Tarakan (ANTARA) - Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Kalimantan Utara mengharapkan dai atau penceramah agama berperan aktif dalam menangkal radikalisme dan terorisme.
"Peran dai sangat strategis karena berdasar riset Insep (Indonesian Institute for Society Empowerment) motif terbesar terjadi terorisme adalah idiologi agama yang keliru," kata Ketua FKPT Kaltara Datu Iskandar Zulkarnaen di Tarakan, Kamis.
Hal itu disampaikan dalam acara Peningkatan Kompetensi Penceramah Agama oleh Kemenag (Kementerian Agama) Kaltara yang melibatkan 50 dai se-Kaltara.
Ia mengutip riset Insep belum lama ini bahwa motif terbesar adalah idiologi agama --yang keliru-- 45,5 persen, solidaritas komunal 20 persen, "mob mentality" (ikut-ikutan karena pengaruh kelompok) 12,7 persen, balas dendam 10,9 persen, situasional 9,1 persen dan saparatisme 1,8 persen.
Peran dai sangat diharapkan dalam meluruskan idiologi agama menyimpang itu karena mereka yang lebih paham tentang ajaran Islam yang sebenarnya.
"Sebut saja jihad fisabilillah, dalam ajaran Islam memang diajarkan. Dalam konteks yang benar jihad memiliki pengertian luas, jihad dalam menuntut ilmu, jihad dalam melaksanakan ibadah, dan jihad dalam patuh terhadap orangtua," katanya.
Namun, kata dia, dalam idiologi menyimpang jihad digunakan untuk pembenaran melakukan bom bunuh diri, dan berperang melawan kelompok yang tidak sepaham dengan keyakinan mereka.
"Oleh sebab itu, mengoptimalkan peran dai, sejalan dengan tiga strategi pencegahan terorisme, yakni strategi kesiapsiagaan nasional, kontra radikalisasi atau kontra ideologi, narasi dan propaganda serta strategi deradikalisasi," paparnya.
FKPT Kaltara harapkan dai berperan aktif tangkal radikalisme
Tukang kipas
Sementara itu, Sahir Hais Muhayyang salah satu dai peserta acara yang digelar selama 3 hari dari 8-10 Juni 2022 itu mengakui tentang pentingnya peran penceramah agama dalam menangkal radikalisme dan terorisme.
"Hambatan terbesar bagi dai adalah menghadapi dai lain, bukan jamaah. Ini fakta, ada dai bertugas sebagai tukang siram air agar suasana sejuk namun di sisi lain ada dai seperti tukang kipas," katanya.
Celakanya, bagi mereka yang sudah terkena kipas --terpapar radikalisme-- memiliki hambatan lebih berat untuk meluruskan pemahamannya ketimbang bagi mereka yang merasa kurang berilmu.
Ia berpendapat jika pemerintah perlu memperkuat posisi organisasi Islam yang menjadi kekuatan Indonesia selama ini, terutama NU dan Muhamadiyah dalam menangkal idiologi menyimpang.
Baca juga: FKPT Kaltara: Keterlibatan penyuluh agama strategis melawan radikalisme
Baca juga: Polri paparkan kronologi penangkapan pimpinan Khilafatul Muslimin
Baca juga: BNPT: Khilafatul Muslimin Sama Bahayanya Dengan HTI, NII, Bahkan ISIS
FKPT Kaltara harapkan dai berperan aktif tangkal radikalisme
"Peran dai sangat strategis karena berdasar riset Insep (Indonesian Institute for Society Empowerment) motif terbesar terjadi terorisme adalah idiologi agama yang keliru," kata Ketua FKPT Kaltara Datu Iskandar Zulkarnaen di Tarakan, Kamis.
Hal itu disampaikan dalam acara Peningkatan Kompetensi Penceramah Agama oleh Kemenag (Kementerian Agama) Kaltara yang melibatkan 50 dai se-Kaltara.
Ia mengutip riset Insep belum lama ini bahwa motif terbesar adalah idiologi agama --yang keliru-- 45,5 persen, solidaritas komunal 20 persen, "mob mentality" (ikut-ikutan karena pengaruh kelompok) 12,7 persen, balas dendam 10,9 persen, situasional 9,1 persen dan saparatisme 1,8 persen.
Peran dai sangat diharapkan dalam meluruskan idiologi agama menyimpang itu karena mereka yang lebih paham tentang ajaran Islam yang sebenarnya.
"Sebut saja jihad fisabilillah, dalam ajaran Islam memang diajarkan. Dalam konteks yang benar jihad memiliki pengertian luas, jihad dalam menuntut ilmu, jihad dalam melaksanakan ibadah, dan jihad dalam patuh terhadap orangtua," katanya.
Namun, kata dia, dalam idiologi menyimpang jihad digunakan untuk pembenaran melakukan bom bunuh diri, dan berperang melawan kelompok yang tidak sepaham dengan keyakinan mereka.
"Oleh sebab itu, mengoptimalkan peran dai, sejalan dengan tiga strategi pencegahan terorisme, yakni strategi kesiapsiagaan nasional, kontra radikalisasi atau kontra ideologi, narasi dan propaganda serta strategi deradikalisasi," paparnya.
Tukang kipas
Sementara itu, Sahir Hais Muhayyang salah satu dai peserta acara yang digelar selama 3 hari dari 8-10 Juni 2022 itu mengakui tentang pentingnya peran penceramah agama dalam menangkal radikalisme dan terorisme.
"Hambatan terbesar bagi dai adalah menghadapi dai lain, bukan jamaah. Ini fakta, ada dai bertugas sebagai tukang siram air agar suasana sejuk namun di sisi lain ada dai seperti tukang kipas," katanya.
Celakanya, bagi mereka yang sudah terkena kipas --terpapar radikalisme-- memiliki hambatan lebih berat untuk meluruskan pemahamannya ketimbang bagi mereka yang merasa kurang berilmu.
Ia berpendapat jika pemerintah perlu memperkuat posisi organisasi Islam yang menjadi kekuatan Indonesia selama ini, terutama NU dan Muhamadiyah dalam menangkal idiologi menyimpang.
Baca juga: FKPT Kaltara: Keterlibatan penyuluh agama strategis melawan radikalisme
Baca juga: Polri paparkan kronologi penangkapan pimpinan Khilafatul Muslimin
Baca juga: BNPT: Khilafatul Muslimin Sama Bahayanya Dengan HTI, NII, Bahkan ISIS