Tanjung Selor (ANTARA) - Di tengah berbagai upaya keras pemerintah mengatasi serangan gelombang ketiga COVID-19 akibat varian Delta, ada lagi ancaman bencana lain mengintai, yakni kabut asap dari kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
Berbeda dengan musibah gempa bumi baik tektonik ataupun vulkanik yang datangnya tiba-tiba, maka bencana kabut asap hakikatnya lebih mudah diprediksi karena rutin terjadi, yakni jika kemarau panjang.
Setiap musim kemarau, peladang dan perusahaan perkebunan seperti berlomba membuka lahan secara ekonomis (murah) dan efektif (menyuburkan tanah dengan abu) melalui sistem pembakaran.
Satu sisi, pembukaan lahan menguntungkan segelintir oknum pengusaha dan peladang. Di sisi lain, dampak karhutla menimbulkan kerugian sangat besar dari berbagai sektor.
Dari sektor ekologis, kebakaran hutan dan lahan sangat merusak ekosistem karena memulihkan hutan sekunder (hutan industri) diperkirakan butuh waktu 50 tahun, dan hutan primer (hutan alam) setidaknya butuh lebih 100 tahun.
Dari sektor ekonomi, juga bisa menyebabkan kerugian ratusan miliar hingga triliunan rupiah akibat terhambat kegiatan transportasi udara, darat, dan laut, termasuk nilai kerugian ekonomis kayu yang hangus terbakar.
Dari sektor kesehatan, bisa terbayangkan penderitaan rakyat dan beban pemerintah yang sedang berperang melawan COVID-19 juga harus berjuang menghadapi kualitas udara di atas ambang toleransi kesehatan jika terjadi bencana kabut asap.
Masalah lain, yakni protes negara tetangga terhadap ekspor bencana kabut asap akan mempertanyakan komitmen Indonesia dalam menjaga lingkungannya, termasuk peran pemerintah dalam "law enforcement" (penegakan hukum).
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi 58 persen wilayah Zona Musim (ZOM) Indonesia akan terlambat memasuki musim kemarau 2021.
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati dalam jumpa pers bertajuk "Prakiraan Musim Kemarau 2021 dan Langkah Antisipasi Dalam Menghadapi Potensi Kekeringan serta Kebakaran Hutan Lahan", Kamis (25/3), mengatakan beberapa daerah mengalami kemarau berbeda.
Kemarau diperkirakan mulai April, Mei, dan Juni dan puncaknya Agustus 2021.
Baca juga: Kalteng tetapkan status siaga darurat bencana karhutla
Bencana Karhutla diikuti bencana kabut asap di Indonesia berulang kali terjadi dalam beberapa dekade belakangan ini, meski tercatat terparah, antara lain pada 1982, 1992, dan 1998.
Diduga, akibat perubahan iklim serta kian rentan daya tahan hutan akibat terus diekploitasi, sejak 2000-an bencana karhutla rutin terjadi hampir setiap tahun saat kemarau.
Presiden Joko Widodo dalam pengarahannya terkait dengan karhutla di Istana Merdeka Jakarta, Februari 2020, mengancam mencopot pejabat TNI/Polri yang bertugas di suatu daerah jika wilayah kerjanya terjadi kasus karhutla yang terus membesar.
Presiden mengatakan pencopotan jabatan itu merupakan aturan main yang telah diterapkan dan disepakati sejak 2016 dan berlaku sampai saat ini.
Presiden prihatin karhutla setiap musim kemarau terus terjadi, bahkan pada 2015 ada 2,5 juta hektare lahan gambut dan hutan hangus terbakar di Sumatera Selatan, Jambi, Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan.
Anomali cuaca
Sesuai prediksi, sejak Juni, Juli, dan awal Agustus 2021, curah hujan mulai berkurang. Meskipun di beberapa daerah di Indonesia, termasuk Kaltara, terjadi anamoli cuaca karena ternyata hujan masih rutin terjadi.
