Catatan Asro Kamal Rokan - Merdeka setelah pesta teh

id Teh,Kopi,Asro

Catatan Asro Kamal Rokan - Merdeka setelah pesta teh

Catatan Asro Kamal Rokan - Merdeka setelah pesta teh (FB)

Jakarta (ANTARA) - BOSTON terasa nyaman. Pohon-pohon rindang berdaun hijau dan kuning menghiasi sisi jalan ibu kota negara bagian Massachusetts ini. Angin seakan tidak pernah berhenti bertiup. Lalu lintas tidak padat. Inilah salah satu kota yang nyaman di Amerika Serikat dan sekaligus menyimpan sejarah awal mula terbentuknya negara demokrasi: Amerika Serikat.

Kami tiba di Four Seasons Hotel di Boylston St, Boston, Minggu (21 Oktober 2012) siang. Di depan hotel, terbentang Boston Public Garden seluas 24 ha. Di taman botani pertama Amerika Serikat ini --- dibangun pada 1837 --- terdapat patung pendiri Amerika Serikat, George Washington mengendarai kuda. Patung ini dibuat pada 1869.

Bersama pengusaha Rachmat Gobel, mantan Menteri Perhubungan Jusman Safei Djamal, dan sejumlah wartawan senior, kami ke kota tua Boston. Inilah tempat bersejarah Amerika Serikat.

Kami memasuki plaza terbuka, terdapat bangunan tua, Quincy Market, Faneuli Market, North dan South Market. Pasar ini sudah ada sejak 1743.

Faneuil Hall Marketplace ini tempat bersantai, makan, dan berbelanja. Ada pemusik jalanan, tukang sulap, dan pengunjung duduk di bawah tenda. Pada 7 November 1979, Senator Edward M Kennedy menggumumkan pencalonannya sebagai presiden di sini. Presiden Barack Obama juga menggunakan di tempat ini menyampaikan undang-undang perawatan, 30 Oktober 2013.

Inilah pusat kota Boston. Berjalan sekitar lima hingga tujuh menit dari Faneuil Marketplace, terbentang laut ujung utara. Di dermaga ini, Pak Jusman, Bang Karni Ilyas, Timbo Siahaan, dan saya duduk memandang laut dan minum kopi, menyaksikan kota Boston yang mulai disinari lampu sore.

Tidak terlalu jauh, ada Museum of Fine Arts, Boston State House, dan Museum & Kapal Boston Tea Party. Sejarah terbentuknya Amerika Serikat bermula dari pelabuhan Boston ini --- yang populer disebut Boston Tea Party.

Baca juga: Cek fakta: benarkah teh sembuhkan COVID-19?
Baca juga: Catatan Hendro Basuki - Sensitivitas lidah penikmat kopi
Baca juga: Catatan Ilham Bintang -Secangkir kopi susu terakhir Remy Sylado




***


ORANG-orang Inggris sudah ada di Massachusetts sejak 1620. Mereka mendirikan koloni di Teluk Massachusetts pada 1630, bersama 12 koloni lain, termasuk New York, Pennsylvania, Maryland, dan yang paling awal Virginia pada 1607.

Dominasi orang-orang Inggris itu menimbulkan gejolak politik di Boston, pada 1773. Ini bermula dari monopoli penjualan teh. Awalnya, perusahaan Inggris, East India Company (EIC), hampir bangkrut karena persediaan teh mereka yang begitu banyak, tidak bisa dijual di Inggris.

Untuk membantu perusahaan ini, pemerintah Inggris (Britania Raya), menerbitkan Tea Act tahun 1773, memberi hak kepada EIC East mengekspor teh ke koloni Amerika, termasuk Boston, tanpa membayar pajak. Akibat keputusan itu, harga teh Inggris itu lebih murah daripada teh lokal, yang dikenakan pajak.

Tea Act dianggap tidak adil. Warga memboikot. Pada Kamis, 16 Desember 1773, kapal pembawa teh Inggris, The Dartmouth, Eleanor, dan Beaver, tiba di pelabuhan Boston. Pemerotes mengusir kapal-kapal tersebut kembali ke Inggris, namun ditolak. Ini memicu kemarahan warga Boston.

Gagal mengusir kapal-kapal pengangkut teh Inggris itu, malam hari ratusan pemerotes yang dipimpin Samuel Adam, menyamar sebagai Indian Mohawk. Mereka menuju Wharf Griffin, tempat kapal teh Inggris berlabuh. Begitu tiba di dalam kapal, mereka membuang 342 peti teh --- sekitar 45.000 kg --- ke laut. Peristiwa ini dikenal sebagai Boston Tea Party.

