Jakarta (ANTARA) - Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un, telah pulang sahabat baik, Agus Salim Suhana, Ahad (24/07/22) malam. Pagi tadi, saya terlambat beberapa menit. Jenazah mantan Pemimpin Redaksi Harian Merdeka itu telah dibawa dari rumahnya di Bekasi ke Garut, kampung kelahirannya, untuk dimakamkan.
Agus wafat dalam usia 72 tahun. Pada 2017, Agus mengalami stroke. Sejak itu pula aktifitasnya sebagai wartawan, pelan-pelan surut. Dua hari lalu, di WhatsApp Group (WAG) mantan wartawan Harian Merdeka, muncul kabar bahwa Agus hilang kesadaran (koma). Segera saja doa-doa memenuhi WAG.
Bagi wartawan senior yang bertugas di Istana Negara pada 1980-an, tentu mengenal Agus, yang berpenampilan necis, berdasi, berkacamata, dan mudah senyum. Hingga 2017, Agus masih bertugas di Istana sebagai wartawan Bloomberg, AS. Sebelumnya, Agus wartawan Nikkei Shimbun Jepang – meneruskan karier wartawannya setelah tidak lagi sebagai Pemimpin Redaksi Harian Merdeka (1993-1994).
Saya mengenal Agus pada 1986, ketika saya bergabung di Harian Merdeka dari Medan ke kantor pusat di Jakarta. Di koran Pak BM Diah (alm) itu, Agus sudah bertugas di Istana, bersama Pak Ahmad Adirsyah (alm), dan Pak Karim Paputungan. Setiap sore Agus datang ke kantor Jl AM Sangaji, Jakarta Pusat, membawa beberapa lembaran berita yang sudah diketik dan ikut dalam rapat redaksi sore.
Saat itu Orde Baru berkuasa. Pers tidak bebas. Desas-desus politik seputar Presiden Soeharto, tidak dapat dikonfirmasi untuk diberitakan. Begitu juga tentang perilaku sejumlah menteri, perbedaan tajam dalam kabinet, dan intrik politik. Agus selalu memberi info kepada kami dalam rapat redaksi setiap sore, termasuk ada menteri yang tidak lagi diundang rapat lengkap kabinet. Ini ditafsirkan, Pak Harto sedang marah dengan menteri tersebut.
Jika Agus datang ke kantor lebih cepat, kami sering menebak. Pak Harto sedang menerima Menristek BJ Habibie. Biasanya, pertemuan dapat berlangsung lebih tiga jam. Melelahkan wartawan, yang sejak pagi sudah meliput di Istana. Berita yang diperoleh pun, tidak jauh dari teknologi, meski wartawan menduga pembahasan makan waktu lama tersebut tentang politik.
Suasana politik menghangat setelah Ikatan Cendekiawan Muslim se Indonesia (ICMI) berdiri, akhir 1990. Terjadi pro-kontra. Pihak pro menyambut sikap Pak Harto yang lebih dekat dengan kekuatan Islam, setelah berbagai peristiwa -- sejak Orde Baru berdiri -- dinilai merugikan umat Islam, di antaranya Tragedi Tanjung Priok, Komando Jihad, asas tunggal, UU Perkawinan, pelarangan siswi berjilbab. Sebaliknya, kalangan yang kontra menilai perubahan sikap politik Pak Harto tersebut sebagai menguatnya politik aliran dan sektarian.
Habibie juga dipercaya Pak Harto sebagai sipil pertama menjabat Wakil Koordinator Harian Pembina Golkar pada 1992, dan setahun kemudian menjabat Koordinator Harian Golkar. Ini ditafsirkan para analisis politik bahwa Pak Harto mempersiapkan Habibie sebagai penggantinya. Kritik pada Habibie semakin keras ketika di parlemen, Golkar diisi cendekiawan Muslim. Pengkritik menyebutnya “Ijo loyo-loyo” plesetan “Ijo Royo-royo.”
Pak Habibie juga ditugaskan merancang Pembangunan Jangka Panjang Tahap II, yang menekankan pada pembangunan sumber daya manusia dan teknologi. PJPT I, 25 tahun sebelumnya, dirancang para ekonom, di antaranya Widjojo Nitisastro.
Pada 1 Oktober 1993, manajemen Harian Merdeka mengubah komposisi di redaksi. Pak Kosasih Kamil (alm) ditunjuk sebagai Pemimpin Umum, Agus Salim Suhana sebagai Pemimpin Redaksi, saya Wakil Pemimpin Redaksi, Neta’s pane (Redpel), dan Triyono Wahyudi (wakil Redpel).