Termasuk dalam rilis BMKG pada 7 Agustus 2021 menyebutkan beberapa wilayah di Sumatera, Jawa, dan Kalimantan berpotensi hujan lebat yang dapat disertai angin kencang dan petir.
Berdasarkan laporan prakiraan cuaca yang dikutip dari situs BMKG di Jakarta, Sabtu (7/8), sirkulasi siklonik terpantau di Samudera Hindia barat Sumatera yang membentuk daerah pertemuan angin atau konfluensi.
Daerah pertemuan dan perlambatan kecepatan angin atau konvergensi juga terpantau memanjang dari Bengkulu hingga Sumatera Barat, di pesisir selatan Jawa Tengah hingga Banten, di Kalimantan Timur hingga Kalimantan Utara, di Sulawesi Tenggara hingga Sulawesi Tengah dan di Papua.
Kondisi itu mampu meningkatkan potensi pertumbuhan awan hujan di sekitar wilayah sirkulasi siklonik dan sepanjang daerah konvergensi tersebut.
Baca juga: Guru Besar IPB: Penanganan karhutla perlu keterlibatan semua pihak
BMKG memprakirakan hujan lebat yang dapat disertai angin kencang dan petir terjadi di Aceh, Sumatera Barat, Riau, Bengkulu, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, Banten, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, Gorontalo, Sulawesi Tenggara, Maluku, dan Papua.
BMKG juga memperingatkan adanya risiko dampak dari hujan lebat seperti banjir dan bandang di beberapa daerah dengan Sulawesi Tengah, Papua Barat dan Papua masuk kategori waspada.
Bahkan, beberapa hari sebelumnya, terjadi tanah longsor di Tarakan akibat tingginya curah dan intensitas hujan pada 4 Agustus 2021.
Seorang remaja, Adi (18), menjadi korban tanah longsor di kediamannya di Jalan Cendana Gang Patroli I RT20, Kelurahan Sebengkok, Kecamatan Tarakan Tengah, pada Kamis subuh.
Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Tarakan Hanip Matiksan menyatakan korban jiwa satu orang atas nama Adi, anak Anwar, pemilik rumah korban tanah longsor.
Sejak Rabu (4/8) malam, hujan dengan intensitas tinggi turun di Tarakan. Sementara itu, beberapa titik di Tarakan merupakan daerah rawan longsor.
Dengan mengerahkan 18 personel pemadam kebakaran, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Tarakan enam orang, Basarnas empat orang, dan masyarakat berhasil mengevakuasi korban yang tertimbun.
Kepala BPBD Tarakan Ahmadi Burhan mengatakan bahwa pada Rabu (4/8) malam, hujan dengan intensitas tinggi sudah disampaikan dalam data BMKG. BPBD pun sudah meneruskan peringatan dini tersebut melalui grup WhatsApp kelurahan dan kecamatan.
Pihaknya sudah menyampaikan agar kelurahan dan kecamatan bisa meneruskan ke masing-masing RT, selanjutnya kepada warganya agar mengantisipasi tanah longsor, pohon tumbang, dan banjir.
Kesiapan Kaltara
Dari pengalaman panjang menghadapi ancaman bencana kabut asap akibat karhutla, ada dua hal yang harus dilakukan pemerintah. Pertama, memperkuat pencegahan dan kedua, penindakan tegas bagi pihak yang bertanggung jawab dalam kasus karhutla.
Dalam memperkuat pencegahan, Polda Kaltara saat ini mengaku siap mengantisipasi dini ancaman karhutla meskipun tidak termasuk enam provinsi prioritas penanganan rawan bencana saat kemarau yang puncaknya diprediksi Agustus 2021.
Baca juga: BMKG perkirakan Sumsel tetap alami hujan di musim kemarau
Sebelumnya, Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Argo Yuwono pada 6 Mei 2021 merilis bahwa ada enam daerah prioritas Polri untuk penanganan karhutla, yakni wilayah Polda Riau, Kalbar, Kaltim, Kalteng, dan juga Sumsel saat puncak kemarau Agustus 2021.
