New York (ANTARA) - Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menghadiri dan menyampaikan statement pada 13.20 (waktu New York), Kamis (08/09/2022) di Markas Besar PBB NY dalam acara "First United Nations Global Congress of Victims of Terrorism" yang diselenggarakan oleh United Nations Office of Counter-Terrorism (UNOCT).
Kepala BNPT Komjen Pol. Dr. Boy Rafli Amar, M.H dalam acara yang diselenggarakan oleh United Nations Office of Counter-Terrorism (UNOCT) atau Kantor PBB untuk Urusan Tangkal-Terorisme mengatakan bahwa Kongres ini dilaksanakan pada saat yang tepat.
Indonesia percaya bahwa tujuan Kongres ini, dalam memetakan jalan ke depan melalui pendekatan yang berpusat pada korban serta mempromosikan dan melindungi hak-hak korban, dan mendukung kebutuhan mereka.
Dalam kaitan ini, Pemerintah Indonesia sangat mendukung tema Kongres “Memajukan Hak dan Kebutuhan bagi Korban Terorisme”.
Bahwa melindungi korban dan menghormati hak dan kebutuhan mereka merupakan elemen penting dalam upaya Indonesia melawan terorisme. Hal ini berprinsip di bawah dua kerangka legislatif penting yaitu:
Undang-Undang Nomor 5 (lima) Tahun 2018 (dua ribu delapan belas) tentang Penanggulangan Terorisme; dan Peraturan Pemerintah Nomor 35 (tiga puluh lima) Tahun 2020 (dua ribu dua puluh) tentang Kompensasi, Restitusi, dan Pendampingan Saksi dan Korban.
Aturan yang pertama berfokus pada sarana untuk perlindungan korban terorisme, sedangkan yang kedua menyediakan sarana untuk dukungan dan bantuan kepada korban terorisme.
Tanggung jawab utama ada pada BNPT dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Dalam kurun waktu tahun 2002 sampai dengan tahun 2022 , Pemerintah telah mencatatkan lebih dari 900 korban, dimana lebih dari 700 telah menerima santunan. Ini hanya sebagian kecil dari dukungan yang diberikan oleh Pemerintah, terlepas dari bantuan dan dukungan lainnya.
Untuk tujuan ini, Pemerintah terus memberikan bantuan medis yang diperlukan kepada para korban; rehabilitasi psiko-sosial dan psikologis; dan bantuan kepada keluarga korban yang meninggal secara tragis. Ini adalah hak korban dan penyintas, kewajiban yang harus dipenuhi oleh Pemerintah.
Cara-cara dan program-program baru yang inovatif dapat diadopsi dalam memajukan hak-hak dan kebutuhan para korban. Indonesia telah mencatat adanya kemajuan pada dua program unggulan yang ingin dibagikan dalam Kongres ini, yaitu:
Pertama, Silaturahmi Kebangsaan (atau biasa disebut program rekonsiliasi nasional).
Sebuah program yang dirancang untuk memperkuat rekonsiliasi antara korban terorisme dan mantan pelaku teroris. Program ini memberikan hasil positif sebagai kekuatan untuk memaafkan.
Kedua, KTN (Kawasan Terpadu Nusantara), di mana mantan narapidana teroris, korban/penyintas, dan masyarakat setempat diberdayakan untuk mengembangkan komunitas, melalui tiga sektor penting, yaitu pendidikan; ekonomi; dan pariwisata.
Namun, program-program unggulan tersebut tidak bisa sepihak. Pemerintah tidak bisa bertindak sendiri. Penting, untuk memastikan bahwa sebelum dan selama implementasinya, pendekatan Pentahelix atau pendekatan multi-stakeholder diutamakan.
"Kesimpulannya, Negara bertanggung jawab dalam memajukan hak dan kebutuhan korban dan penyintas terorisme. Indonesia siap untuk itu.
Demikian materi yang kami sampaikan.," kata Komjen Boy Rafli Amar. (***)
Ini pernyataan Kepala BNPT di Markas Besar PBB terkait terorisme (Ist)
Baca juga: BNPT pastikan musik dan seni budaya bisa tekan potensi radikalisme
Baca juga: Boy Rafli: Pelestarian adat budaya efektif cegah terorisme
Baca juga: Pengenalan kehidupan Kampus UI, Boy Rafli membekali karakter kebangsaan bagi mahasiswa
Baca juga: Telaah - Ini vaksin BNPT melawan virus radikalisme
Baca juga: FKPT Kaltara libatkan pelajar cegah radikalisme melalui medsos
Baca juga: Perkembangan strategi penanggulangan terorisme dibahas BNPT-ASEAN
Kepala BNPT Komjen Pol. Dr. Boy Rafli Amar, M.H dalam acara yang diselenggarakan oleh United Nations Office of Counter-Terrorism (UNOCT) atau Kantor PBB untuk Urusan Tangkal-Terorisme mengatakan bahwa Kongres ini dilaksanakan pada saat yang tepat.