Peristiwa ini menimbulkan reaksi. Pemerintah Inggris menutup pelabuhan Boston. Tapi warga Boston terus melawan. Mereka membakar kapal kargo asal Maryland, Peggy Stewart. Warga Boston bahkan sepakat untuk tidak mengkonsumsi teh Inggris.

Sistuasi semakin menyulitkan Inggris. Menghadapi situasi tidak menentu itu, Inggris memberlakukan undang-undang, yang memperbolehkan aparat keamaan melakukan tindakan kekerasan. Parlemen Inggris juga mengeluarkan peraturan bahwa semua anggota dewan rakyat Massachussetts akan ditunjuk langsung oleh Raja Inggris, bukan berdasarkan pemilihan seperti sebelumnya.

Peraturan ini ditolak warga Boston dan mendapat dukungan dari negara-negara jajahan Inggris di Amerika. Pada 5 Desember 1774, negara-negara koloni mengadakan pertemuan besar — yang dikenal dengan nama Kongres Kontinental — menentang Inggris. Inggris bereaksi dengan kekuatan militer. Pertempuran pertama terjadi di Lexington, kemudian Boston.

Menghadapi kesulitan menghadapi negara-negara koloni itu, Inggris meminta bantuan Kanada, namun Kanada menolak. Bahkan Kanada ikut bertempur melawan Inggris karena mereka juga mengalami penindasan. Situasi ini menginspirasi George Washington membentuk pasukan melawan Inggris.

Pemikir politik, Thomas Paine, pada 10 Januari 1776 menulis pamflet tentang gagasan kemerdekaan, yang berjudul Common Sense. Tulisan setebal 48 halaman itu berisi gagasan kemerdekaan Amerika. Pamflet — yang disebarkan di warung-warung hingga ke tempat-tempat pertemuan— itu menyadarkan dan menginspirasi warga Amerika untuk bersama bangkit dan memperjuangkan kemerdekaan.

Empat bulan setelah itu, Kongres kedua Kontinental diselenggarakan. Para tokoh dan pemimpin negara-negara koloni melahirkan gagasan untuk mendeklarasikan kemerdekaan atas Inggris. Setelah itu, diadakan kongres Philadelphia, yang dihadiri wakil 13 daerah (negara bagian).

Kongres pada 4 Juli 1776 ini sepakat menanda tangani deklarasi “Declaration of Independence” yang telah disusun Thomas Jefferson. Hari itu dinyatakan sebagai Hari Kemerdekaan Amerika.

Kongres juga menyepakati Articles of Confederation, yang menyatakan pembentukan United States of America (USA). Isi artikel yang dideklarasikan itu, antara lain bahwa hak-hak tiap individu dalam memperoleh kebebasan adalah sama. Bahwa setiap orang memiliki hak asasi masing-masing yang patut diperjuangkan tanpa harus diinjak-injak satu sama lain.

Inggris akhirnya mengakui kemerdekaan Amerika Serikat pada 1783, tujuh tahun setelah deklarasi kemerdekaan. Enam tahun berikutnya, 1789, George Washington dipilih dengan suara bulat menjadi Presiden pertama Amerika.

Dalam pidatonya, Washington meminta rakyat Amerika meninggalkan kepentingan kepartaian dan kedaerahan yang berlebih-lebihan. Pada bagian lain, Washington mengatakan. “Jika kebebasan berbicara diambil, maka bodoh dan diam akan membawa kita seperti domba ke pembantaian.”

Malam merayap di Faneuil Hall Marketplace. Pengunjung masih ramai. Daun-daun berwarna kuning dan hijau bergoyang pelan ditiup angin laut. Bendera AS berukuran besar, melambai-lambai di pintu Quincy Market. Di kawasan ini, Amerika dimulai. Kami bergerak pulang ke hotel, setelah makan malam. (Dari buku Granada Menangislah .. )

Boston, Oktober ‎2012



*)AsroKamal Rokan adalah wartawan senior, pernah menjadi Pemimpin Redaksi Republika (2003-2005) dan Pemimpin Umum LKBN ANTARA (2005-2007)


Baca juga:Catatan Meidyatama Suryodiningrat - Keteguhan dan keberpihakan Indonesia di tengah kemunafikan "G19"
Baca juga: Catatan Asro Kamal Rokan - Hawana 2022, dari Melaka ke Jalan bersejarah
Baca juga:Catatan Ilham Bintang - Berselancar di Ruang Big Data Penduduk Indonesia