Jakarta (ANTARA) - Baru saja kita bangga karena Goenawan Mohamad mendapat penghargaan Japan Foundation 2022, di Tokyo 19 Oktober lalu, tahu-tahu ada berita lima wartawan di Manado, ditangkap polisi karena memeras sebuah rumah makan, dua hari kemudian. Sebuah koinsidensi yang menyakitkan.
Walaupun rajin menulis opini di medianya, Goenawan mungkin tidak lagi dikenal sebagai wartawan, dia lebih banyak dikenal sebagai penulis, sebagai sastrawan, esais, atau intelektual bahkan aktivis demokrasi.
Namun karyanya konsisten hadir di Tempo sehingga namanya tidak bisa dilepas dari dunia kewartawanan, itulah yang menurut saya membuat kita patut bergembira karena sudah lama tidak ada apresiasi untuk jurnalis Indonesia. Tentu Anda boleh tidak sependapat dengan saya.
Di sisi lain kasus pemerasan, kali ini dengan modus ada kotoran di makanan yang mereka santap dan akan diberitakan kalau tidak diberi uang, mencoreng lagi wajah pers Indonesia. Kita boleh berdebat bahwa mereka bukan wartawan profesional tetapi persepsi di masyarakat bahwa begitu banyak wartawan menyalahgunakan pekerjaannya, tidak bisa kita bantah.
Ada banyak kasus pemerasan serupa sebelumnya seperti terjadi di Lampung, Banten, Kepri, Jatim, Sumut, Sulteng, ada yang tengah diproses, ada yang damai, ada yang bahkan sudah menjalani proses hukum dan divonis hakim. Sehingga istilahnya tidak lagi seperti kata pepatah “karena nila setitik rusak susu sebelanga”, karena kenyatannya belanga itu tidak lagi hanya dinodai nila, tapi juga barangkali kotoran busuk. Betapa malang nasib wartawan idealis, yang bekerja sepenuh hati menjalankan tugasnya, yang sungguh-sungguh menjalankan tanggung jawab profesi tanpa reserve.
Masih banyak wartawan baik tetapi lama kelamaan hasil kerja mereka ditutupi oleh orang yang mengaku wartawan dan menjadi penumpang gelap kemerdekaan pers yang lahir seiring Reformasi 1998 yang juga melahirkan Undang Undang No 40 tentang Pers tahun 1999. Istilahnya, kerja mereka “kalah viral” dari perilaku amoral mereka yang menyebut diri wartawan padahal tujuan utamanya adalah untuk mengeruk keuntungan pribadi, kelompok, atau mendapat previlese.
Ya, itu memang kenyataan yang kita temui di lapangan. Banyak yang tidak mengerti apa itu profesi wartawan, dan parahnya tidak berusaha untuk mencari tahu secara minimal dengan membaca UU No.40/1999, Kode Etik Jurnalistik, Pedoman dan Peraturan Dewan Pers, yang bahannya tersedia dan mudah diakses. Termasuk juga yang sudah mengantongi sertifikat kompetensi karena lulus dalam uji kompetensi yang diikutinya. Kalau sudah begini, tentu kita tidak bisa berharap mereka akan menghargai dan menjaga nama baik profesinya atau pekerjaannya.
Baca juga: Catatan Hendry Ch Bangun - Mengenang Prof Azyumardi Azra
Baca juga: Catatan Ilham Bintang - Indonesia menangis, tiada lagi Ketua Dewan Pers Prof Azyumardi Azra
***
Sering dikatakan karena banyak contohnya, wartawan yang baik lahir dari pers kampus, yang semasa mahasiswa rajin menulis atau mengasuh media internal di tempatnya kuliah. Mahasiswa umumnya idealis dan mereka pun membuat liputan di lingkungannya dengan topik-topik yang hangat, dan bersikap kritis atas bentuk kekuasaan apapun. Mereka bekerja untuk menyalurkan gagasannya, menyampaikan aspirasi teman-temannya, dan bekerja tanpa pamrih, kecuali rasa bangga berjuang untuk kebenaran.