Kabid Humas Polda Kaltara Kombes Pol Budi Rachmat menyatakan meski Kaltara tidak termasuk enam daerah itu namun tetap waspada dan antisipasi dini, dengan dibentuk Satgas Karhutla Kaltara.
Tahap awal, Polda Kaltara mengambil langkah preventif menggencarkan sosialisasi larangan membuka lahan dengan pembakaran serta sanksi hukumannya sesuai peraturan antara lain UU Lingkungan Hidup dan UU Kehutanan.
Selain telah membentuk Satgas Karhutla, Polda Kaltara telah dilengkapi sarana teknologi canggih, salah satunya aplikasi "Asap Digital" yang mampu mendeteksi titik panas di wilayah Kaltara untuk penanganan awal ancaman karhutla.
Aplikasi ada di ruang "Command Center" Polda Kaltara dan dikelola oleh Biro Operasi Polda Kaltara.
Pembangunan fasilitas itu sebagai bentuk antisipasi Polda Kaltara dengan memanfaatkan dana pusat terhadap ancaman karhutla. Diharapkan dengan keberadaan fasilitas itu maka ancaman karhutla di Kaltara dapat diantisipasi dini.
Baca juga: Jelang buka ladang cegah karhutla, TNI siaga di Bengkayang-Kalbar
Pada 5 Agustus 2021, Kapolda Kaltara Irjen Pol Bambang Kristiyono dan Gubernur Kaltara Zainal A. Paliwang melakukan penandatanganan nota kesepahaman untuk memanfaatkan fasilitas canggih guna mengantisipasi dini karhutla.
Di sejumlah polda juga sudah melakukan berbagai kesiapan sebagai antisipasi jika terjadi karhutla seperti dilakukan Polda Kaltara.
Ancaman karhutla setiap tahun saat kemarau semakin tinggi karena terkait dengna semakin luas pembukaan lahan untuk berbagai aktivitas.
Sebenarnya, dari suprastruktur, peraturan menjerat pelaku karhutla sudah banyak, antara lain Undang-Undang (UU) No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), dan UU 39/2014 tentang Perkebunan.
Guna memperkuat bidang penindakan telah dilakukan penandatangan Surat Keputusan Bersama (SKB) Penegakan Hukum Terpadu Tindak Pidana Kebakaran Hutan dan/atau Lahan antara Polri, Kementerian Lingkungan Hidup, dan Kejaksaan di Jakarta, Kamis (6/5).
SKB ditandatangani oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya, Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit, dan Jaksa Agung Republik Indonesia S.T. Burhanuddin yang dihadiri Menkopolhukam Mahfud M.D.
SKB bertujuan agar ada koordinasi dan komunikasi lebih baik dalam penegakan hukum karhutla antara Polri dengan kejaksaan.
Setelah kepolisian melakukan penyelidikan dan penyidikan, Polri akan berkoordinasi dengan kejaksaan --terkait saksi ahli yang dilibatkan dan petunjuk yang lain-- guna menghindari bolak-balik berkas perkara.
Anomali cuaca --sehingga prediksi puncak kemarau pada Agustus 2021 alhamdulilah tidak terjadi-- akhirnya menghalau ancaman bencana kabut asap akibat karhurla di tengah pandemi.
Kalaupun terjadi kemarau, langkah antisipasi sudah berjalan, baik penguatan pencegahan maupun penindakan dengan adanya SKB tiga menteri itu.
Memang yang menjadi asa dan doa bangsa Indonesia tentunya di saat pandemi ini jangan lagi ada bencana lain.
Menghadapi serangan virus global ini saja sudah membuat bangsa Indonesia dan dunia babak belur apalagi jika ditambah adanya bencana kabut asap.
Semoga tidak. Amin!
