Jakarta (ANTARA) - Ya Allah, tempatkan putra terbaik Indonesia ini, di tempat terindah di sisi-Mu, wahai Tuhan Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. Sungguh, kami tidak berdaya, hanya bisa menangis. Kau-lah yang Maha Kuasa.
Pada 1 Syawal 1440 H (5 Juni 2019), Pak Habibie telah terlihat rapuh. Namun, semangatnya untuk melayani tamu yang antre halalbihalal, tetap kuat. Pak Habibie dengan senyum menyalami setiap tamu. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, kali ini petugas melarang setiap tamu berfoto. Ini agar Pak Habibie tidak terlalu lelah.
Saya menyalami Pak Habibie. Kami berpelukan cukup lama diiringi dialog singkat. Menjelang magrib, tamu masih banyak. Pak Habibie tidak lagi berdiri, tapi duduk. Petugas menahan tamu bersabar. Saya melihat, darah keluar dari hidung Pak Habibie. Beberapa orang menyekanya. Pak Habibie terlihat lemah. Namun, ya Allah.. Setelah itu Pak Habibie kembali berdiri menyambut tamunya dengan senyum lebar.
Baca juga: BJ Habibie wafat - Doa ratusan petani dan nelayan
Baca juga: Tiada lagi Habibie, Bapak Kemerdekaan Pers Indonesia
Pak Habibie--yang 25 Juni lalu genap berusia 83 tahun--wafat setelah dirawat selama sepuluh hari di ruangan Cerebro Intensive Care Unit (CICU), Paviliun Kartika, RSPAD Gatot Subroto.
Pergulatan Politik
Saya mengenal Pak Habibie pada 1987, ketika itu saya redaktur di Harian Merdeka milik Pak BM Diah. Pada Juni 1989, saya diajak berkunjung ke Le Bourget, Prancis, menyaksikan Paris Air Show. Di sini, CN-235 dipamerkan dan di hadapan pers asing--yang sangat antusias dan hormat--Pak Habibie menjelaskan rencana pembuatan pesawat N-250 dengan teknologi tercanggih, fly by wire (FBW) pertama di dunia.
Hampir sepekan sekali--saat saya wakil Pemred Harian Merdeka--saya diajak dialog Pak Habibie di ruang kerjanya, yang dipenuhi replika pesawat. Bercerita tentang berbagai kesulitan, termasuk kurang respons bank nasional memberi garansi bank, sehingga terpaksa pesawat ditukar ketan. Juga soal politik, gesekan keras dengan Menteri Pertahanan, Benny Moerdani, setelah berdirinya Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI pada 1990).
Pertarungan politik sejak 1980-an akhir hingga reformasi 1998, berlangsung cukup keras. Muncul istilah 'ijo loyo-loyo', plesetan dari ijo royo-royo, yang memberi kesan negatif atas penguatnya peran politik Islam. Apalagi saat itu, Presiden Suharto memberikan kepercayaan besar pada Pak Habibie, sebagai Wakil Ketua Dewan Pembina Golkar.
Pertarungan menguat menjelang Sidang Umum MPR 1993. Ada dua nama yang muncul sebagai calon wakil presiden, Pak Try Sutrisno dan Pak Habibie. Melihat situasi memanas saat itu, saya menulis Tajuk Rencana Harian Merdeka (3 Desember 1992), yang memberi saran agar Pak Habibie tidak menerima pencalonan sebagai wakil presiden, namun tetap mengambil peran sentral dalam penyusunan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), dengan memperkuat program peningkatan sumber daya manusia (SDM) dan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek).
Begitu tajuk dimuat, sore saya dipanggil Pak Habibie ke kantornya di lantai 5 BPPT. Tentu waswas. Namun, Pak Habibie justru mengapresiasi tajuk tersebut. Bahkan, menurutnya, tajuk itu sengaja dibacakannya pada Pak Harto. Dan, Pak Harto setuju.
Pergulatan politik, termasuk pendirian ICMI, Republika, Cides, pendirian Bank Muamalat, dan lainnya--yang berkesan memperkuat peran umat Islam--berdampak luas ke berbagai ruang politik, termasuk di TNI. Di Golkar mulai banyak diisi aktivis HMI. Begitu juga dengan sikap keagamaan Pak Harto. Perubahan politik ini menimbulkan pro-kontra.