Tetapi kalaupun tidak dari kampus, pelatihan setelah rekrutmen, dan tata kelola perusahaan yang baik, dapat membentuk sosok wartawan idealis. DItambah lagi bila dia bergabung dengan organisasi wartawan yang rajin melakukan workshop peningkatan kapasitas, ketrampilan jurnalistik, pendalaman kode etik, dan makna kewartawanan di negara demokrasi. Dari waktu ke waktu si wartawan muda ini akan matang dalam ketrampilan jurnalistik, konsisten pada etika profesinya, dan teguh menjaga diri dari begitu banyak godaan: uang, previlese, dan atribut yang menyesatkan.
Faktor uang dalam kaitan antara wartawan dan narasumber, perlu ada tata cara pengelolaan agar hubungan tetap baik dan tidak melanggar nilai-nilai profesi. Dulu pernah ada teman yang mengembalikan amplop jumpa pers dengan narsum seorang jenderal, tetapi menjadi masalah besar karena si narsum tersinggung karena dianggap menghina institusi padahal si wartawan menjalankan peraturan yang berlaku di perusahaannya.
Kita dilarang menerima amplop acara tetapi boleh menerima uang saku kalau diundang ke luar negeri. Tetapi besarannya bisa menjadi persoalan. Kalau tugas dari kantor, misal uang saku dan makan 150.000 dollar AS, sementara perusahaan yang mengundang memberi 300.000 dollar AS, apakah sisanya dikembalikan atau dikantongi? Secara etik, seharusnya sisanya dikembalikan, agar kita merasa tetap bekerja untuk kantor dan bukan untuk si pengundang sehingga nanti laporan yang kita buat, tetap objektif, tanpa beban moral, dan bukan menulis yang baik-baik saja.
Kalau kita berkeliling ke daerah, banyak wartawan yang bangga berteman baik dengan Gubernur, Kapolda, Pangdam, atau Bupati, Danrem, Kapolres atau pejabat apapun, dan itu ditunjukkan di profile picture akun medsosnya.
Dekat tentu boleh karena kemampuan membangun jejaring adalah salah satu kompetensi dasar wartawan, tetapi tetap harus ada jarak, karena orang-orang itu haruslah kita anggap sebagai narasumber. Dengan demikian tidak akan ada bias ketika membuat berita pada suatu saat, objektivitas kita terjaga. Saling menghargai tugas.
Dekat juga berarti kapanpun kita menghubungi untuk konfirmasi atau klarifikasi atau mendapat informasi latar belakang, ini tentu baik bagi pekerjaan kita. Bukan supaya urusan iklan menjadi lancar dan media kita dimudahkan untuk memperoleh sesuatu yang bersifat material.
Yang negatif juga tentu, kalau seorang wartawan sudah diberikan atribut (tentu negatif) karena kedekatan dengan narsum tadi. Si Anu itu orangnya Menteri Anu, dia sering jalan bersama, hampir selalu diajak, seolah sudah seperti backing ketimbang wartawan. Bahkan ada wartawan yang menegur wartawan yang produk jurnalistiknya dianggap merugikan “boss”nya, atau mewanti-wanti agar menulis yang baik ketika temannya yang pejabat tinggi di lembaga sipil atau militer sedang dalam sorotan publik. Kalau begini, si wartawan dalam persepsi masyarakat atau koleganya tidak lebih dari sekadar kaki tangan.
Lalu, bagaimana mungkin dia menjadi teladan bagi anak buahnya di kantor? Atau kalau dia pimpinan suatu organisasi, bagaimana mungkin dia dihargai anggota atau koleganya?
Baca juga: Catatan Hendry Ch Bangun - Soal berita sepihak
Baca juga: Catatan Zacky Antony - Tentang Putusan MK (2): "Bintang-bintang di Piagam Palembang"
Baca juga: Catatan Zacky Antony- Tentang Putusan MK (1): "Kado Reformasi itu masih terjaga"
***
Di era medsos sekarang ini, kredibilitas wartawan juga berkait langsung dengan kredibilitas media massa, dipertentangkan dengan media sosial yang kian berperan sebagai penyampai informasi. Kalau nama baik wartawan terus tergerus, semakin tergerus pula tingkat kepercayaan publik.