Baca juga: Tiga hektare lahan di Aceh Tengah dilaporkan terbakar
Baca juga: Pemerintah antisipasi puncak karhutla dengan sinergi hujan buatan
Baca juga: Pemerintah tekankan komitmen penanggulangan karhutla kepada investor
Berbeda dengan musibah gempa bumi baik tektonik ataupun vulkanik yang datangnya tiba-tiba, maka bencana kabut asap hakikatnya lebih mudah diprediksi karena rutin terjadi, yakni jika kemarau panjang.
Setiap musim kemarau, peladang dan perusahaan perkebunan seperti berlomba membuka lahan secara ekonomis (murah) dan efektif (menyuburkan tanah dengan abu) melalui sistem pembakaran.
Satu sisi, pembukaan lahan menguntungkan segelintir oknum pengusaha dan peladang. Di sisi lain, dampak karhutla menimbulkan kerugian sangat besar dari berbagai sektor.
Dari sektor ekologis, kebakaran hutan dan lahan sangat merusak ekosistem karena memulihkan hutan sekunder (hutan industri) diperkirakan butuh waktu 50 tahun, dan hutan primer (hutan alam) setidaknya butuh lebih 100 tahun.
Dari sektor ekonomi, juga bisa menyebabkan kerugian ratusan miliar hingga triliunan rupiah akibat terhambat kegiatan transportasi udara, darat, dan laut, termasuk nilai kerugian ekonomis kayu yang hangus terbakar.
Dari sektor kesehatan, bisa terbayangkan penderitaan rakyat dan beban pemerintah yang sedang berperang melawan COVID-19 juga harus berjuang menghadapi kualitas udara di atas ambang toleransi kesehatan jika terjadi bencana kabut asap.
Masalah lain, yakni protes negara tetangga terhadap ekspor bencana kabut asap akan mempertanyakan komitmen Indonesia dalam menjaga lingkungannya, termasuk peran pemerintah dalam "law enforcement" (penegakan hukum).
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi 58 persen wilayah Zona Musim (ZOM) Indonesia akan terlambat memasuki musim kemarau 2021.
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati dalam jumpa pers bertajuk "Prakiraan Musim Kemarau 2021 dan Langkah Antisipasi Dalam Menghadapi Potensi Kekeringan serta Kebakaran Hutan Lahan", Kamis (25/3), mengatakan beberapa daerah mengalami kemarau berbeda.
Kemarau diperkirakan mulai April, Mei, dan Juni dan puncaknya Agustus 2021.
Baca juga: Kalteng tetapkan status siaga darurat bencana karhutla
Bencana Karhutla diikuti bencana kabut asap di Indonesia berulang kali terjadi dalam beberapa dekade belakangan ini, meski tercatat terparah, antara lain pada 1982, 1992, dan 1998.
Diduga, akibat perubahan iklim serta kian rentan daya tahan hutan akibat terus diekploitasi, sejak 2000-an bencana karhutla rutin terjadi hampir setiap tahun saat kemarau.
Presiden Joko Widodo dalam pengarahannya terkait dengan karhutla di Istana Merdeka Jakarta, Februari 2020, mengancam mencopot pejabat TNI/Polri yang bertugas di suatu daerah jika wilayah kerjanya terjadi kasus karhutla yang terus membesar.
Presiden mengatakan pencopotan jabatan itu merupakan aturan main yang telah diterapkan dan disepakati sejak 2016 dan berlaku sampai saat ini.
Presiden prihatin karhutla setiap musim kemarau terus terjadi, bahkan pada 2015 ada 2,5 juta hektare lahan gambut dan hutan hangus terbakar di Sumatera Selatan, Jambi, Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan.
Anomali cuaca
Sesuai prediksi, sejak Juni, Juli, dan awal Agustus 2021, curah hujan mulai berkurang. Meskipun di beberapa daerah di Indonesia, termasuk Kaltara, terjadi anamoli cuaca karena ternyata hujan masih rutin terjadi.
Termasuk dalam rilis BMKG pada 7 Agustus 2021 menyebutkan beberapa wilayah di Sumatera, Jawa, dan Kalimantan berpotensi hujan lebat yang dapat disertai angin kencang dan petir.
