Bulungan (ANTARA) - Yayasan Pionir bersama World Wide Fund For Nature (WWF) juga mengeluarkan kertas posisi yang isinya mengenai evaluasi 10 tahun rencana pembangunan PLTA milik PT PT Kayan Hydro Energi (KHE) tersebut.
"Laporan tersebut memuat analisis dampak secara ekonomi, budaya, maupun lingkungan terhadap enam desa," kata Direktur Pionir Bulungan, Doni Tiaka di Bulungan, Selasa.
Pada Desember 2022 silam, Yayasan Pionir menggelar diskusi mengenai proyek pembangunan PLTA di Kecamatan Peso, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara oleh KHE.
Diskusi yang digelar di Tanjung Selor tersebut diikuti oleh masyarakat, mahasiswa, pemerintah daerah dan akademisi.
Poin penting dari diskusi itu adalah pembangunan pembangkit Energi Baru Terbarukan (EBT) yang jalan di tempat. Tak ada progress yang signifikan padahal masyarakat terdampak menanti kepastian.
Doni Tiaka mengatakan, proses pembangunan PLTA oleh PT KHE perlu memastikan dampaknya.
Secara umum, pembangunan itu semestinya dilakukan study Land Acquisition and Resetlement Action Plan (LARAP), yang merupakan rencana tindak penanganan dampak sosial ekonomi akibat pengadaan tanah dan pemukiman, termasuk rencana PLTA.
"Pihak investor harus memastikan studi LARAP itu sudah sesuai atau tidak. Utamanya terkait dengan rencana relokasi pemukiman desa di hulu bendungan I PLTA PT KHE, yakni Long Lejuh dan Long Pelban," kata Doni Tiaka.
Di sisi lain, masyarakat kemudian was-was karena tidak ada kejelasan sejak tahun 2012 soal nasib mereka.
Laporan itu juga memuat fakta mengenai masih banyak yang belum mengetahui soal rencana PT KHE dan rencana masa depan terkait kehidupan mereka.
Ada empat rekomendasi yang diberikan kertas posisi ini terkait evaluasi 10 tahun PLTA milik PT KHE ini.
Pada poin pertama membahas soal Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) yang dianggap sudah terlalu lama. Bahkan Amdal dibuat saat Kabupaten Bulungan masih menjadi bagian dari Provinsi Kalimantan Timur.
“Amdal PLTA (PT KHE) saat ini sudah memasuki umur 10 tahun, namun belum ada evaluasi," katanya
Kedua, kertas posisi ini mengharuskan meninjau ulang perizinan PT KHE. Rentang waktu yang lama, lebih dari satu dekade, tak ada progress yang berarti.
“Perlu adanya evaluasi kebijakan pemerintah pusat maupun daerah terkait kewenangan izin yang dipegang oleh investor. Progres semestinya bisa menjadi dasar izin yang dipegang investor bisa dicabut,” kata Doni Tiaka membaca tulis Kertas Posisi itu.
Ketiga, perlu dilakukan peninjauan ulang terhadap dampak sosial, ekonomi dan lingkungan dari rencana PLTA PT KHE. Hal ini sesuai temuan masalah yang dirumuskan dalam dokumen kertas posisi ini.
“Wajib melakukan study LARAP dan roadmap dengan acuan HASP, oleh pemegang izin atau investor,” katanya.
Keempat, Yayasan Pionir dan WWF menyoroti masalah keterbukaan informasi terkait seluruh dokumen perizinan.
Publik harus mudah mengakses dan mengetahui dokumen tersebut untuk mengetahui apa saja yang sudah dan belum dimiliki PT KHE.
Termasuk agenda pembangunan yang akan dilakukan sesuai tahapan seharusnya.
Doni menjelaskan, berbagai temuan persoalan itu perlu disikapi. Mengingat rencana PLTA sudah lebih dari 10 tahun.
Poin penting yang harus dilakukan investor, termasuk pemerintah, adalah review Amdal. Karena perjalanan waktu pasti berubah.
Diterbitkan pada 2014, Doni menilai sudah terlalu lama. Padahal mestinya 3 tahun sekali dilakukan review. Begitu pun perizinan, sebagai kebijakan yang harus dilakukan pemerintah.
Selain itu, juga menjadi atensi adalah keterbukaan informasi detail agenda PLTA, baik dampak negatif maupun positif.