Tentu kita bergembira karena wartawan yang terkena kasus, khususnya pemerasan, pada umumnya tidak bekerja di media mainstream, mereka itu kebanyakan dari media yang mungkin bisa disebut “hidup segan mati tak mau”. Bisa jadi mereka lancung karena tidak mendapat gaji yang memadai, atau bahkan tidak digaji tapi diminta mencari uang bagi perusahan, melalui berita berbayar ataupun dari iklan yang didapatnya, dengan imbalan komisi.
Dalam kaitan ini maka Dewan Pers dan organisasi wartawan konstituennya harus bersikap tegas dan memisahkan diri, bahkan berkampanye agar masyarakat faham bahwa yang berbuat buruk itu bukan bagian dari wartawan Indonesia. Jangan ragu karena hanya dengan demikian maka publik tahu mana emas dan mana loyang, mana yang datang ke suatu acara untuk membuat berita, mana yang datang untuk mencari amplop dan bikin rusuh.
Mana yang terjun ke lapangan untuk mencari bahan berita, mana yang justru datang ke kantor lurah atau kepala sekolah untuk minta duit dengan segala modus.
Lalu wartawan juga harus menjalankan tanggungjawab profesinya ke masyarakat. Wartawan itu menulis, membuat berita, menyiarkan berita. Atau di media massa, atau di podcast, terserah, yang penting diketahui audiens. Jangan kalah dengan para pengamat atau dosen atau para mantan, barisan sakit hati, yang malah lebih ramai diikuti publik, padahal karyanya hanya “seolah-olah” produk jurnalistik.
Meskipun sebaiknya berkarya di media massa, di zaman medsos ini, disampaikan melalui saluran apapun tidak masalah. Tokh publik akan tahu, bahwa pembuatnya adalah wartawan anu yang bekerja di anu, atau wartawan yang pernah bekerja di media anu.
Kita semua bertanggungjawab menjaga kehormatan profesi wartawan.
Ciputat , 22 Oktober 2022
(* Hendry CH Bangun,
- wartawan senior
- Mantan Wakil Ketua Dewan Pers )
Baca juga: Tok ! Mahkamah Konstitusi putuskan, tolak seluruh gugatan uji materiil UU Pers
Baca juga: Ini tanggapan PWI, wacana wartawan terima tunjangan pemerintah
Baca juga: Sertifikasi wartawan kewenangan Dewan Pers
Walaupun rajin menulis opini di medianya, Goenawan mungkin tidak lagi dikenal sebagai wartawan, dia lebih banyak dikenal sebagai penulis, sebagai sastrawan, esais, atau intelektual bahkan aktivis demokrasi.
Namun karyanya konsisten hadir di Tempo sehingga namanya tidak bisa dilepas dari dunia kewartawanan, itulah yang menurut saya membuat kita patut bergembira karena sudah lama tidak ada apresiasi untuk jurnalis Indonesia. Tentu Anda boleh tidak sependapat dengan saya.
Di sisi lain kasus pemerasan, kali ini dengan modus ada kotoran di makanan yang mereka santap dan akan diberitakan kalau tidak diberi uang, mencoreng lagi wajah pers Indonesia. Kita boleh berdebat bahwa mereka bukan wartawan profesional tetapi persepsi di masyarakat bahwa begitu banyak wartawan menyalahgunakan pekerjaannya, tidak bisa kita bantah.
Ada banyak kasus pemerasan serupa sebelumnya seperti terjadi di Lampung, Banten, Kepri, Jatim, Sumut, Sulteng, ada yang tengah diproses, ada yang damai, ada yang bahkan sudah menjalani proses hukum dan divonis hakim. Sehingga istilahnya tidak lagi seperti kata pepatah “karena nila setitik rusak susu sebelanga”, karena kenyatannya belanga itu tidak lagi hanya dinodai nila, tapi juga barangkali kotoran busuk. Betapa malang nasib wartawan idealis, yang bekerja sepenuh hati menjalankan tugasnya, yang sungguh-sungguh menjalankan tanggung jawab profesi tanpa reserve.
