Tanjung Selor (ANTARA) - Inflasi yang tidak terkendali menjadi momok di berbagai negara seperti Argentina dan Turki yang berdampak langsung terhadap ketidakstabilan perekonomian dan masalah sosial.
Secara definisi, inflasi merupakan sebuah fenomena kenaikan harga barang dan jasa secara umum dan terus menerus dalam jangka waktu tertentu.
Dimana teori Inflasi yang rendah dan stabil merupakan prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan yang pada akhirnya meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Hal ini mendorong Pemerintah menetapkan target inflasi nasional pada 2025 dalam kisaran sasaran 2,5±1%.
Di tengah globalisasi, sebuah negara tidak bisa hidup sendiri. Mereka tidak dapat memenuhi seluruh kebutuhannya sendiri, sehingga terdapat perdagangan komoditas, barang dan jasa antar negara yang menyebabkan munculnya relasi.
Hal ini menyebabkan ketergantungan antar satu negara dengan negara lainnya. Di sisi lain, kondisi ekonomi Global masih tidak baik-baik saja.
International Monetary Fund (IMF) dalam World Economic Outlook (WEO) periode Januari 2025 memperkirakan ekonomi global tahun 2025 tumbuh terbatas sebesar 3,30% (yoy), di bawah rata-rata pertumbuhan 20 tahun terakhir yang sebesar 3,70%.
Hal ini akibat pertumbuhan terbatas beberapa perekonomian negara maju seperti Amerika Serikat (2,70%, (yoy)) dan China (4,60%, (yoy)).
Konflik geopolitik yang masih terjadi di beberapa negara seperti Rusia-Ukraina dan timur tengah juga berdampak pada inflasi global yang terus meningkat dan diperkirakan akan naik pada kisaran 4,20% akibat terganggunya rantai pasok pangan maupun energi.
Kondisi global ini memberikan resiko gangguan eksternal bagi perekonomian kita, termasuk dari sisi inflasi bahan pokok dan energi.
Hal ini semakin diperparah oleh kondisi iklim yang belum membaik sehingga menyebabkan terganggunya produksi bahan pangan di berbagai negara.
Di tengah tantangan tersebut, diperlukan beberapa strategi untuk mengendalikan inflasi pangan tersebut. Presiden Republik Indonesia dalam Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi Tahun 2024 di bulan Desember 2024 menekankan bahwa kunci utama pengendalian inflasi di masa depan adalah swasembada pangan, baik di tingkat nasional maupun daerah.
Kepala Negara mendorong terciptanya swasembada pangan hingga ke tingkat kabupaten dan kecamatan, sesuai dengan kearifan lokal bangsa.
Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS), Provinsi Kaltara tahun 2024 tercatat inflasi sebesar 1,29%(yoy), berada di bawah sasaran Inflasi nasional dan lebih rendah dibandingkan capaian inflasi tahun 2023 yang tercatat 2,44% (yoy).
Inflasi yang terkendali ini turut didukung oleh Inflasi Bahan Pangan yang mencerminkan perubahan harga bahan-bahan pokok seperti beras, minyak goreng, telur dan sayur-mayur terkendali.
Inflasi pada bahan pangan di tahun 2024 terkendali yakni sebesar 1,56%(yoy), lebih rendah dibanding tahun 2023 yang mencapai 3,70%(yoy).
Inflasi yang lebih terkendali juga turut menurunkan kemiskinan. Hal ini terbukti dengan tingkat kemiskinan di Provinsi Kaltara menurun 1,07% menjadi 5,38%, sejalan dengan Inflasi yang lebih rendah sehingga Masyarakat dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Di dalam pengendalian inflasi bahan pangan, terdapat peran vital petani. Perkembangan tingkat inflasi sangat dipengaruhi kondisi permintaan dan penawaran, dimana pada sisi penawaran suplai hasil pertanian sangat mempengaruhi harga bahan pokok.
Semakin sedikit hasil pertanian yang dihasilkan petani, harga bahan pokok akan semakin meningkat.
Hal ini dapat terlihat dari kenaikan harga pangan seperti beras, cabai dan bawang akibat gagal panen di beberapa daerah.
Perbaikan Inflasi bahan pangan juga sejalan dengan perbaikan nilai tukar petani (NTP) yang menggambarkan kesejahteraan petani.
Pada tahun 2024, NTP mengalami perbaikan menjadi117,34, naik 5,77 poin.
Kenaikan nilai tukar petani dapat menggambarkan kesejahteraan petani karena mengukur kemampuan produksi komoditas dan yang dijual dibandingkan dengan modal petani dalam bercocok tanam seperti pupuk, biaya tenaga kerja, bibit dan biaya lainnya.
Sisi hulu pertanian merupakan hal yang tak terpisahkan dari program pengendalian Inflasi. Namun berdasarkan hasil survei BPS pada tahun 2023, petani di Provinsi Kalimantan Utara didominasi oleh petani dengan usia 44-65 tahun, yakni sejumlah 35 ribu petani atau 42% dari ke seluruh.
Jumlah petani milenial dan gen Z (usia 15-34 tahun) saat ini baru berjumlah 9ribu petani atau 15% dari keseluruhan. Dalam memastikan keberlangsungan sektor pertanian, diperlukan regenerasi petani ke tenaga kerja yang masuk dalam kategori milenial dan gen Z.
Agar mempermudah proses regenerasi tersebut dapat dilakukan melalui pelatihan pertanian, mekanisasi sistem pertanian serta pemanfaatan Internet of Things melalui digital farming sehingga calon petani milenial dan gen Z lebih tertarik dan mempermudah proses bercocok tanam serta mendukung swasembada pangan.
Rifqi Andi Febrianto
Ekonom Bank Indonesia Kaltara.
Baca juga: Catatan Ana Sriekaningsih : Ekonomi Kalimantan Utara dan Perbankan Pasca Penurunan Suku Bunga Acuan
Baca juga: Catatan Ana Sriekaningsih : QRIS TUNTAS, Transaksi Pun Tuntas