Pada Maret 1994, sejumlah pemimpin Harian Merdeka dipecat, termasuk wakil pemimpin umum, pemimpin redaksi, saya sebagai wakil Pemred, Redaktur Pelaksana, dan wakil redaktur pelaksana. Pemecatan itu kami sebut sebagai efek dari polarisasi politik masa itu. Beberapa bulan kemudian, saya diajak Pak Habibie bergabung ke Republika, setahun setelah koran ini berdiri.
Kata-kata Pak Habibie yang terngiang dan sering diungkapkannya dalam berbagai pertemuan adalah, "Bidang keahlian saya teknologi, tapi saya tertendang-tendang ke politik." Kalimat itu menjelaskan Pak Habibie tidak ahli dalam politik--terlalu lurus untuk bermanuver. Baginya, politik jalan menuju peningkatan SDM, teknologi, dan kemandirian.
Mr Crack
Latar belakang Pak Habibie memang bukan politik, melainkan teknologi dirgantara. Di lingkungan ahli aeronautic, aerospace, industri pesawat, ilmuwan internasional, Pak Habibie dijuluki Mr Crack karena keahliannya.
Baca juga: BJ Habibie wafat - DPRD Kaltara: Semangat kembangkan teknologi tinggi terus hidup
Baca juga: BJ Habibie wafat - Jenius yg Relijius
Setelah menyelesaikan S-3--dengan nilai rata-rata 10 di Rheinisc Westfälische Technische Hochschule (RWTH) Aachen, universitas teknik terbaik di Jerman, 1965--Pak BJH yang saat itu berusia 28 tahun, bekerja di Hamburger Flugzeugbau (HFB).
Di sana Pak BJH ditantang untuk memecahkan persoalan pelik, yakni ketidakstabilan konstruksi ekor pesawat Fokker 28. Lebih dari tiga tahun tim ahli HFB mencoba mencari pemecahannya dengan biaya besar, namun gagal. Pak BJH memerlukan waktu enam bulan dan berhasil.
Sukses besar ini membanggakan HFB. Tugas baru datang lagi, memecahkan problem konstruksi gantungan mesin di belakang pesawat terbang eksekutif, HFB 320. Pak BJH kembali berhasil dalam waktu tujuh bulan.
Sukses ini menjadi pembicaraan luas di dunia penerbangan. Ketika beberapa pesawat tempur Jerman, Starfighter F-104 G jatuh, timbul kehebohan. Tidak ada yang tahu penyebabnya. Departemen Pertahanan Jerman mengajak para ahli melakukan riset mencari penyebabnya. Pak BJH ditugaskan perusahaan HFB, tempatnya bekerja, untuk melakukan riset. Pak BJH kemudian menemukan penyebabnya, yakni keretakan di sayap.
Setelah menemukan penyebabnya, Pak BJH kembali melakukan riset mendalam dan menemukan “Metode Perhitungan Kecepatan Suatu Retakan Berjalan pada Bahan yang Elastoplastik”.
Riset ini diterima HFB dan Departemen Pertahanan Jerman. Setelah dilakukan perbaikan berdasarkan metode Pak BJH itu, tidak terjadi lagi pesawat tempur F-104 G jatuh. Hasil riset itu kemudian ditulis Pak BJH dalam paper-nya tentang “Thermodynamics, Instationair Aerodynamics, Fracture Macanics, dan Construcsion”.
Dari sini kemudian lahirlah Teori Habibie, Faktor Habibie, Prediksi Habibie yang sangat populer. Rumusan Habibie tersebut dapat ditemui pada sejumlah jilid “Advisory Group for Aerospace Research and Development (AGARD)--sebagai buku pegangan tentang prinsip-prinsip ilmu desain pesawat terbang standar NATO.
Rumus Habibie ini kemudian menjadi pelajaran wajib di fakultas teknik di Jerman. Bahkan, juga dipelajari anak sulungnya, Ilham Habibie, saat kuliah di Fakultas Teknik Munchen, Jerman.
Dalam rumus itu, Pak BJH menemukan cara--yang sebelumnya misterius dan tidak dikenal--tentang penyebab keretakan (crack) bodi pesawat, terutama sayap. Sebelumnya, industri pesawat dunia, termasuk Airbus dan Boeing, kesulitan menemukan cara agar meterial pesawat tidak retak. Mereka menebalkan seluruh bagian yang berakibat pesawat menjadi berat.