Berdasarkan laporan prakiraan cuaca yang dikutip dari situs BMKG di Jakarta, Sabtu (7/8), sirkulasi siklonik terpantau di Samudera Hindia barat Sumatera yang membentuk daerah pertemuan angin atau konfluensi.
Daerah pertemuan dan perlambatan kecepatan angin atau konvergensi juga terpantau memanjang dari Bengkulu hingga Sumatera Barat, di pesisir selatan Jawa Tengah hingga Banten, di Kalimantan Timur hingga Kalimantan Utara, di Sulawesi Tenggara hingga Sulawesi Tengah dan di Papua.
Kondisi itu mampu meningkatkan potensi pertumbuhan awan hujan di sekitar wilayah sirkulasi siklonik dan sepanjang daerah konvergensi tersebut.
Baca juga: Guru Besar IPB: Penanganan karhutla perlu keterlibatan semua pihak
BMKG memprakirakan hujan lebat yang dapat disertai angin kencang dan petir terjadi di Aceh, Sumatera Barat, Riau, Bengkulu, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, Banten, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, Gorontalo, Sulawesi Tenggara, Maluku, dan Papua.
BMKG juga memperingatkan adanya risiko dampak dari hujan lebat seperti banjir dan bandang di beberapa daerah dengan Sulawesi Tengah, Papua Barat dan Papua masuk kategori waspada.
Bahkan, beberapa hari sebelumnya, terjadi tanah longsor di Tarakan akibat tingginya curah dan intensitas hujan pada 4 Agustus 2021.
Seorang remaja, Adi (18), menjadi korban tanah longsor di kediamannya di Jalan Cendana Gang Patroli I RT20, Kelurahan Sebengkok, Kecamatan Tarakan Tengah, pada Kamis subuh.
Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Tarakan Hanip Matiksan menyatakan korban jiwa satu orang atas nama Adi, anak Anwar, pemilik rumah korban tanah longsor.
Sejak Rabu (4/8) malam, hujan dengan intensitas tinggi turun di Tarakan. Sementara itu, beberapa titik di Tarakan merupakan daerah rawan longsor.
Dengan mengerahkan 18 personel pemadam kebakaran, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Tarakan enam orang, Basarnas empat orang, dan masyarakat berhasil mengevakuasi korban yang tertimbun.
Kepala BPBD Tarakan Ahmadi Burhan mengatakan bahwa pada Rabu (4/8) malam, hujan dengan intensitas tinggi sudah disampaikan dalam data BMKG. BPBD pun sudah meneruskan peringatan dini tersebut melalui grup WhatsApp kelurahan dan kecamatan.
Pihaknya sudah menyampaikan agar kelurahan dan kecamatan bisa meneruskan ke masing-masing RT, selanjutnya kepada warganya agar mengantisipasi tanah longsor, pohon tumbang, dan banjir.
Kesiapan Kaltara
Dari pengalaman panjang menghadapi ancaman bencana kabut asap akibat karhutla, ada dua hal yang harus dilakukan pemerintah. Pertama, memperkuat pencegahan dan kedua, penindakan tegas bagi pihak yang bertanggung jawab dalam kasus karhutla.
Dalam memperkuat pencegahan, Polda Kaltara saat ini mengaku siap mengantisipasi dini ancaman karhutla meskipun tidak termasuk enam provinsi prioritas penanganan rawan bencana saat kemarau yang puncaknya diprediksi Agustus 2021.
Baca juga: BMKG perkirakan Sumsel tetap alami hujan di musim kemarau
Sebelumnya, Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Argo Yuwono pada 6 Mei 2021 merilis bahwa ada enam daerah prioritas Polri untuk penanganan karhutla, yakni wilayah Polda Riau, Kalbar, Kaltim, Kalteng, dan juga Sumsel saat puncak kemarau Agustus 2021.
