juta.
Selain gaji pokok, kepala daerah juga menerima tunjangan jabatan. Untuk gubernur Rp5,4 juta, wagub Rp4,3 juta, walikota/bupati Rp3,7 juta dan wakilnya sebesar Rp3,2 juta. “Di luar gaji pokok dan tunjangan jabatan, ada lagi tunjangan operasional. Besarnya biaya penunjang operasional Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Provinsi ditetapkan berdasarkan klasifikasi Pendapatan Asli Daerah. Tapi ini bukan full untuk kepala daerah,” ujar Eko.
Sebagaimana diatur pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 tahun 2000 tentang kedudukan keuangan kepala daerah dan wakil kepala daerah disebutkan, biaya penunjang operasional dipergunakan untuk koordinasi, penanggulangan kerawanan sosial masyarakat, pengamanan dan kegiatan khusus lainnya guna mendukung pelaksanaan tugas Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Untuk gubernur dan wakilnya, masih menurut PP 109/2000, ditetapkan berdasarkan klasifikasi Pendapatan Asli Daerah (PAD), dengan rincian, PAD sampai dengan Rp15 miliar, maka tunjangan operasionalnya paling rendah Rp150 juta dan paling tinggi sebesar 1,75%;
Sementara jika PAD nya di atas Rp15 miliar hingga Rp50 miliar, maka tunjangan operasionalnya paling rendah rendah Rp262.5 juta dan paling tinggi sebesar 1%. Untuk PAD di atas Rp50 miliar sampai Rp100 miliar, maka tunjangan operasionalnya paling rendah Rp500 juta dan paling tinggi sebesar 0.75%;
Sementara PAD di atas Rp 100 miliar hingga Rp250 miliar, maka tunjangan operasionalnya paling rendah Rp750 juta dan paling tinggi sebesar 0,40%; Untuk PAD di atas Rp250 miliar hingga Rp500 miliar, tunjangan operasionalnya paling rendah Rp 1 miliar dan paling tinggi sebesar 0,25%; Terakhir, jika PAD nya di atas Rp500 miliar, maka tunjangan operasionalnya paling rendah Rp 1,25 miliar dan paling tinggi sebesar 0,15%.
Lantas, bagaimana aturan besaran tunjangan operasional untuk walikota/bupati dan wakilnya? Masih menurut PP 109/2000, jika PAD nya sampai dengan Rp 5 miliar, maka tunjangan operasionalnya paling rendah Rp125 juta dan paling tinggi sebesar 3%;
Sementara untuk PAD di atas Rp 5 miliar hingga Rp 10 miliar, tunjangan operasionalnya paling rendah Rp150 juta dan paling tinggi sebesar 2%; PAD di atas Rp10 miliar hingga Rp 20 miliar, maka tunjangan operasionalnya paling rendah Rp200 juta dan paling tinggi sebesar 1,50%;
Sedangkan PAD di atas Rp20 miliar hingga Rp50 miliar, tunjangan operasionalnya paling rendah Rp300 juta dan paling tinggi sebesar 0,80%. PAD di atas Rp50 miliar sampai Rp150 miliar, tunjangan operasionalnya paling rendah Rp400 juta dan paling tinggi sebesar 0,40%. Terakhir, PAD di atas Rp 150 miliar, maka tunjangan operasionalnya paling rendah Rp600 juta dan paling tinggi sebesar 0,15%.
Baca juga: Telaah - Ugensi berzakat melalui lembaga pengelola zakat
Baca juga: Catatan Hendry Ch Bangun - Wartawan tidak bisa menulis?
“Yang paling penting itu, besaran gaji. Tunjangan operasional itu bukan untuk kepala daerah, tapi digunakan untuk mendukung operasional kedinasan. Silahkan ada tunjangan ini itu. Wajar, sepanjang itu untuk mendukung jalannya organisasi,” ujar Eko.
Yang paling penting saat ini, menurut mantan Ketua Komisi Informasi Provinsi (KIP) Kaltim ini, yakni menaikkan gaji kepala daerah agar tidak lagi korupsi. “ Aneh kan, kepala daerah gajinya kecil sekali. Tujuannya apa coba? Beri gaji tinggi, tuntut tanggung jawab yang tinggi juga, urus daerah, urus rakyat, jangan korupsi. Kalau masih korupsi, tangkap, hukum setinggi-tingginya,” ujar Eko.
Selain soal gaji, Eko juga mengusulkan agar pemerintah membuat peraturan yang melarang parpol ikut pilkada, jika kadernya yang kepala daerah tersangkut kasus korupsi. Ini akan memberi efek jerah kepada parpol, agar benar-benar menciptakan pilkada yang berbiaya rendah, serta menjaga kadernya untuk tidak korupsi.
Usulan ini sebenarnya sudah pernah dimunculkan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Oktober 2021 lalu. Melalui Wakil Ketua Umum DPP PPP Arsul Sani, partai berlambang Ka’bah itu mengusulkan hukuman tegas untuk parpol yang kadernya tersangkut kasus korupsi. Hukuman atau sanksi bisa berupa larangan bagi partai politik untuk mengikuti pilkada dan pemilu legislatif DPRD setempat.
"Harus ada proses hukum yang tegas. Tidak hanya terhadap kader, tetapi partai politik dipinalti. Misalnya, kader di daerah itu buruk, maka dipinalti di daerah itu tidak boleh ikut pemilu atau pilkada," kata Arsul di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (21/10).
Menurutnya, sanksi juga bisa berlaku tegas jika korupsi dilakukan di level nasional. Partai terkait dilarang ikut dalam pemilu level nasional.
Namun, Arsul menyatakan proses hukum itu bisa diterapkan jika sudah ada pembenahan terkait sistem pendanaan partai politik. Menurut dia, sejauh ini, belum ada pembenahan dana parpol dari pemerintah.
Wacana kenaikan dana parpol sempat mencuat ketika Tjahjo Kumolo menjadi Menteri Dalam Negeri. Namun, sampai saat ini wacana tersebut tak kunjung terealisasi. (*)
(*Eko Satiya Hushada,
Direktur Eksekutif Brand Politika,)
Baca juga: Catatan Ilham Bintang - Sehari bersama Artis Lagendaris
Baca juga: Di balik Catatan Perjalanan Lima Benua: Granada Menangislah...