Rumus Pak Habibie itu menjadi sumbangan terbesar, tidak saja dalam ilmu pengetahuan, tapi juga kemanusiaan, terutama keselamatan jiwa penumpang. Sebelumnya, rata-rata kecelakaan pesawat jet komersial akibat keretakan, mencapai 12 kali per satu juta penerbangan. Dengan temuan tersebut, angka kecelakaan kerena keretakan menjadi dua sampai tiga kali dalam sejuta penerbangan.
Pada 1922, Pak Habibie mendapatkan penghargaan Von Karman Award di Jerman. Penghargaan Von Karman Award ini, dalam dunia teknologi, setara dengan hadiah Nobel.
Sukses Pak Habibie itu menarik perhatian Pak Harto. Pada 1973, Pak Habibie pulang ke Indonesia dan ditugaskan membangun teknologi Indonesia. Proses kemudian, lahirlah pesawat buatan Indonesia yang dirancang putra-putri Indonesia di IPTN. Dan, Pak Habibie "tertendang ke dunia politik" untuk mewujudkan kemandirian bangsa, peningkatan SDM, dan teknologi. Namun, Letter of Intent (LoI) IMF pada 15 Januari 1998, membabat IPTN. Mimpi besar Pak Habibie punah.
Negarawan Besar
Gelombang Reformasi 1998 menyebabkan Pak Harto turun. Sebagai wakil presiden, Pak BJH naik menjadi Presiden RI. Namun tidak lama, hanya 512 hari, sejak 21 Mei 1998 hingga 20 Oktober 1999. Pak BJH mengikuti kehendak politisi melaksanakan pemilihan umum dipercepat.
Dalam masa pendek dan situasi politik yang tidak stabil, Pak BJH seperti seorang pilot pesawat, tidak saja menyelamatkan Indonesia, tapi juga menempuh jalan baru.
Kebebasan pers dibuka, kebebasan bersuara, dan kebebasan berserikat dan mendirikan partai dibuka lebar. Tahanan politik dibebaskan. Pak BJH juga melahirkan Undang-Undang (UU) Pembatasan Masa Jabatan Presiden, UU Anti Monopoli, UU Partai Politik, dan mencabut larangan serikat buruh.
Rupiah yang jatuh mencapai Rp 16.000 terhadap dolar AS, berhasil diperkuat menjadi Rp 6.500--yang hingga kini belum bisa dipulihkan. Pak BJH tidak berjanji muluk, namun menghasilkan karya besar.
Dalam Sidang Umum MPR hasil pemilu dipercepat, Selasa, 19 Oktober 1999, pertanggungjawaban Pak Habibie ditolak melalui pemungutan suara, dengan selisih tipis, 33 suara (355 suara menolak, 322 menerima, sembilan abstain, empat tidak sah). Lepasnya Timor Timur menjadi salah satu alasan--meski pemerintah berikutnya tidak lagi disibukkan dalam fora internasional.
Saya ingat sekali saat akhir kekuasaan Pak BJH. Sebagai wartawan yang meliput SU MPR, saya menyaksikan betapa penolakan pertanggungjawaban Pak BJH disambut dengan tepuk tangan anggota MPR. Ada yang sujud syukur--mensyukuri kekalahan Pak Habibie.
Semasa SU MPR itu pula, sebagian besar anggota MPR/DPR tidak bersedia berdiri saat Pak BJH masuk ruang sidang, bahkan ada berteriak “Huuu.. Huuuu..” saat Pak BJH berpidato. Setelah Pak BJH tidak lagi jadi presiden, penghormatan anggota majelis berdiri kembali dilakukan.
Dinihari, setelah pertanggungjawaban ditolak, beberapa tokoh menemui Pak BJH di rumahnya. Mereka meminta Pak Habibie mencalonkan diri sebagai Presiden 1999-2004. Pak Habibie menolak. Sikapnya ini kemudian disampaikannya melalui jumpa pers, Rabu pagi (20/10).
Dengan raut wajah tenang dan senyum Pak BJH berkata, “Wakil-wakil rakyat telah menyimpulkan, saya tidak mampu melaksanakan tugas yang diberikan. Sehubungan dengan itu, saya Bacharuddin Jusuf Habibie menyatakan bahwa saya tidak menyanggupi menerima pencalonan saya sebagai presiden masa bakti 1999-2004".