Indonesia percaya bahwa tujuan Kongres ini, dalam memetakan jalan ke depan melalui pendekatan yang berpusat pada korban serta mempromosikan dan melindungi hak-hak korban, dan mendukung kebutuhan mereka.
Dalam kaitan ini, Pemerintah Indonesia sangat mendukung tema Kongres “Memajukan Hak dan Kebutuhan bagi Korban Terorisme”.
Bahwa melindungi korban dan menghormati hak dan kebutuhan mereka merupakan elemen penting dalam upaya Indonesia melawan terorisme. Hal ini berprinsip di bawah dua kerangka legislatif penting yaitu:
Undang-Undang Nomor 5 (lima) Tahun 2018 (dua ribu delapan belas) tentang Penanggulangan Terorisme; dan Peraturan Pemerintah Nomor 35 (tiga puluh lima) Tahun 2020 (dua ribu dua puluh) tentang Kompensasi, Restitusi, dan Pendampingan Saksi dan Korban.
Aturan yang pertama berfokus pada sarana untuk perlindungan korban terorisme, sedangkan yang kedua menyediakan sarana untuk dukungan dan bantuan kepada korban terorisme.
Tanggung jawab utama ada pada BNPT dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Dalam kurun waktu tahun 2002 sampai dengan tahun 2022 , Pemerintah telah mencatatkan lebih dari 900 korban, dimana lebih dari 700 telah menerima santunan. Ini hanya sebagian kecil dari dukungan yang diberikan oleh Pemerintah, terlepas dari bantuan dan dukungan lainnya.
Untuk tujuan ini, Pemerintah terus memberikan bantuan medis yang diperlukan kepada para korban; rehabilitasi psiko-sosial dan psikologis; dan bantuan kepada keluarga korban yang meninggal secara tragis. Ini adalah hak korban dan penyintas, kewajiban yang harus dipenuhi oleh Pemerintah.
Cara-cara dan program-program baru yang inovatif dapat diadopsi dalam memajukan hak-hak dan kebutuhan para korban. Indonesia telah mencatat adanya kemajuan pada dua program unggulan yang ingin dibagikan dalam Kongres ini, yaitu:
Pertama, Silaturahmi Kebangsaan (atau biasa disebut program rekonsiliasi nasional).
Sebuah program yang dirancang untuk memperkuat rekonsiliasi antara korban terorisme dan mantan pelaku teroris. Program ini memberikan hasil positif sebagai kekuatan untuk memaafkan.
Kedua, KTN (Kawasan Terpadu Nusantara), di mana mantan narapidana teroris, korban/penyintas, dan masyarakat setempat diberdayakan untuk mengembangkan komunitas, melalui tiga sektor penting, yaitu pendidikan; ekonomi; dan pariwisata.
Namun, program-program unggulan tersebut tidak bisa sepihak. Pemerintah tidak bisa bertindak sendiri. Penting, untuk memastikan bahwa sebelum dan selama implementasinya, pendekatan Pentahelix atau pendekatan multi-stakeholder diutamakan.
"Kesimpulannya, Negara bertanggung jawab dalam memajukan hak dan kebutuhan korban dan penyintas terorisme. Indonesia siap untuk itu.
Demikian materi yang kami sampaikan.," kata Komjen Boy Rafli Amar. (***)
Baca juga: BNPT pastikan musik dan seni budaya bisa tekan potensi radikalisme
Baca juga: Boy Rafli: Pelestarian adat budaya efektif cegah terorisme
Baca juga: Pengenalan kehidupan Kampus UI, Boy Rafli membekali karakter kebangsaan bagi mahasiswa
Baca juga: Telaah - Ini vaksin BNPT melawan virus radikalisme
Baca juga: FKPT Kaltara libatkan pelajar cegah radikalisme melalui medsos
Baca juga: Perkembangan strategi penanggulangan terorisme dibahas BNPT-ASEAN