Jakarta (ANTARA) - ALHAMDULILLAH Sholat Ied telah terlaksana. Khotib dalam kutbahnya tadi, mengangkat soal perubahan setelah sebulan puasa Ramadhan. Menarik, khotib mengambil pemisalan ulat dan ular -- yang kemudian disebutnya puasa ulat dan puasa ular.
Ulat yang semula menjengkelkan karena memakan daun pohon-pohon hias, kemudian membungkus tubuhnya dalam kepompong. Perubahan pun terjadi, selama 12 hari berdiam diri, berpuasa, ulat menjadi kupu-kupu yang indah. Beda dengan ular, selama dua minggu bediam diri, berpuasa, ular berubah kulit. Namun tetap menjadi hewan menakutkan, memangsa apa saja.
Khotib menyebutkan, dua peristiwa tersebut merupakan Ayat Kauniyah -- pelajaran yang diberikan Allah melalui berbagai fenomena alam. "Setelah berpuasa, sebaiknya kita seperti ulat menjadi kupu-kupu, bukan seperti ular, setelah berpuasa perilaku sepeti semula, tidak berubah," kata Khotib.
(Catatan redaksi; Ayat Kauniyah, yaitu ayat-ayat dalam bentuk segala ciptaan Allah berupa alam semesta dan semua yang ada didalamnya. Ayat-ayat ini meliputi segala macam ciptaan Allah, baik itu yang kecil (mikrokosmos) ataupun yang besar (makrokosmos). Ayat kauniyah ini sering juga disebut dengan fenomena alam. Alquran bukan kitab ilmi pengetahuan tapi kian maju ilmu pengetahuan, kian membuktikan kebenarannya)
Baca juga: Catatan Asro Kamal Rokan - Hari ini, 16 Tahun Tsunami Aceh
Baca juga: Ibu Ani Yudhoyono di mata Asro
*****
SETELAH Sholat Ied, silaturahim dengan tetangga kompleks perumahan, pulang ke rumah, berdoa, menerima permohonan maaf anak-anak, dan makan lontong sate asam. Di saat itu, kami sengaja memutarkan rekaman takbir, yang sejak semalam sudah diputar. Suasana terasa haru.
Pagi ini, tidak hanya takbir. Melalui pemutar musik, saya memuta lagu-lagu Idul Fitri Ismail Marzuki, P Ramlee, Sharifah Aini, dan Amad Jais. Lagu-lagu ini mengantarkan saya pada kenangan masa kecil, tempat lahir, di kampung kami, Simpanng Dolok, Batubara, Sumatera Utara. Kampung kami sekitar 120 km dari Medan. Sudut mata terasa basah.
Di kampung masa itu, kami berkumpul. Semua kakak dan abang dari Medan, sudah datang dua hari sebelumnya. Mereka membawa semua anak-anaknya. Wajah Apak dan Omak cerah. Sore sehari sebelum Hari Raya, kesibukan sangat terasa, diiringin senda-gurau. Ada yang membuat lontong, lemang, dan berbagai makanan. Lagu-lagu Hari Raya terdengar dari Radio Malaysia (RTM).
Di halaman rumah, ada beberapa colok (obor horizontal dari bambu) dan meriam bambu yang saya nyalakan tadi malam. Pemasangan colok dan meriam bambu sudah sejak malam 27 -- yang kami sebut malam Tujuh Likur.
Subuh Hari Raya, setelah sholat subuh, kami makan bersama di atas tikar pandan. Selesai makan, Apak memimpin doa. Setelah itu, secara bergantian dan berurutan kami menyalami, mencium tangan, dan memeluk Apak dan Omak. Saya selalu yang terakhir sebagai anak bungsu. Tangis pecah.
Kami kemudian siap-siap ke Masjid, sekitar 300 m dari rumah. Bang Fadlan, Bang Muchyan (alm), dan saya mengenakan baju baru, sarung baru, dan selempang sorban. Kami beriringinan jalan, bersama Omak dan kakak-kakak. Apak terkadang pergi duluan karena menjadi imam sholat Ied. Di sepanjang jalan tanah berpasir, kami bersalaman dengan handai tolan yang bertemu.