Konstelasi politik nasional membawa pengaruh juga ke surat kabar berlogo merah ini. Tidak sampai setahun, tepatnya 1 April 1994, kami berlima “dibebaskan dari tugas dan jabatan” – kata lain dari diberhentikan. Alasan dari surat nomor 06/PU/MP/III/94 adalah “Untuk menjaga eksistensi Skh Merdeka ..” Tidak jelas maksudnya, meski kami dapat menduga arahnya. Sejumlah redaktur dan reporter memilih keluar.
Pak BM Diah saat itu sudah tidak begitu aktif di surat kabar yang didirikannya bersama Pak Rosihan Anwar ini. Posisinya saat itu sebagai presiden komisaris.
Baca juga: Catatan Asro Kamal Rokan - Kabar Duka dari Malaysia: Pergilah Sahabat ...
Baca juga: Catatan Meidyatama Suryodiningrat - Keteguhan dan keberpihakan Indonesia di tengah kemunafikan "G19"
****
SETELAH pembehentian, kami terus menjalin silaturahim. Pak Kosasih Kamil memilih untuk istrahat sebagai wartawan. Agus Salim Suhana tetap di Istana sebagai wartawan Nikkei Shimbun Jepang, Neta’spane begabung ke Harian Terbit. Hingga akhir hayatnya sebagai Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW). Sedangkan Triyono Wahyudi ke Harian Berita Buana. Beberapa redaktur lain ada yang tetap di media, ada pula yang berniaga. Hidup terus berjalan.
Sekitar empat bulan menganggur dan dera cacar air, saya kemudian bergabung ke Republika, dua tahun setelah surat kabar ini terbit. Pada 2003, di bawah manajemen Erick Thohir, saya menjabat Pemimpin Redaksi.
Silaturahim antarkami terus berjalan baik. Neta’spane dan Syahdanur berinisiatif mengadakan reuni, mengundang seluruh mantan wartawan Merdeka. Ketika reuni di Wisma Antara pada 17 Oktober 2005 – saat itu saya Pemimpin Umum LKBN Antara – reuni ini dihadiri Ibu Herawati Diah, Pak Rosihan Anwar, Pak Soepeno Sumardjo, dan sejumlah koresponden daerah. Neta’spane dan Syahdanur juga menerbitkan buku “Aku Wartawan Merdeka.”
Reuni kedua, 2016, berlangsung di Rumah Makan Teh Yoyoh di di Situgintung, Ciputat. Restoran ini milik mantan redaktur Merdeka, Anang Ainal Yaqin. Hadir Ibu Herawati Diah, Pak Harmoko (mantan wartawan Merdeka), Sofyan Lubis (mantan Ketua Umum PWI Pusat, juga pernah di Merdeka), Tarman Azzam (mantan Ketua Umum PWI Pusat), dan sejumlah mantan wartawan Merdeka lainnya. Inilah terakhir sekali Agus Salim Suhana hadir, setahun kemudian Agus sakit.
Meski mengalami berbagai peristiwa, kami bangga pernah sebagai wartawan Merdeka – yang kami sebut sebagai universitas wartawan. Tahun lalu, Neta;spane, Syahdanur, Pak Tribuana Said (mantan Pemimpin Redaksi Merdeka), dan sejumlah sahabat, menerbitkan buku tebal berjudul “Wartawan Bersuara Merdeka – Berfikir Merdeka, Bersuara Merdeka, Hak Manusia Merdeka”.
Agus Salim Suhana telah pergi selamanya. Semoga Allah melapangkan jalannya menuju jannatun naim. Ketika tadi malam mendengar kabar duka tersebut, saya merenung betapa setiap orang pada akhirnya pergi. Dan, empat dari lima orang yang diberhentikan secara bersamaan – Pak Kosasih Kamil, Triyono Wahyudi, Neta’spane, dan Agus Salim Suhana – telah pergi lebih dahulu. Satu menyusul lainnya. Tinggal saya menunggu waktu tiba.
Jakarta, 25 Juli 2022.