Suasana di ruang belakang rumah Pak Habibie, Patra Kuningan, mendadak sunyi.
Siang, dalam sidang paripurna MPR, melalui pemungutan suara, K.H. Abdurrahman Wahid terpilih sebagai Presiden RI dengan meraih 373 suara, mengalahkan Megawati Soekarnoputri yang meraih 313 suara. Pada 20 Oktober 1999, K.H. Abdurrahman Wahid dilantik sebagai Presiden RI dan Megawati sebagai Wakil Presiden.
Hari itu, setelah pelantikan K.H. Abdurrahman Wahid, Pak Habibie dan Ibu Ainun keluar lift gedung Nusantara V. Saya menyalami Pak Habibie, yang terlihat tenang dan senyum.
"Gus Dur dan Megawati dipilih secara demokratis. Dukunglah mereka, saya percaya mereka akan membawa kemajuan bangsa ini," katanya singkat. Saya tidak dapat menahan haru. Saya peluk Pak Habibie. Air bening merebak di mata saya. Betapa ikhlas.
Pak Habibie, terima kasih atas semua jasa baik Bapak pada bangsa ini. Saya masih menyimpan buku yang Bapak berikan pada 1989, bersampul kuning, berjudul The Meiji Restoration, karya W.G Beasley. Ketika itu, Bapak berharap Indonesia berubah, seperti Keisar Meiji mengubah Jepang.
Namun, dalam waktu yang merayap dan semakin melelahkan, perubahan itu seperti 'Menunggu Godot', menunggu yang tidak pasti. Tidak ada yang datang, tidak Meiji hingga kini. Dan, Pak Habibie tetap sendiri. Sunyi.
Sesungguhnya bersama waktu yang merayap itu--kita entah sedang bergerak ke mana: Mempersiapkan masa depan atau duduk termenung di bawah pohon kamboja, mengenang masa yang berlalu.
Selamat jalan Pak Habibie. Seorang negarawan yang akan selalu dikenang--dirindukan.
Jakarta, 12 September 2019
*} Asro Kamal Rokan
-Wakil Pemimpin Redaksi Harian Merdeka (1993-1994)
-Pemimpin Redaksi Republika (2003-2005)
-Pemimpin Umum LKBN Antara (2005-2007),
-Anggota Dewan Kehormatan PWI Pusat (2018-2023)
Pada 1 Syawal 1440 H (5 Juni 2019), Pak Habibie telah terlihat rapuh. Namun, semangatnya untuk melayani tamu yang antre halalbihalal, tetap kuat. Pak Habibie dengan senyum menyalami setiap tamu. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, kali ini petugas melarang setiap tamu berfoto. Ini agar Pak Habibie tidak terlalu lelah.
Saya menyalami Pak Habibie. Kami berpelukan cukup lama diiringi dialog singkat. Menjelang magrib, tamu masih banyak. Pak Habibie tidak lagi berdiri, tapi duduk. Petugas menahan tamu bersabar. Saya melihat, darah keluar dari hidung Pak Habibie. Beberapa orang menyekanya. Pak Habibie terlihat lemah. Namun, ya Allah.. Setelah itu Pak Habibie kembali berdiri menyambut tamunya dengan senyum lebar.
Baca juga: BJ Habibie wafat - Doa ratusan petani dan nelayan
Baca juga: Tiada lagi Habibie, Bapak Kemerdekaan Pers Indonesia
Pak Habibie--yang 25 Juni lalu genap berusia 83 tahun--wafat setelah dirawat selama sepuluh hari di ruangan Cerebro Intensive Care Unit (CICU), Paviliun Kartika, RSPAD Gatot Subroto.
Pergulatan Politik
Saya mengenal Pak Habibie pada 1987, ketika itu saya redaktur di Harian Merdeka milik Pak BM Diah. Pada Juni 1989, saya diajak berkunjung ke Le Bourget, Prancis, menyaksikan Paris Air Show. Di sini, CN-235 dipamerkan dan di hadapan pers asing--yang sangat antusias dan hormat--Pak Habibie menjelaskan rencana pembuatan pesawat N-250 dengan teknologi tercanggih, fly by wire (FBW) pertama di dunia.
