Jakarta (ANTARA) - TERKESAN sepele, tapi bagi saya ini pukulan terhadap kebodohan.Kisahnya begini. Pada 1984, saya koresponden Harian Merdeka Jakarta di Medan. Seperti biasa, saya mengirim berita ke Jakarta melalui kilat khusus. Biasanya, tiga atau empat hari kemudian berita dimuat.
Setiap hari, di atas pukul 12.00, saya ke toko Pak Munir di pojok Jalan Pandu, Medan. Toko ini khusus menjual koran-koran Jakarta. Saya tidak langsung membeli koran, melainkan membolak-baliknya untuk melihat apakah berita dimuat. Jika dimuat, saya akan beli dan mengklipingnya. Pak Munir paham siyasah saya itu. Hari ketujuh, berita tidak juga dimuat.
Pulang ke rumah kakak d Helvetia, saya menemukan surat dari Redaksi Harian Merdeka. Saya buka. Isinya, berita yang saya kirim pekan lalu dikembalikan dengan beberapa coretan. Ada selembar surat ketikan yang ditandatangani Pak Ahmad Midjan, redaktur pelaksana Harian Merdeka. Surat itu menjelaskan alasan beriita dikembalikan.
Alasannya, karena saya tidak menuliskan kepanjangan HPPI. ”Anda mungkin tahu HPPI, tapi bagaimana dengan pembaca?,” tulisnya.
Ya Allah, begitu sepele. Tidakkah Pak Midjan atau redaktur di surat kabar milik Pak BM Diah ini dapat membuat kepanjangan HPPI (Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia), daripada mengeluarkan ongkos prangko untuk mengembalikan beriita saya ke Medan? Apa sih susahnya?
Baca juga: Catatan Asro Kamal Rokan - Kesawan Medan, Zaman Kelam Perbudakan
Baca juga: Catatan Asro Kamal Rokan - Revolusi besar dari kota kecil Qom
Tapi begitulah. Pak Midjan dan redaktur Merdeka – harian berlogo merah dengan dua huruf “e” miring – mengajarkan para reporter menulis berita, terutama kepada reporter muda. Selain memenuhi kode etik, bahasa, dan struktur berita, juga memudahkan pembaca untuk memahami isi berita.
Pak Midjan menulis,”Sebagai wartawan, kita berkewajiban memberitahu pembaca melalui bahasa yang benar, bukan justeru membingungkan mereka. Bantu dan mudahkan pembaca”
Tidak ada alasan membalas surat yang baik ini. Mulai saat itu, setiap ada singkatan pada teras berita, saya menulisnya secara lengkap dalam kurung, selanjutnya cukup dengan singkatan. Sangat sederhana, sebenarnya, jika tujuannya memudahkan pembaca.
Sejak itu, berita-berita yang saya kirim ke redaksi, tidak pernah lagi dikembalikan. Beberapa tulisan yang saya kirim dengan gaya feature (berita khas) dimuat di kaki halaman depan. Satu di antaranya, yang saya ingat berjudul “Kondom Berserakan di Tapian Daya Medan.
Pada minggu pertama awal bulan, saya ke kantor pos mengambil honor yang dikirim melalui cek pos berwarna kuning. Malamnya, makan nasi goreng Aceh dan kopi telor di Pasar Peringgan, Medan. Terasa nikmat dapat memudahkan ..
Kendari, 09 Februari 2022.
*) Asro Kamal Rokan adalah wartawan senior, pernah menjadi Pemimpin Redaksi Republika (2003-2005) dan Pemimpin Umum LKBN ANTARA (2005-2007) Oleh Asro Kamal Rokan *)
Baca juga: Wartawan Indonesia-Malaysia doa bersama bagi kesembuhan Mahathir Mohammad
Baca juga: Di balik Catatan Perjalanan Lima Benua: Granada Menangislah...
Setiap hari, di atas pukul 12.00, saya ke toko Pak Munir di pojok Jalan Pandu, Medan. Toko ini khusus menjual koran-koran Jakarta. Saya tidak langsung membeli koran, melainkan membolak-baliknya untuk melihat apakah berita dimuat. Jika dimuat, saya akan beli dan mengklipingnya. Pak Munir paham siyasah saya itu. Hari ketujuh, berita tidak juga dimuat.
Pulang ke rumah kakak d Helvetia, saya menemukan surat dari Redaksi Harian Merdeka. Saya buka. Isinya, berita yang saya kirim pekan lalu dikembalikan dengan beberapa coretan. Ada selembar surat ketikan yang ditandatangani Pak Ahmad Midjan, redaktur pelaksana Harian Merdeka. Surat itu menjelaskan alasan beriita dikembalikan.
Alasannya, karena saya tidak menuliskan kepanjangan HPPI. ”Anda mungkin tahu HPPI, tapi bagaimana dengan pembaca?,” tulisnya.
Ya Allah, begitu sepele. Tidakkah Pak Midjan atau redaktur di surat kabar milik Pak BM Diah ini dapat membuat kepanjangan HPPI (Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia), daripada mengeluarkan ongkos prangko untuk mengembalikan beriita saya ke Medan? Apa sih susahnya?
Baca juga: Catatan Asro Kamal Rokan - Kesawan Medan, Zaman Kelam Perbudakan
Baca juga: Catatan Asro Kamal Rokan - Revolusi besar dari kota kecil Qom
Tapi begitulah. Pak Midjan dan redaktur Merdeka – harian berlogo merah dengan dua huruf “e” miring – mengajarkan para reporter menulis berita, terutama kepada reporter muda. Selain memenuhi kode etik, bahasa, dan struktur berita, juga memudahkan pembaca untuk memahami isi berita.
Pak Midjan menulis,”Sebagai wartawan, kita berkewajiban memberitahu pembaca melalui bahasa yang benar, bukan justeru membingungkan mereka. Bantu dan mudahkan pembaca”
Tidak ada alasan membalas surat yang baik ini. Mulai saat itu, setiap ada singkatan pada teras berita, saya menulisnya secara lengkap dalam kurung, selanjutnya cukup dengan singkatan. Sangat sederhana, sebenarnya, jika tujuannya memudahkan pembaca.
Sejak itu, berita-berita yang saya kirim ke redaksi, tidak pernah lagi dikembalikan. Beberapa tulisan yang saya kirim dengan gaya feature (berita khas) dimuat di kaki halaman depan. Satu di antaranya, yang saya ingat berjudul “Kondom Berserakan di Tapian Daya Medan.
Pada minggu pertama awal bulan, saya ke kantor pos mengambil honor yang dikirim melalui cek pos berwarna kuning. Malamnya, makan nasi goreng Aceh dan kopi telor di Pasar Peringgan, Medan. Terasa nikmat dapat memudahkan ..
Kendari, 09 Februari 2022.
*) Asro Kamal Rokan adalah wartawan senior, pernah menjadi Pemimpin Redaksi Republika (2003-2005) dan Pemimpin Umum LKBN ANTARA (2005-2007) Oleh Asro Kamal Rokan *)
Baca juga: Wartawan Indonesia-Malaysia doa bersama bagi kesembuhan Mahathir Mohammad
Baca juga: Di balik Catatan Perjalanan Lima Benua: Granada Menangislah...