*) Asro Kamal Rokan adalah wartawan senior, pernah menjadi Pemimpin Redaksi Republika (2003-2005) dan Pemimpin Umum LKBN ANTARA (2005-2007)
Baca juga: Catatan Meidyatama Suryodiningrat - Nada sendu pendulang mimpi di Hari Musik Nasional
Baca juga: Catatan Ilham Bintang -Tiada Lagi Mas Tjahjo Kumolo
Agus wafat dalam usia 72 tahun. Pada 2017, Agus mengalami stroke. Sejak itu pula aktifitasnya sebagai wartawan, pelan-pelan surut. Dua hari lalu, di WhatsApp Group (WAG) mantan wartawan Harian Merdeka, muncul kabar bahwa Agus hilang kesadaran (koma). Segera saja doa-doa memenuhi WAG.
Bagi wartawan senior yang bertugas di Istana Negara pada 1980-an, tentu mengenal Agus, yang berpenampilan necis, berdasi, berkacamata, dan mudah senyum. Hingga 2017, Agus masih bertugas di Istana sebagai wartawan Bloomberg, AS. Sebelumnya, Agus wartawan Nikkei Shimbun Jepang – meneruskan karier wartawannya setelah tidak lagi sebagai Pemimpin Redaksi Harian Merdeka (1993-1994).
Saya mengenal Agus pada 1986, ketika saya bergabung di Harian Merdeka dari Medan ke kantor pusat di Jakarta. Di koran Pak BM Diah (alm) itu, Agus sudah bertugas di Istana, bersama Pak Ahmad Adirsyah (alm), dan Pak Karim Paputungan. Setiap sore Agus datang ke kantor Jl AM Sangaji, Jakarta Pusat, membawa beberapa lembaran berita yang sudah diketik dan ikut dalam rapat redaksi sore.
Saat itu Orde Baru berkuasa. Pers tidak bebas. Desas-desus politik seputar Presiden Soeharto, tidak dapat dikonfirmasi untuk diberitakan. Begitu juga tentang perilaku sejumlah menteri, perbedaan tajam dalam kabinet, dan intrik politik. Agus selalu memberi info kepada kami dalam rapat redaksi setiap sore, termasuk ada menteri yang tidak lagi diundang rapat lengkap kabinet. Ini ditafsirkan, Pak Harto sedang marah dengan menteri tersebut.
Jika Agus datang ke kantor lebih cepat, kami sering menebak. Pak Harto sedang menerima Menristek BJ Habibie. Biasanya, pertemuan dapat berlangsung lebih tiga jam. Melelahkan wartawan, yang sejak pagi sudah meliput di Istana. Berita yang diperoleh pun, tidak jauh dari teknologi, meski wartawan menduga pembahasan makan waktu lama tersebut tentang politik.
Suasana politik menghangat setelah Ikatan Cendekiawan Muslim se Indonesia (ICMI) berdiri, akhir 1990. Terjadi pro-kontra. Pihak pro menyambut sikap Pak Harto yang lebih dekat dengan kekuatan Islam, setelah berbagai peristiwa -- sejak Orde Baru berdiri -- dinilai merugikan umat Islam, di antaranya Tragedi Tanjung Priok, Komando Jihad, asas tunggal, UU Perkawinan, pelarangan siswi berjilbab. Sebaliknya, kalangan yang kontra menilai perubahan sikap politik Pak Harto tersebut sebagai menguatnya politik aliran dan sektarian.
Habibie juga dipercaya Pak Harto sebagai sipil pertama menjabat Wakil Koordinator Harian Pembina Golkar pada 1992, dan setahun kemudian menjabat Koordinator Harian Golkar. Ini ditafsirkan para analisis politik bahwa Pak Harto mempersiapkan Habibie sebagai penggantinya. Kritik pada Habibie semakin keras ketika di parlemen, Golkar diisi cendekiawan Muslim. Pengkritik menyebutnya “Ijo loyo-loyo” plesetan “Ijo Royo-royo.”
Pak Habibie juga ditugaskan merancang Pembangunan Jangka Panjang Tahap II, yang menekankan pada pembangunan sumber daya manusia dan teknologi. PJPT I, 25 tahun sebelumnya, dirancang para ekonom, di antaranya Widjojo Nitisastro.
Pada 1 Oktober 1993, manajemen Harian Merdeka mengubah komposisi di redaksi. Pak Kosasih Kamil (alm) ditunjuk sebagai Pemimpin Umum, Agus Salim Suhana sebagai Pemimpin Redaksi, saya Wakil Pemimpin Redaksi, Neta’s pane (Redpel), dan Triyono Wahyudi (wakil Redpel).