Hampir sepekan sekali--saat saya wakil Pemred Harian Merdeka--saya diajak dialog Pak Habibie di ruang kerjanya, yang dipenuhi replika pesawat. Bercerita tentang berbagai kesulitan, termasuk kurang respons bank nasional memberi garansi bank, sehingga terpaksa pesawat ditukar ketan. Juga soal politik, gesekan keras dengan Menteri Pertahanan, Benny Moerdani, setelah berdirinya Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI pada 1990).
Pertarungan politik sejak 1980-an akhir hingga reformasi 1998, berlangsung cukup keras. Muncul istilah 'ijo loyo-loyo', plesetan dari ijo royo-royo, yang memberi kesan negatif atas penguatnya peran politik Islam. Apalagi saat itu, Presiden Suharto memberikan kepercayaan besar pada Pak Habibie, sebagai Wakil Ketua Dewan Pembina Golkar.
Pertarungan menguat menjelang Sidang Umum MPR 1993. Ada dua nama yang muncul sebagai calon wakil presiden, Pak Try Sutrisno dan Pak Habibie. Melihat situasi memanas saat itu, saya menulis Tajuk Rencana Harian Merdeka (3 Desember 1992), yang memberi saran agar Pak Habibie tidak menerima pencalonan sebagai wakil presiden, namun tetap mengambil peran sentral dalam penyusunan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), dengan memperkuat program peningkatan sumber daya manusia (SDM) dan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek).
Begitu tajuk dimuat, sore saya dipanggil Pak Habibie ke kantornya di lantai 5 BPPT. Tentu waswas. Namun, Pak Habibie justru mengapresiasi tajuk tersebut. Bahkan, menurutnya, tajuk itu sengaja dibacakannya pada Pak Harto. Dan, Pak Harto setuju.
Pergulatan politik, termasuk pendirian ICMI, Republika, Cides, pendirian Bank Muamalat, dan lainnya--yang berkesan memperkuat peran umat Islam--berdampak luas ke berbagai ruang politik, termasuk di TNI. Di Golkar mulai banyak diisi aktivis HMI. Begitu juga dengan sikap keagamaan Pak Harto. Perubahan politik ini menimbulkan pro-kontra.
Pada Maret 1994, sejumlah pemimpin Harian Merdeka dipecat, termasuk wakil pemimpin umum, pemimpin redaksi, saya sebagai wakil Pemred, Redaktur Pelaksana, dan wakil redaktur pelaksana. Pemecatan itu kami sebut sebagai efek dari polarisasi politik masa itu. Beberapa bulan kemudian, saya diajak Pak Habibie bergabung ke Republika, setahun setelah koran ini berdiri.
Kata-kata Pak Habibie yang terngiang dan sering diungkapkannya dalam berbagai pertemuan adalah, "Bidang keahlian saya teknologi, tapi saya tertendang-tendang ke politik." Kalimat itu menjelaskan Pak Habibie tidak ahli dalam politik--terlalu lurus untuk bermanuver. Baginya, politik jalan menuju peningkatan SDM, teknologi, dan kemandirian.
Mr Crack
Latar belakang Pak Habibie memang bukan politik, melainkan teknologi dirgantara. Di lingkungan ahli aeronautic, aerospace, industri pesawat, ilmuwan internasional, Pak Habibie dijuluki Mr Crack karena keahliannya.
Baca juga: BJ Habibie wafat - DPRD Kaltara: Semangat kembangkan teknologi tinggi terus hidup
Baca juga: BJ Habibie wafat - Jenius yg Relijius
Setelah menyelesaikan S-3--dengan nilai rata-rata 10 di Rheinisc Westfälische Technische Hochschule (RWTH) Aachen, universitas teknik terbaik di Jerman, 1965--Pak BJH yang saat itu berusia 28 tahun, bekerja di Hamburger Flugzeugbau (HFB).
Di sana Pak BJH ditantang untuk memecahkan persoalan pelik, yakni ketidakstabilan konstruksi ekor pesawat Fokker 28. Lebih dari tiga tahun tim ahli HFB mencoba mencari pemecahannya dengan biaya besar, namun gagal. Pak BJH memerlukan waktu enam bulan dan berhasil.
Sukses besar ini membanggakan HFB. Tugas baru datang lagi, memecahkan problem konstruksi gantungan mesin di belakang pesawat terbang eksekutif, HFB 320. Pak BJH kembali berhasil dalam waktu tujuh bulan.