Kabid Humas Polda Kaltara Kombes Pol Budi Rachmat menyatakan meski Kaltara tidak termasuk enam daerah itu namun tetap waspada dan antisipasi dini, dengan dibentuk Satgas Karhutla Kaltara.
Tahap awal, Polda Kaltara mengambil langkah preventif menggencarkan sosialisasi larangan membuka lahan dengan pembakaran serta sanksi hukumannya sesuai peraturan antara lain UU Lingkungan Hidup dan UU Kehutanan.
Selain telah membentuk Satgas Karhutla, Polda Kaltara telah dilengkapi sarana teknologi canggih, salah satunya aplikasi "Asap Digital" yang mampu mendeteksi titik panas di wilayah Kaltara untuk penanganan awal ancaman karhutla.
Aplikasi ada di ruang "Command Center" Polda Kaltara dan dikelola oleh Biro Operasi Polda Kaltara.
Pembangunan fasilitas itu sebagai bentuk antisipasi Polda Kaltara dengan memanfaatkan dana pusat terhadap ancaman karhutla. Diharapkan dengan keberadaan fasilitas itu maka ancaman karhutla di Kaltara dapat diantisipasi dini.
Baca juga: Jelang buka ladang cegah karhutla, TNI siaga di Bengkayang-Kalbar
Pada 5 Agustus 2021, Kapolda Kaltara Irjen Pol Bambang Kristiyono dan Gubernur Kaltara Zainal A. Paliwang melakukan penandatanganan nota kesepahaman untuk memanfaatkan fasilitas canggih guna mengantisipasi dini karhutla.
Di sejumlah polda juga sudah melakukan berbagai kesiapan sebagai antisipasi jika terjadi karhutla seperti dilakukan Polda Kaltara.
Ancaman karhutla setiap tahun saat kemarau semakin tinggi karena terkait dengna semakin luas pembukaan lahan untuk berbagai aktivitas.
Sebenarnya, dari suprastruktur, peraturan menjerat pelaku karhutla sudah banyak, antara lain Undang-Undang (UU) No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), dan UU 39/2014 tentang Perkebunan.
Guna memperkuat bidang penindakan telah dilakukan penandatangan Surat Keputusan Bersama (SKB) Penegakan Hukum Terpadu Tindak Pidana Kebakaran Hutan dan/atau Lahan antara Polri, Kementerian Lingkungan Hidup, dan Kejaksaan di Jakarta, Kamis (6/5).
SKB ditandatangani oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya, Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit, dan Jaksa Agung Republik Indonesia S.T. Burhanuddin yang dihadiri Menkopolhukam Mahfud M.D.
SKB bertujuan agar ada koordinasi dan komunikasi lebih baik dalam penegakan hukum karhutla antara Polri dengan kejaksaan.
Setelah kepolisian melakukan penyelidikan dan penyidikan, Polri akan berkoordinasi dengan kejaksaan --terkait saksi ahli yang dilibatkan dan petunjuk yang lain-- guna menghindari bolak-balik berkas perkara.
Anomali cuaca --sehingga prediksi puncak kemarau pada Agustus 2021 alhamdulilah tidak terjadi-- akhirnya menghalau ancaman bencana kabut asap akibat karhurla di tengah pandemi.
Kalaupun terjadi kemarau, langkah antisipasi sudah berjalan, baik penguatan pencegahan maupun penindakan dengan adanya SKB tiga menteri itu.
Memang yang menjadi asa dan doa bangsa Indonesia tentunya di saat pandemi ini jangan lagi ada bencana lain.
Menghadapi serangan virus global ini saja sudah membuat bangsa Indonesia dan dunia babak belur apalagi jika ditambah adanya bencana kabut asap.
Semoga tidak. Amin!
Baca juga: Tiga hektare lahan di Aceh Tengah dilaporkan terbakar
Baca juga: Pemerintah antisipasi puncak karhutla dengan sinergi hujan buatan
Baca juga: Pemerintah tekankan komitmen penanggulangan karhutla kepada investor