Sering sekali, ketika membaca surah tertentu saat jadi Imam sholat, Apak sesenggukan, menangis. Konon, Apak terkenang ketika ayahnya, Tuan Guru Kedua Babussalam, Langkat, Syekh Yahya Affadi, menjadi imam sholat Ied.
Selesai sholat, tamu-tamu tidak berhenti berdatangan, sendiri-sendiri maupun rombongan. Mereka membawa kue-kue, antara lain kue bangkit, kembangloyang, halua, tape ketan, kue cincin, dan berbagai makanan. Karena setiap tahun seperti itu, Omak menyiapkan beberapa baskom dan memilah kue.
Saya masih SD saat itu. Apak memberi kami uang jajan, seringgit (dua rupiah 50 sen). Ini lebih dari cukup untuk makan mie rebus Bang Kotar dan sebotol limun orange crush atau Sarsaparila, yang popler saat itu.
Kini semua menjadi kenangan. Lagu P Ramlee berjudul Dendang Perantau, yang saya putar tadi, mengalun membawa saya ke masa yang tidak kembali. Air mata jatuh.
Begini sebagian liriknya:
//Di hari raya
Terkenang daku kepada si dia
Kampungku indah nun jauh di sana
Ayah serta bundaku
Di tepian mandi
Danauku hijau yang aman damai selalu
Nun di sanalah tempat aku bertemu
Aku dan dia
Apakan daya
Masa tak akan kembali
Hancur musnahlah semuanya
Impian yang murni
Tinggal menjadi kenang-kenanganku
Hanya rangkaian kata dan lagu
Dendang perantau//
Benar, kita adalah para perantau di dunia ini, sebelum kembali ke tempat yang abadi -- dari tiada kembali ke tiada.
Tadi, usai bedoa, saya pesan ke anak-anak dan menantu: Jaga hubungan keluarga, saling menyayangi. Tradisi minta maaf dan berdoa, harus dilanjutkan, turun temurun.
Dan, anak-anak memeluk kami, satu per satu ...
Jakarta, l Syawal 1442 H
*Asro Kamal Rokan, wartawan senior. Pemimpin Redaksi Republika (2003-2005), Pemimpin Umum LKBN Antara (2005-2007). Anggota Dewan Kehormatan PWI Pusat (2018-2023).
Baca juga: Menara Azadi, saksi bisu masa ke masa
Baca juga: Buku, Warisan Seorang Wartawan
Ulat yang semula menjengkelkan karena memakan daun pohon-pohon hias, kemudian membungkus tubuhnya dalam kepompong. Perubahan pun terjadi, selama 12 hari berdiam diri, berpuasa, ulat menjadi kupu-kupu yang indah. Beda dengan ular, selama dua minggu bediam diri, berpuasa, ular berubah kulit. Namun tetap menjadi hewan menakutkan, memangsa apa saja.
Khotib menyebutkan, dua peristiwa tersebut merupakan Ayat Kauniyah -- pelajaran yang diberikan Allah melalui berbagai fenomena alam. "Setelah berpuasa, sebaiknya kita seperti ulat menjadi kupu-kupu, bukan seperti ular, setelah berpuasa perilaku sepeti semula, tidak berubah," kata Khotib.
(Catatan redaksi; Ayat Kauniyah, yaitu ayat-ayat dalam bentuk segala ciptaan Allah berupa alam semesta dan semua yang ada didalamnya. Ayat-ayat ini meliputi segala macam ciptaan Allah, baik itu yang kecil (mikrokosmos) ataupun yang besar (makrokosmos). Ayat kauniyah ini sering juga disebut dengan fenomena alam. Alquran bukan kitab ilmi pengetahuan tapi kian maju ilmu pengetahuan, kian membuktikan kebenarannya)
Baca juga: Catatan Asro Kamal Rokan - Hari ini, 16 Tahun Tsunami Aceh
Baca juga: Ibu Ani Yudhoyono di mata Asro
*****
SETELAH Sholat Ied, silaturahim dengan tetangga kompleks perumahan, pulang ke rumah, berdoa, menerima permohonan maaf anak-anak, dan makan lontong sate asam. Di saat itu, kami sengaja memutarkan rekaman takbir, yang sejak semalam sudah diputar. Suasana terasa haru.