Sukses ini menjadi pembicaraan luas di dunia penerbangan. Ketika beberapa pesawat tempur Jerman, Starfighter F-104 G jatuh, timbul kehebohan. Tidak ada yang tahu penyebabnya. Departemen Pertahanan Jerman mengajak para ahli melakukan riset mencari penyebabnya. Pak BJH ditugaskan perusahaan HFB, tempatnya bekerja, untuk melakukan riset. Pak BJH kemudian menemukan penyebabnya, yakni keretakan di sayap.
Setelah menemukan penyebabnya, Pak BJH kembali melakukan riset mendalam dan menemukan “Metode Perhitungan Kecepatan Suatu Retakan Berjalan pada Bahan yang Elastoplastik”.
Riset ini diterima HFB dan Departemen Pertahanan Jerman. Setelah dilakukan perbaikan berdasarkan metode Pak BJH itu, tidak terjadi lagi pesawat tempur F-104 G jatuh. Hasil riset itu kemudian ditulis Pak BJH dalam paper-nya tentang “Thermodynamics, Instationair Aerodynamics, Fracture Macanics, dan Construcsion”.
Dari sini kemudian lahirlah Teori Habibie, Faktor Habibie, Prediksi Habibie yang sangat populer. Rumusan Habibie tersebut dapat ditemui pada sejumlah jilid “Advisory Group for Aerospace Research and Development (AGARD)--sebagai buku pegangan tentang prinsip-prinsip ilmu desain pesawat terbang standar NATO.
Rumus Habibie ini kemudian menjadi pelajaran wajib di fakultas teknik di Jerman. Bahkan, juga dipelajari anak sulungnya, Ilham Habibie, saat kuliah di Fakultas Teknik Munchen, Jerman.
Dalam rumus itu, Pak BJH menemukan cara--yang sebelumnya misterius dan tidak dikenal--tentang penyebab keretakan (crack) bodi pesawat, terutama sayap. Sebelumnya, industri pesawat dunia, termasuk Airbus dan Boeing, kesulitan menemukan cara agar meterial pesawat tidak retak. Mereka menebalkan seluruh bagian yang berakibat pesawat menjadi berat.
Rumus Pak Habibie itu menjadi sumbangan terbesar, tidak saja dalam ilmu pengetahuan, tapi juga kemanusiaan, terutama keselamatan jiwa penumpang. Sebelumnya, rata-rata kecelakaan pesawat jet komersial akibat keretakan, mencapai 12 kali per satu juta penerbangan. Dengan temuan tersebut, angka kecelakaan kerena keretakan menjadi dua sampai tiga kali dalam sejuta penerbangan.
Pada 1922, Pak Habibie mendapatkan penghargaan Von Karman Award di Jerman. Penghargaan Von Karman Award ini, dalam dunia teknologi, setara dengan hadiah Nobel.
Sukses Pak Habibie itu menarik perhatian Pak Harto. Pada 1973, Pak Habibie pulang ke Indonesia dan ditugaskan membangun teknologi Indonesia. Proses kemudian, lahirlah pesawat buatan Indonesia yang dirancang putra-putri Indonesia di IPTN. Dan, Pak Habibie "tertendang ke dunia politik" untuk mewujudkan kemandirian bangsa, peningkatan SDM, dan teknologi. Namun, Letter of Intent (LoI) IMF pada 15 Januari 1998, membabat IPTN. Mimpi besar Pak Habibie punah.
Negarawan Besar
Gelombang Reformasi 1998 menyebabkan Pak Harto turun. Sebagai wakil presiden, Pak BJH naik menjadi Presiden RI. Namun tidak lama, hanya 512 hari, sejak 21 Mei 1998 hingga 20 Oktober 1999. Pak BJH mengikuti kehendak politisi melaksanakan pemilihan umum dipercepat.
Dalam masa pendek dan situasi politik yang tidak stabil, Pak BJH seperti seorang pilot pesawat, tidak saja menyelamatkan Indonesia, tapi juga menempuh jalan baru.
Kebebasan pers dibuka, kebebasan bersuara, dan kebebasan berserikat dan mendirikan partai dibuka lebar. Tahanan politik dibebaskan. Pak BJH juga melahirkan Undang-Undang (UU) Pembatasan Masa Jabatan Presiden, UU Anti Monopoli, UU Partai Politik, dan mencabut larangan serikat buruh.