Masih banyak wartawan baik tetapi lama kelamaan hasil kerja mereka ditutupi oleh orang yang mengaku wartawan dan menjadi penumpang gelap kemerdekaan pers yang lahir seiring Reformasi 1998 yang juga melahirkan Undang Undang No 40 tentang Pers tahun 1999. Istilahnya, kerja mereka “kalah viral” dari perilaku amoral mereka yang menyebut diri wartawan padahal tujuan utamanya adalah untuk mengeruk keuntungan pribadi, kelompok, atau mendapat previlese.
Ya, itu memang kenyataan yang kita temui di lapangan. Banyak yang tidak mengerti apa itu profesi wartawan, dan parahnya tidak berusaha untuk mencari tahu secara minimal dengan membaca UU No.40/1999, Kode Etik Jurnalistik, Pedoman dan Peraturan Dewan Pers, yang bahannya tersedia dan mudah diakses. Termasuk juga yang sudah mengantongi sertifikat kompetensi karena lulus dalam uji kompetensi yang diikutinya. Kalau sudah begini, tentu kita tidak bisa berharap mereka akan menghargai dan menjaga nama baik profesinya atau pekerjaannya.
Baca juga: Catatan Hendry Ch Bangun - Mengenang Prof Azyumardi Azra
Baca juga: Catatan Ilham Bintang - Indonesia menangis, tiada lagi Ketua Dewan Pers Prof Azyumardi Azra
***
Sering dikatakan karena banyak contohnya, wartawan yang baik lahir dari pers kampus, yang semasa mahasiswa rajin menulis atau mengasuh media internal di tempatnya kuliah. Mahasiswa umumnya idealis dan mereka pun membuat liputan di lingkungannya dengan topik-topik yang hangat, dan bersikap kritis atas bentuk kekuasaan apapun. Mereka bekerja untuk menyalurkan gagasannya, menyampaikan aspirasi teman-temannya, dan bekerja tanpa pamrih, kecuali rasa bangga berjuang untuk kebenaran.
Tetapi kalaupun tidak dari kampus, pelatihan setelah rekrutmen, dan tata kelola perusahaan yang baik, dapat membentuk sosok wartawan idealis. DItambah lagi bila dia bergabung dengan organisasi wartawan yang rajin melakukan workshop peningkatan kapasitas, ketrampilan jurnalistik, pendalaman kode etik, dan makna kewartawanan di negara demokrasi. Dari waktu ke waktu si wartawan muda ini akan matang dalam ketrampilan jurnalistik, konsisten pada etika profesinya, dan teguh menjaga diri dari begitu banyak godaan: uang, previlese, dan atribut yang menyesatkan.
Faktor uang dalam kaitan antara wartawan dan narasumber, perlu ada tata cara pengelolaan agar hubungan tetap baik dan tidak melanggar nilai-nilai profesi. Dulu pernah ada teman yang mengembalikan amplop jumpa pers dengan narsum seorang jenderal, tetapi menjadi masalah besar karena si narsum tersinggung karena dianggap menghina institusi padahal si wartawan menjalankan peraturan yang berlaku di perusahaannya.
Kita dilarang menerima amplop acara tetapi boleh menerima uang saku kalau diundang ke luar negeri. Tetapi besarannya bisa menjadi persoalan. Kalau tugas dari kantor, misal uang saku dan makan 150.000 dollar AS, sementara perusahaan yang mengundang memberi 300.000 dollar AS, apakah sisanya dikembalikan atau dikantongi? Secara etik, seharusnya sisanya dikembalikan, agar kita merasa tetap bekerja untuk kantor dan bukan untuk si pengundang sehingga nanti laporan yang kita buat, tetap objektif, tanpa beban moral, dan bukan menulis yang baik-baik saja.
Kalau kita berkeliling ke daerah, banyak wartawan yang bangga berteman baik dengan Gubernur, Kapolda, Pangdam, atau Bupati, Danrem, Kapolres atau pejabat apapun, dan itu ditunjukkan di profile picture akun medsosnya.
Dekat tentu boleh karena kemampuan membangun jejaring adalah salah satu kompetensi dasar wartawan, tetapi tetap harus ada jarak, karena orang-orang itu haruslah kita anggap sebagai narasumber. Dengan demikian tidak akan ada bias ketika membuat berita pada suatu saat, objektivitas kita terjaga. Saling menghargai tugas.