Kemudian juga perlu dilakukan kajian terhadap dampak kerentanan terhadap perempuan dengan adanya PLTA.
"Pastinya untuk setiap proyek itu pasti ada evaluasinya. Apalagi sudah sampai 10 tahun seperti yang saat ini," katanya.
Dicabut dari PSN
Sementara itu, pasca dicabutnya status PT Kayan Hydro Energy (KHE) dari salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN), masyarakat mempertanyakan project yang tengah berjalan.
Diketahui, izin PT KHE yang lebih dari 10 tahun dianggap sia-sia lantaran tidak ada kejelasan pembangunan dan pembaruan Amdal.
Meski demikian, PT KHE mengklaim pihaknya masih dalam proses pembangunan dan akan selesai sesuai target.
Dony Tiaka menerangkan masyarakat mempertanyakan dampak dari pencabutan status PSN PT KHE.
“PSN sudah dicabut, terus dampaknya apa. Setelah dicabut ada banyak dampak lain seperti soal project berjalannya pakai apa,” kata Doni.
Sejak tahun 2014, lanjut dia, PT KHE memiliki kewajiban memperbarui Amdal. Pihaknya mempertanyakan beragam izin aktivitas yang harusnya terbuka, namun tidak diketahui oleh publik.
“Amdal yang ada tahun 2014, sampai kini tidak ada amdal baru. Pertanyaan dasar, mereka sudah mau konstruksi menurut pengakuan mereka ada puluhan izin kegiatan tersebut,” ujarnya.
Sementara itu, segala aktivitas konstruksi wajib menyertakan izin dan diketahui publik.
“Sederhana mau ngebom harus ada izin peledak dan lain-lain, project sebesar ini aneh kalau publik tidak tahu,” katanya.
Tidak hanya persoalan izin, Doni juga mempertanyakan peruntukan pembangunan PLTA PT KHE ini.
Menurutnya, salah satu alasan pembangunan PLTA raksasa itu dulunya untuk menyuplai listrik ke Ibu Kota Negara (IKN).
Namun pihaknya melihat, Pemerintah Pusat tengah membangun pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) berkapasitas 50 megawatt (MW) di IKN.
Saat ini, kondisi masyarakat di Peso Kaltara dalam posisi antara diuntungkan dan tidak. Sebab status secara project berjalan, tapi tidak jelas dan terkesan jalan di tempat.
"Laporan tersebut memuat analisis dampak secara ekonomi, budaya, maupun lingkungan terhadap enam desa," kata Direktur Pionir Bulungan, Doni Tiaka di Bulungan, Selasa.
Pada Desember 2022 silam, Yayasan Pionir menggelar diskusi mengenai proyek pembangunan PLTA di Kecamatan Peso, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara oleh KHE.
Diskusi yang digelar di Tanjung Selor tersebut diikuti oleh masyarakat, mahasiswa, pemerintah daerah dan akademisi.
Poin penting dari diskusi itu adalah pembangunan pembangkit Energi Baru Terbarukan (EBT) yang jalan di tempat. Tak ada progress yang signifikan padahal masyarakat terdampak menanti kepastian.
Doni Tiaka mengatakan, proses pembangunan PLTA oleh PT KHE perlu memastikan dampaknya.
Secara umum, pembangunan itu semestinya dilakukan study Land Acquisition and Resetlement Action Plan (LARAP), yang merupakan rencana tindak penanganan dampak sosial ekonomi akibat pengadaan tanah dan pemukiman, termasuk rencana PLTA.
"Pihak investor harus memastikan studi LARAP itu sudah sesuai atau tidak. Utamanya terkait dengan rencana relokasi pemukiman desa di hulu bendungan I PLTA PT KHE, yakni Long Lejuh dan Long Pelban," kata Doni Tiaka.
Di sisi lain, masyarakat kemudian was-was karena tidak ada kejelasan sejak tahun 2012 soal nasib mereka.
Laporan itu juga memuat fakta mengenai masih banyak yang belum mengetahui soal rencana PT KHE dan rencana masa depan terkait kehidupan mereka.
Ada empat rekomendasi yang diberikan kertas posisi ini terkait evaluasi 10 tahun PLTA milik PT KHE ini.
Pada poin pertama membahas soal Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) yang dianggap sudah terlalu lama. Bahkan Amdal dibuat saat Kabupaten Bulungan masih menjadi bagian dari Provinsi Kalimantan Timur.