Pagi ini, tidak hanya takbir. Melalui pemutar musik, saya memuta lagu-lagu Idul Fitri Ismail Marzuki, P Ramlee, Sharifah Aini, dan Amad Jais. Lagu-lagu ini mengantarkan saya pada kenangan masa kecil, tempat lahir, di kampung kami, Simpanng Dolok, Batubara, Sumatera Utara. Kampung kami sekitar 120 km dari Medan. Sudut mata terasa basah.
Di kampung masa itu, kami berkumpul. Semua kakak dan abang dari Medan, sudah datang dua hari sebelumnya. Mereka membawa semua anak-anaknya. Wajah Apak dan Omak cerah. Sore sehari sebelum Hari Raya, kesibukan sangat terasa, diiringin senda-gurau. Ada yang membuat lontong, lemang, dan berbagai makanan. Lagu-lagu Hari Raya terdengar dari Radio Malaysia (RTM).
Di halaman rumah, ada beberapa colok (obor horizontal dari bambu) dan meriam bambu yang saya nyalakan tadi malam. Pemasangan colok dan meriam bambu sudah sejak malam 27 -- yang kami sebut malam Tujuh Likur.
Subuh Hari Raya, setelah sholat subuh, kami makan bersama di atas tikar pandan. Selesai makan, Apak memimpin doa. Setelah itu, secara bergantian dan berurutan kami menyalami, mencium tangan, dan memeluk Apak dan Omak. Saya selalu yang terakhir sebagai anak bungsu. Tangis pecah.
Kami kemudian siap-siap ke Masjid, sekitar 300 m dari rumah. Bang Fadlan, Bang Muchyan (alm), dan saya mengenakan baju baru, sarung baru, dan selempang sorban. Kami beriringinan jalan, bersama Omak dan kakak-kakak. Apak terkadang pergi duluan karena menjadi imam sholat Ied. Di sepanjang jalan tanah berpasir, kami bersalaman dengan handai tolan yang bertemu.
Sering sekali, ketika membaca surah tertentu saat jadi Imam sholat, Apak sesenggukan, menangis. Konon, Apak terkenang ketika ayahnya, Tuan Guru Kedua Babussalam, Langkat, Syekh Yahya Affadi, menjadi imam sholat Ied.
Selesai sholat, tamu-tamu tidak berhenti berdatangan, sendiri-sendiri maupun rombongan. Mereka membawa kue-kue, antara lain kue bangkit, kembangloyang, halua, tape ketan, kue cincin, dan berbagai makanan. Karena setiap tahun seperti itu, Omak menyiapkan beberapa baskom dan memilah kue.
Saya masih SD saat itu. Apak memberi kami uang jajan, seringgit (dua rupiah 50 sen). Ini lebih dari cukup untuk makan mie rebus Bang Kotar dan sebotol limun orange crush atau Sarsaparila, yang popler saat itu.
Kini semua menjadi kenangan. Lagu P Ramlee berjudul Dendang Perantau, yang saya putar tadi, mengalun membawa saya ke masa yang tidak kembali. Air mata jatuh.
Begini sebagian liriknya:
//Di hari raya
Terkenang daku kepada si dia
Kampungku indah nun jauh di sana
Ayah serta bundaku
Di tepian mandi
Danauku hijau yang aman damai selalu
Nun di sanalah tempat aku bertemu
Aku dan dia
Apakan daya
Masa tak akan kembali
Hancur musnahlah semuanya
Impian yang murni
Tinggal menjadi kenang-kenanganku
Hanya rangkaian kata dan lagu
Dendang perantau//
Benar, kita adalah para perantau di dunia ini, sebelum kembali ke tempat yang abadi -- dari tiada kembali ke tiada.
Tadi, usai bedoa, saya pesan ke anak-anak dan menantu: Jaga hubungan keluarga, saling menyayangi. Tradisi minta maaf dan berdoa, harus dilanjutkan, turun temurun.
Dan, anak-anak memeluk kami, satu per satu ...
Jakarta, l Syawal 1442 H
*Asro Kamal Rokan, wartawan senior. Pemimpin Redaksi Republika (2003-2005), Pemimpin Umum LKBN Antara (2005-2007). Anggota Dewan Kehormatan PWI Pusat (2018-2023).
Baca juga: Menara Azadi, saksi bisu masa ke masa
Baca juga: Buku, Warisan Seorang Wartawan