Dekat juga berarti kapanpun kita menghubungi untuk konfirmasi atau klarifikasi atau mendapat informasi latar belakang, ini tentu baik bagi pekerjaan kita. Bukan supaya urusan iklan menjadi lancar dan media kita dimudahkan untuk memperoleh sesuatu yang bersifat material.
Yang negatif juga tentu, kalau seorang wartawan sudah diberikan atribut (tentu negatif) karena kedekatan dengan narsum tadi. Si Anu itu orangnya Menteri Anu, dia sering jalan bersama, hampir selalu diajak, seolah sudah seperti backing ketimbang wartawan. Bahkan ada wartawan yang menegur wartawan yang produk jurnalistiknya dianggap merugikan “boss”nya, atau mewanti-wanti agar menulis yang baik ketika temannya yang pejabat tinggi di lembaga sipil atau militer sedang dalam sorotan publik. Kalau begini, si wartawan dalam persepsi masyarakat atau koleganya tidak lebih dari sekadar kaki tangan.
Lalu, bagaimana mungkin dia menjadi teladan bagi anak buahnya di kantor? Atau kalau dia pimpinan suatu organisasi, bagaimana mungkin dia dihargai anggota atau koleganya?
Baca juga: Catatan Hendry Ch Bangun - Soal berita sepihak
Baca juga: Catatan Zacky Antony - Tentang Putusan MK (2): "Bintang-bintang di Piagam Palembang"
Baca juga: Catatan Zacky Antony- Tentang Putusan MK (1): "Kado Reformasi itu masih terjaga"
***
Di era medsos sekarang ini, kredibilitas wartawan juga berkait langsung dengan kredibilitas media massa, dipertentangkan dengan media sosial yang kian berperan sebagai penyampai informasi. Kalau nama baik wartawan terus tergerus, semakin tergerus pula tingkat kepercayaan publik.
Tentu kita bergembira karena wartawan yang terkena kasus, khususnya pemerasan, pada umumnya tidak bekerja di media mainstream, mereka itu kebanyakan dari media yang mungkin bisa disebut “hidup segan mati tak mau”. Bisa jadi mereka lancung karena tidak mendapat gaji yang memadai, atau bahkan tidak digaji tapi diminta mencari uang bagi perusahan, melalui berita berbayar ataupun dari iklan yang didapatnya, dengan imbalan komisi.
Dalam kaitan ini maka Dewan Pers dan organisasi wartawan konstituennya harus bersikap tegas dan memisahkan diri, bahkan berkampanye agar masyarakat faham bahwa yang berbuat buruk itu bukan bagian dari wartawan Indonesia. Jangan ragu karena hanya dengan demikian maka publik tahu mana emas dan mana loyang, mana yang datang ke suatu acara untuk membuat berita, mana yang datang untuk mencari amplop dan bikin rusuh.
Mana yang terjun ke lapangan untuk mencari bahan berita, mana yang justru datang ke kantor lurah atau kepala sekolah untuk minta duit dengan segala modus.
Lalu wartawan juga harus menjalankan tanggungjawab profesinya ke masyarakat. Wartawan itu menulis, membuat berita, menyiarkan berita. Atau di media massa, atau di podcast, terserah, yang penting diketahui audiens. Jangan kalah dengan para pengamat atau dosen atau para mantan, barisan sakit hati, yang malah lebih ramai diikuti publik, padahal karyanya hanya “seolah-olah” produk jurnalistik.
Meskipun sebaiknya berkarya di media massa, di zaman medsos ini, disampaikan melalui saluran apapun tidak masalah. Tokh publik akan tahu, bahwa pembuatnya adalah wartawan anu yang bekerja di anu, atau wartawan yang pernah bekerja di media anu.
Kita semua bertanggungjawab menjaga kehormatan profesi wartawan.
Ciputat , 22 Oktober 2022
(* Hendry CH Bangun,
- wartawan senior
- Mantan Wakil Ketua Dewan Pers )
Baca juga: Tok ! Mahkamah Konstitusi putuskan, tolak seluruh gugatan uji materiil UU Pers
Baca juga: Ini tanggapan PWI, wacana wartawan terima tunjangan pemerintah
Baca juga: Sertifikasi wartawan kewenangan Dewan Pers