“Amdal PLTA (PT KHE) saat ini sudah memasuki umur 10 tahun, namun belum ada evaluasi," katanya
Kedua, kertas posisi ini mengharuskan meninjau ulang perizinan PT KHE. Rentang waktu yang lama, lebih dari satu dekade, tak ada progress yang berarti.
“Perlu adanya evaluasi kebijakan pemerintah pusat maupun daerah terkait kewenangan izin yang dipegang oleh investor. Progres semestinya bisa menjadi dasar izin yang dipegang investor bisa dicabut,” kata Doni Tiaka membaca tulis Kertas Posisi itu.
Ketiga, perlu dilakukan peninjauan ulang terhadap dampak sosial, ekonomi dan lingkungan dari rencana PLTA PT KHE. Hal ini sesuai temuan masalah yang dirumuskan dalam dokumen kertas posisi ini.
“Wajib melakukan study LARAP dan roadmap dengan acuan HASP, oleh pemegang izin atau investor,” katanya.
Keempat, Yayasan Pionir dan WWF menyoroti masalah keterbukaan informasi terkait seluruh dokumen perizinan.
Publik harus mudah mengakses dan mengetahui dokumen tersebut untuk mengetahui apa saja yang sudah dan belum dimiliki PT KHE.
Termasuk agenda pembangunan yang akan dilakukan sesuai tahapan seharusnya.
Doni menjelaskan, berbagai temuan persoalan itu perlu disikapi. Mengingat rencana PLTA sudah lebih dari 10 tahun.
Poin penting yang harus dilakukan investor, termasuk pemerintah, adalah review Amdal. Karena perjalanan waktu pasti berubah.
Diterbitkan pada 2014, Doni menilai sudah terlalu lama. Padahal mestinya 3 tahun sekali dilakukan review. Begitu pun perizinan, sebagai kebijakan yang harus dilakukan pemerintah.
Selain itu, juga menjadi atensi adalah keterbukaan informasi detail agenda PLTA, baik dampak negatif maupun positif.
Kemudian juga perlu dilakukan kajian terhadap dampak kerentanan terhadap perempuan dengan adanya PLTA.
"Pastinya untuk setiap proyek itu pasti ada evaluasinya. Apalagi sudah sampai 10 tahun seperti yang saat ini," katanya.
Dicabut dari PSN
Sementara itu, pasca dicabutnya status PT Kayan Hydro Energy (KHE) dari salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN), masyarakat mempertanyakan project yang tengah berjalan.
Diketahui, izin PT KHE yang lebih dari 10 tahun dianggap sia-sia lantaran tidak ada kejelasan pembangunan dan pembaruan Amdal.
Meski demikian, PT KHE mengklaim pihaknya masih dalam proses pembangunan dan akan selesai sesuai target.
Dony Tiaka menerangkan masyarakat mempertanyakan dampak dari pencabutan status PSN PT KHE.
“PSN sudah dicabut, terus dampaknya apa. Setelah dicabut ada banyak dampak lain seperti soal project berjalannya pakai apa,” kata Doni.
Sejak tahun 2014, lanjut dia, PT KHE memiliki kewajiban memperbarui Amdal. Pihaknya mempertanyakan beragam izin aktivitas yang harusnya terbuka, namun tidak diketahui oleh publik.
“Amdal yang ada tahun 2014, sampai kini tidak ada amdal baru. Pertanyaan dasar, mereka sudah mau konstruksi menurut pengakuan mereka ada puluhan izin kegiatan tersebut,” ujarnya.
Sementara itu, segala aktivitas konstruksi wajib menyertakan izin dan diketahui publik.
“Sederhana mau ngebom harus ada izin peledak dan lain-lain, project sebesar ini aneh kalau publik tidak tahu,” katanya.
Tidak hanya persoalan izin, Doni juga mempertanyakan peruntukan pembangunan PLTA PT KHE ini.
Menurutnya, salah satu alasan pembangunan PLTA raksasa itu dulunya untuk menyuplai listrik ke Ibu Kota Negara (IKN).
Namun pihaknya melihat, Pemerintah Pusat tengah membangun pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) berkapasitas 50 megawatt (MW) di IKN.
Saat ini, kondisi masyarakat di Peso Kaltara dalam posisi antara diuntungkan dan tidak. Sebab status secara project berjalan, tapi tidak jelas dan terkesan jalan di tempat.