Rupiah yang jatuh mencapai Rp 16.000 terhadap dolar AS, berhasil diperkuat menjadi Rp 6.500--yang hingga kini belum bisa dipulihkan. Pak BJH tidak berjanji muluk, namun menghasilkan karya besar.
Dalam Sidang Umum MPR hasil pemilu dipercepat, Selasa, 19 Oktober 1999, pertanggungjawaban Pak Habibie ditolak melalui pemungutan suara, dengan selisih tipis, 33 suara (355 suara menolak, 322 menerima, sembilan abstain, empat tidak sah). Lepasnya Timor Timur menjadi salah satu alasan--meski pemerintah berikutnya tidak lagi disibukkan dalam fora internasional.
Saya ingat sekali saat akhir kekuasaan Pak BJH. Sebagai wartawan yang meliput SU MPR, saya menyaksikan betapa penolakan pertanggungjawaban Pak BJH disambut dengan tepuk tangan anggota MPR. Ada yang sujud syukur--mensyukuri kekalahan Pak Habibie.
Semasa SU MPR itu pula, sebagian besar anggota MPR/DPR tidak bersedia berdiri saat Pak BJH masuk ruang sidang, bahkan ada berteriak “Huuu.. Huuuu..” saat Pak BJH berpidato. Setelah Pak BJH tidak lagi jadi presiden, penghormatan anggota majelis berdiri kembali dilakukan.
Dinihari, setelah pertanggungjawaban ditolak, beberapa tokoh menemui Pak BJH di rumahnya. Mereka meminta Pak Habibie mencalonkan diri sebagai Presiden 1999-2004. Pak Habibie menolak. Sikapnya ini kemudian disampaikannya melalui jumpa pers, Rabu pagi (20/10).
Dengan raut wajah tenang dan senyum Pak BJH berkata, “Wakil-wakil rakyat telah menyimpulkan, saya tidak mampu melaksanakan tugas yang diberikan. Sehubungan dengan itu, saya Bacharuddin Jusuf Habibie menyatakan bahwa saya tidak menyanggupi menerima pencalonan saya sebagai presiden masa bakti 1999-2004".
Suasana di ruang belakang rumah Pak Habibie, Patra Kuningan, mendadak sunyi.
Siang, dalam sidang paripurna MPR, melalui pemungutan suara, K.H. Abdurrahman Wahid terpilih sebagai Presiden RI dengan meraih 373 suara, mengalahkan Megawati Soekarnoputri yang meraih 313 suara. Pada 20 Oktober 1999, K.H. Abdurrahman Wahid dilantik sebagai Presiden RI dan Megawati sebagai Wakil Presiden.
Hari itu, setelah pelantikan K.H. Abdurrahman Wahid, Pak Habibie dan Ibu Ainun keluar lift gedung Nusantara V. Saya menyalami Pak Habibie, yang terlihat tenang dan senyum.
"Gus Dur dan Megawati dipilih secara demokratis. Dukunglah mereka, saya percaya mereka akan membawa kemajuan bangsa ini," katanya singkat. Saya tidak dapat menahan haru. Saya peluk Pak Habibie. Air bening merebak di mata saya. Betapa ikhlas.
Pak Habibie, terima kasih atas semua jasa baik Bapak pada bangsa ini. Saya masih menyimpan buku yang Bapak berikan pada 1989, bersampul kuning, berjudul The Meiji Restoration, karya W.G Beasley. Ketika itu, Bapak berharap Indonesia berubah, seperti Keisar Meiji mengubah Jepang.
Namun, dalam waktu yang merayap dan semakin melelahkan, perubahan itu seperti 'Menunggu Godot', menunggu yang tidak pasti. Tidak ada yang datang, tidak Meiji hingga kini. Dan, Pak Habibie tetap sendiri. Sunyi.
Sesungguhnya bersama waktu yang merayap itu--kita entah sedang bergerak ke mana: Mempersiapkan masa depan atau duduk termenung di bawah pohon kamboja, mengenang masa yang berlalu.
Selamat jalan Pak Habibie. Seorang negarawan yang akan selalu dikenang--dirindukan.
Jakarta, 12 September 2019
*} Asro Kamal Rokan
-Wakil Pemimpin Redaksi Harian Merdeka (1993-1994)
-Pemimpin Redaksi Republika (2003-2005)
-Pemimpin Umum LKBN Antara (2005-2007),
-Anggota Dewan Kehormatan PWI Pusat (2018-2023)