Konstelasi politik nasional membawa pengaruh juga ke surat kabar berlogo merah ini. Tidak sampai setahun, tepatnya 1 April 1994, kami berlima “dibebaskan dari tugas dan jabatan” – kata lain dari diberhentikan. Alasan dari surat nomor 06/PU/MP/III/94 adalah “Untuk menjaga eksistensi Skh Merdeka ..” Tidak jelas maksudnya, meski kami dapat menduga arahnya. Sejumlah redaktur dan reporter memilih keluar.
Pak BM Diah saat itu sudah tidak begitu aktif di surat kabar yang didirikannya bersama Pak Rosihan Anwar ini. Posisinya saat itu sebagai presiden komisaris.
Baca juga: Catatan Asro Kamal Rokan - Kabar Duka dari Malaysia: Pergilah Sahabat ...
Baca juga: Catatan Meidyatama Suryodiningrat - Keteguhan dan keberpihakan Indonesia di tengah kemunafikan "G19"
****
SETELAH pembehentian, kami terus menjalin silaturahim. Pak Kosasih Kamil memilih untuk istrahat sebagai wartawan. Agus Salim Suhana tetap di Istana sebagai wartawan Nikkei Shimbun Jepang, Neta’spane begabung ke Harian Terbit. Hingga akhir hayatnya sebagai Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW). Sedangkan Triyono Wahyudi ke Harian Berita Buana. Beberapa redaktur lain ada yang tetap di media, ada pula yang berniaga. Hidup terus berjalan.
Sekitar empat bulan menganggur dan dera cacar air, saya kemudian bergabung ke Republika, dua tahun setelah surat kabar ini terbit. Pada 2003, di bawah manajemen Erick Thohir, saya menjabat Pemimpin Redaksi.
Silaturahim antarkami terus berjalan baik. Neta’spane dan Syahdanur berinisiatif mengadakan reuni, mengundang seluruh mantan wartawan Merdeka. Ketika reuni di Wisma Antara pada 17 Oktober 2005 – saat itu saya Pemimpin Umum LKBN Antara – reuni ini dihadiri Ibu Herawati Diah, Pak Rosihan Anwar, Pak Soepeno Sumardjo, dan sejumlah koresponden daerah. Neta’spane dan Syahdanur juga menerbitkan buku “Aku Wartawan Merdeka.”
Reuni kedua, 2016, berlangsung di Rumah Makan Teh Yoyoh di di Situgintung, Ciputat. Restoran ini milik mantan redaktur Merdeka, Anang Ainal Yaqin. Hadir Ibu Herawati Diah, Pak Harmoko (mantan wartawan Merdeka), Sofyan Lubis (mantan Ketua Umum PWI Pusat, juga pernah di Merdeka), Tarman Azzam (mantan Ketua Umum PWI Pusat), dan sejumlah mantan wartawan Merdeka lainnya. Inilah terakhir sekali Agus Salim Suhana hadir, setahun kemudian Agus sakit.
Meski mengalami berbagai peristiwa, kami bangga pernah sebagai wartawan Merdeka – yang kami sebut sebagai universitas wartawan. Tahun lalu, Neta;spane, Syahdanur, Pak Tribuana Said (mantan Pemimpin Redaksi Merdeka), dan sejumlah sahabat, menerbitkan buku tebal berjudul “Wartawan Bersuara Merdeka – Berfikir Merdeka, Bersuara Merdeka, Hak Manusia Merdeka”.
Agus Salim Suhana telah pergi selamanya. Semoga Allah melapangkan jalannya menuju jannatun naim. Ketika tadi malam mendengar kabar duka tersebut, saya merenung betapa setiap orang pada akhirnya pergi. Dan, empat dari lima orang yang diberhentikan secara bersamaan – Pak Kosasih Kamil, Triyono Wahyudi, Neta’spane, dan Agus Salim Suhana – telah pergi lebih dahulu. Satu menyusul lainnya. Tinggal saya menunggu waktu tiba.
Jakarta, 25 Juli 2022.
*) Asro Kamal Rokan adalah wartawan senior, pernah menjadi Pemimpin Redaksi Republika (2003-2005) dan Pemimpin Umum LKBN ANTARA (2005-2007)
Baca juga: Catatan Meidyatama Suryodiningrat - Nada sendu pendulang mimpi di Hari Musik Nasional
Baca juga: Catatan Ilham Bintang -Tiada Lagi Mas Tjahjo Kumolo